Chaniago (Kisah yang Anomali) 2



Tahukah kau, kejadian kakak-kakakku adalah anomali. Kembali anomali, Go. Ku kisahkan cerita yang lain, tapi ada kaitan dengan ke-anomalian itu.

Ayahku adalah seorang dukun ular di kampung. Seumpama dokter, jelas ayahku bertitel di belakang namanya, SpGU. Spesialis gigitan ular.

Macam perayaan hari ulang tahun, tragedi warga digigit ular telah membudaya di kampung kami. Setiap tahun, ada saja kasus penggigitan itu. Tak ada tragedi lain. Itu diluar kasus gagal panen atau hama wereng.

Warga selalu tak berhasil mengirim ular itu ke ajalnya. Kau tahu ular sawah, Go? Orang kota menamainya sanca. Atau bahasa lain, ular piton.

Namun warga kampung patut berlega hati. Mereka menyamankan diri dengan adanya ramuan mujarab ayahku. Belasan pemuda dan warga kampung yang digigit ular sawah saat berpanasan ber-agraria sembuh total tak berbekas karena meminum ramuan itu. Setiap tahun, warga datang ke rumah bersimbah darah. Pulang-pulang, mereka tertawa mendogma bahwa tragedi itu hanyalah lelucon. Tertawa saja, Go. Besok-besoknya, mereka hilir mudik menendang bola di tengah bekas petakan sawah kering.

Ya. Itu perihal tragedi digigit ular. Terlepas itu, tak ada kasus lain dengan hewan-hewan sawah. Nah. Inilah anomali kakak-kakakku. Dua kakakku meninggal, dan satunya masih bisa menghirup udara bumi. Kakak-kakakku merenggang ajal karena diseruduk babi hutan. Itu adalah rekor, Go. Rekor buruk. Mereka pemulai suatu tragedi baru : penyerudukan babi hutan. Beberapa hari setelah meninggalnya kakak-kakakku, kakakku yang selamat bercerita.

Kejadian itu terjadi di hutan sebelah utara sawah kepala kampung. Ketiga kakakku bermaksud membantu kepala kampung memperbaiki pematang-pematang sawahnya. Tatkala sedang bergumul dengan lumpur-lumpur itu, mereka mendengar suara tokek. Go, kau tahu tokek? Suara tokek bagi kampung kami adalah suara uang. Panggilan tokek adalah panggilan rezeki melimpah. Kalau bisa dibaui Go, bau tokek adalah bau uang yang masih anyar.

Insting uang kakak-kakakku membuncah. Memencar hingga mereka sendiri membabi buta berlarian ke arah hutan. Bukan karena mata duitan, tapi itu adalah kesempatan emas bagi mereka untukku. Kau dengar Go? Untukku. Uang dari penjualan tokek dapat mereka beri untuk biaya kuliahku, Go. Oh....

Tokek itu tahu kedatangan mereka. Seperti disengaja, tokek itu menyuara menghilang. Kecil-kecil dia bersuara. Semacam membuat permainan petak umpet. Kalau mereka bisa bahasa binatang, tahulah mereka bahwa tokek itu bergumam, “Ayo manusia, tangkap aku jika bisa. Jual aku kalau mampu. Kuliti aku jika kau lihai”.

Tak tahu bodoh atau ambisius, kakak-kakaku yang nomor dua dan tiga terus menerobos-mengkonsentrasikan kuping mereka. Berjalan terus hingga satu kilometer-satu setengah kilometer dari garis sawah kepala kampung. Kakakku yang pertama tidak ikut berburu.

Kau tahu Go, ternyata ada bangsat lain. Ya.... Babi hutan. Suara endusannya lamat-lamat mengganti suara tokek. Tragedipun dimulai. Kakak-kakakku habis dikejar, dihantam, dan diseruduk si bangsat babi hutan. Untungnya, jeritan kakak-kakakku tersampai oleh angin hingga menemui telinga kakakku yang pertama. Kusat-masai kakakku berlari ke arah tragedi. Dalam pelarian itu, dia berpikir, dia takkan mampu melawan bahaya yang ada ditengah hutan sendirian. Cepat berbalik arah, dan kusat-masailah dia ke kampung. Sekembalinya ke hutan dengan sekompi pasukan warga berserampang dan golok, mereka menganga melihat kakak-kakakku korban si bangsat tergeletak bersimbah darah.
Itu terjadi bertepatan dengan kakiku yang baru menginjak tatakan pintu bus.

Apalah arti kemampuan ayahku sebagai dukun ular. Ramuan mujarabnya tak mempan dengan luka yang dibekaskan oleh babi hutan. Ayahku tak berdaya. Jelas saja, dia ikut bersimpuh dengan ibu tatkala dia harus sigap menahan agar udara bumi masih dihirup oleh kakak-kakakku yang sekarat. Rumah sakit jauh. Dokter kampung belum masuk. Singkat kata, ikhlaskan saja. Kakak-kakakku meninggal.

Biar kuulangi lagi Go. Supaya kau mengerti kisah ini.

Kakak-kakakku mengejar tokek hingga merenggang ajal demi membiayai kuliah ku Go. Sebelumnya, tanpa sepengetahuanku, ayah dan kakak-kakakku berkomitmen menjadikanku seorang sarjana. Kakak-kakakku kehilangan nyawa demi aku, Go. Mereka merebus punggung seharian penuh, menginjak lumpur-lumpur berbau, dan ahh... Masih banyak alasan mulia mereka. Mungkin kalau aku ikut percakapan mereka, aku akan tahu bahwa kakak pertama berkata,” Ini demi Damar dik. Kita  buat Damar jadi sarjana pertama kampung kita. Kalau Damar sudah berhasil, keluarga kita akan berbahagia selamanya. Kampung akan memerlukan ilmu-ilmu Damar. Kita dan kampung akan makmur. Biarlah dia berjuang dengan otak cemerlangnya. Sungguh, otot-otot kekar kita tak sekekar otaknya” Begitulah kurang lebih bunyinya, Go. Bahkan mungkin akan lebih menggebu-gebu lagi.

Fakta lagi, Go. Meski sudah meninggal, kedua kakakku masih saja membantuku berkuliah. Walaupun warga kampung tahu sama tahu bahwa sama-sama menderita, mereka masih menyisihkan pendapatan mereka untuk keluargaku. Santunan orang meninggal. Tidak banyak Go. Tapi cukup untuk menjadi ongkosku mengarungi perjalanan ke kota Pelajar itu dan mencari tempat tidur. Hanya untuk ongkos dan memanjar uang kos. Setelah itu cukup. Aku harus berusaha sendiri dengan jiwa kakak-kakakku sebagai cerminan dan uang beasiswa. Manis bukan?

Go, aku tak bisa berterima kasih kepada mereka. Kakak-kakakku yang anomali. Kisah mereka yang anomali. Dan akhirnya, melahirkan aku yang juga anomali. Lain dengan anak seusiaku di kampung.
Go, inilah pusara kedua kakakku. Lihatlah, nama mereka sangat singkat. Kak Shirat. Kak Alil.

Chaniago ikut terlarut dalam kesenduanku
Aku berusaha tersenyum
Karena semua yang terjadi, biar terjadi
Bila ketetapan Allah sudah ditetapkan tetaplah sudah
Tak ada yang bisa merubah
Dan takkan bisa berubah
Relakanlah saja

-RIO ISMAN-

Komentar

Posting Komentar

There's Any Comment Guys?

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)