Pada Pengamen Kecil 1



Ini ceritaku saat bertemu si cerdas pengamen jalanan di perempatan titik nol.

Aku melangkah dipetak-petakan trotoar Malioboro bersama seorang temanku, Hasyim. Sore Sabtu dengan keramaian yang membuncah di berbagai sudut jalan terkenal seantero negeri ini, aku menapaki kotak-kotak semen. Sepulang dari kuliah yang padat, diusir oleh dosen psikologi, dan hampir ditabrak delman beroda kuning mentereng, aku memilih refreshing di Vredeburg.

Hasyim juga begitu. Baru saja dia berdebat hebat dengan dosen tua pengampu ekonomi pembangunan. Senasib sepertiku. Dilempar dari ruang kelas. Pun hampir ditabrak becak selepas keluar dari gapura kampus. Kebetulannya lagi, Hasyim bertemu denganku diujung Malioboro dekat pertigaan Pasar Kembang. Lusuh. Sama sepertiku. Bercerita hal yang hampir sama. Dan sepakat untuk ke Vredeburg.

Tepat jika memilih refreshing saat Sabtu sore. Apalagi duduk-duduk di depan Vredeburg ditemani segelas kopi dari penjaja kopi ibu-ibu tua. Biasanya segala bentuk kesenian tersaji di depan monumen Serangan Umum Satu Maret. Tari-tarian, nyanyian tradisional, kebudayaan daerah-daerah negeri. Bahkan pemain skaterboard dan freestyle bike sering mempertontonkan kelihaian mereka di depan kami yang para awam.

Dan sekarang, kami beruntung. Di dekat lampu merah titik nol, berjejer sepuluhan perempuan berjilbab lengkap dengan properti-properti tari. Hisyam menyenggol bahu kananku. Aku sangat tahu apa yang dia pikirkan. Cantik-cantik penarinya, Ral. Begitu kiranya. Aku menyetujui pikiran Hasyim. Cantik-cantik. Beruntung kan? Sepulang dari melihat wajah dosen yang keriput. Dan berganti dengan wajah-wajah para muslimah penari tarian Aceh itu. Bukankah itu karunia dari-Nya?

Lihatlah! Lincah benar tangan dan kaki mereka bermain. Bermain tarian dari Aceh. Tegas dan patah-patah. Meski terlihat sangat rumit, tapi mereka kompak menggerakkannya. Tangan mengibas. Terlipat. Berpegangan. Memutar. Melempar. Kompak sekali. Mungkin satu tahun mereka baru bisa berkompak-kompak seperti itu. Hasyim khusuk memperhatikan penari-penari sopan itu. Sepertinya, lebih khusuk ketimbang dia belajar ekonomi atau akutansi. Sesekali terdengar riuh tepuk tangan penikmat tarian itu. Tak tahunya, Hasyim juga ikut bertepuk kegirangan. Macam anak kecil menepukkan temannya yang baru meniup lilin ulang tahun.

Ditengah keriuhan penonton sore itu, ku lihat seorang pengamen kecil bersempit-terjepit di tengah kerumunan yang berdiri. Membawa sebuah gitar kecil, akhirnya pengamen kecil itu keluar dari sesempitan orang-orang. Anak SMP. Dikepalanya terpasang topi sekolah berwarna biru.

Ah... Pasti anak berandal SMP sekian. Mengapa pula dia memakai topi almamater sekolah. Kalau benar berandal, malulah sekolahnya sendiri. Modus mengamen, tapi, bisa saja jadi pencopet kelas teri. Bisa saja. Hanya mengira-ngira.

Anak sekolah..... Hah! Hanya segelintir manusia yang sekarang masih merasakan benar-benar apa yang dimaksud dengan sekolah. Pengayomnya pun cuma sedikit yang meresapi keadaannya sebagai motivator, inspirator, fasilisator, dan or or yang lain. Sekolah sekarang hanya dijejali keadaan dimana tujuan menjadi hal yang tinggi. Hal yang vital. Dan yang utama. Hasilnya? Ya, berandal-berandal modern. Tak tahu, apakah si kecil sang pengamen benar-benar berandal atau tidak. Lihat saja nanti.

Hahaha... Seandainya seorang siswa dari Finlandia mencoba bersekolah di negeri ini, matilah dia. Lucu saja melihatnya. Otaknya akan stress. Matanya memerah. Perutnya sakit. Tumbuh bercak-bercak merah mudah di kulit. Jelas. Negeri ini menjejali materi sistematis yang tersusun apik kepada para pencari ilmu. Sistematis dan selanjutnya-selanjutnya, berubah menjadi rigid. Kaku. Ada semacam persaingan ketat didalam ke-sistematisan tersebut. Ilmu kah yang didapat? Sebagian iya. Sebagian lagi sedikit. Sebagian lagi seperempat. Dan sebagian lagi, nihil!! Nah sebagian yang terakhir itu yang berbahaya. Malah banyak dipraktekkan. Hasilnya? Ya berandal-berandal modern. Tak tahu, apakah pengamen kecil itu termasuk berandal atau tidak.

Mudah saja jika ingin mencapai tujuan yang baik. Mendapat yang baik, ya harus berlaku baik. Itu saja. Rumus yang gampang. Sistem saja yang tak baik, keluarannya juga pasti tak sehat. Semua itu semata-mata tidak dilihat dari hasil. Idiom yang menjamur sekarang, yang lebih baik itu prosesnya, bukan hasil akhirnya. Toh Tuhan tidak menyuruh kita sukses. Dia hanya menyuruh kita berusaha. Berusaha dengan yang baik-baik. Ahh. Pandai sekali otakku berpikir. Dari seorang berandal abu-abu yang hadir dari kejauhan. Melanglang buana jauh ke sistem pengajaran negeri. Bahkan menyangkut Tuhan lagi. Ahh... Maafkan jika dalam pemikiran daku, ada yang salah. Orang awam, sih.

Cukup untuk mengulas itu.

Vredeburg dan tarian-tarian Aceh masih menghiburku. Hasyim masih saja menyeringai tak jelas melihat ke arah penari muslimah. Oh. Ternyata sudah berganti. Sekarang tari piring. Tari piring... Tari piring... Sumatera Barat kah?

“Iya Ral. Dari Padang.” Celetuk Hasyim.

Beberapa sepeda ekstra-tinggi datang dan berparkiran seraya menyandar di patung setengah manusia itu. Para supir sepeda berlompatan dari sadel. Satu diantaranya hampir ditabrak pengendara sepeda motor berjaket biru. Mengenaskan, yang satu lagi terjatuh dengan lutut mengenai dudukan-dudukan keramik. Untung semua mata tertuju ke tari piring asal padang.

Tepat, jam besar di dinding bank menunjuk angka empat dan buabelas. Aku tak melihat si pengamen kecil berdiri di kerumunan. Mungkin sudah pulang.

“Mas mas. Ceritakan padaku tentang psikologi.”

Haa. Aku terhenyak. Hampir lepas cangkir plastik berisi kopi dari genggaman tanganku. Bagai hantu, anak kecil si pengamen tiba-tiba muncul di belakangku. Seraya menepuk bahu, dia tersenyum saat aku menoleh kaget ke arahnya.

“Aku lihat-lihat dikoran kota, keadaan psikologi pada tersangka membuat banyak terjadi kasus pelecehan kehormatan. Psikologi itu apa mas?”

Belum selesai kekagetanku, pengamen kecil memberondongku dengan pertanyaan berbobot. Sekarang, dia seakan menjelma menjadi teman-teman diskusiku di kampus. Ohh. Darimana dia tahu bahwa aku berkuliah keilmuan psikologi?

“Itu mas. Baju mas itu. Dibelakangnya ada sablonan psikologi. Tidak mungkin kan meminjam baju mahasiswa lain?”

Aku mencerna sesosok tubuh kecil yang tengah meringkuk duduk sopan dihadapanku. Baiklah. Dengan sambutannya yang hangat sekaligus mengagetkan. Dengan sapaan yang cukup akademis. Kesan pertama dengan penyuguhan pikiran yang kritis. Ternyata aku salah. Anak kecil sang pengamen bukan seorang berandal. Dia cukup pintar dengan keadaannya sebagai pengamen. Oke. Aku mengaku salah. Aku akan meladeni pertanyaannya. Sekaligus mengetes, seberapa banyak ilmu yang telah ku dapatkan selama di sekolah formal itu.

“Ya. Diulangi lagi. Psikologi itu apa mas? Baru kemaren aku menemukan kata itu. Selama menjual koran, headline-nya tidak pernah memasukkan kata seaneh itu.

Sebentar. Hasyim telah melanglang buana ke kerumunan penonton. Entah apa yang dia cari. Ini kesempatan baik. Malulah diriku jika Hasyim tahu aku tak bisa menjawab pertanyaan si pengamen.

Tak dinyana aku bertemu eks-berandal (dalam pikiranku) hobi ber-headline dengan koran-koran kota. Dan berikutnya akan banyak tak dinyana tak dinyana lain.

Tepat saat aku menoleh ke arah Hasyim, Hasyim melambai-lambai.

bersambung....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)