Kisah Uang di Shelter Bus

Hey... Kau... Yang terlipat-lipat di dompet kekuning-kuningan itu. Kenapa rupamu murung seperti itu? Lihatlah dirimu. Dirimu lebih berharga dariku. Kenapa kau murung, Teman? Hey.. Aku tahu kau bersembunyi di sana. Terlipat-lipat dan terduduk-duduk oleh pantat majikanmu itu. Hey.... Kau... Yang berwarna merah agak kemuda-mudaan. Dari mana asalmu Teman? Jangan sungkan. Mari bergabung dengan kami. Apa? Apa kau malu untuk melonjorkan kaki-kakimu di dompet usang penjual rujak keliling ini, Teman? Ayolah... Jangan malu. Kau diciptakan dari bahan yang sama dengan bahan kami juga, Teman.

Eh.. Kenapa majikanmu  itu rela berpanas-panasan di shelter bus ini. Dia sedang menunggu siapa, Teman? Menunggu bus? Atau bajaj? Boleh ku bertanya lagi? Majikanmu itu bekerja dimana, Teman? Kenapa dia berjas rapi dengan sepatu-sepatu pantopel. Oh. Coba ku tebak. Majikanmu itu bekerja di kantor pengadilan di seberang jalan ini, kan? Pastilah majikanmu itu termasuk orang-orang kaya ya.
Hey... Teman.... Kau tahu mengapa lipatan-lipatan di tubuhku ini tidak karuan? Sangat berbeda denganmu, Teman. Lihatlah dirimu. Lihatlah lipatan-lipatanmu. Ah. Aku jadi iri melihatnya. Bahkan, di semburat tubuhmu, tak ada seberkas lipatan macam diriku. Oh ya. Aku ceritakan. Dulu, aku terlahir dengan keadaan yang sama sepertimu. Ketika aku dilahirkan di bank itu, sekujur tubuhku tak ada gurat lipatan-lipatan. Mulus, Teman. Lagi harum. Persis sama seperti dirimu. Hanya saja warna dan pola tubuhku yang berbeda denganmu. Kau merah muda, Teman. Dan, lihatlah aku. Aku berwarna biru. Dan aku tahu. Aku lebih lembut dari tubuhmu. Aku mudah dirunyamkan. Aku mudah diremaskan. Lain dengan dirimu, Teman. Ah.. Aku sama sekali tidak menyesali keadaan itu. Karena, waktu terus berjalan. Dan aku mengetahui keadaanku. Kau tertarik dengan ceritaku selanjutnya, Teman.

Aku diikat dengan mereka yang setubuhan denganku. Dan aku mulai diedarkan. Kau tahu siapa yang memegangku setelah peredaran itu? Pertama kali aku masuk ke sebuah warung, Teman. Warung kecil-kecilan. Mulai saat itulah tubuhku berubah. Aku dirunyam, dilipat, dan di... Ah. Aku tak ingin mengingatnya lagi, Teman.

Dari penjaga warung itu, aku dipindahtangankan ke bapak tua pembeli rokok. Rupanya bapak itu berbaik hati padaku. Dilipatnya sebaik mungkin tubuhku. Hanya satu lipatan dan itu membagiku menjadi dua bagian. Aku diselipkan ke dompetnya. Didompet itu aku diperlakukan seperti dirimu, Teman. Disamaratakan dengan uang-uang lain yang lebih berharga. Ada yang serupa denganmu juga.
Tak tahukah kau apa artiku setelah itu? Haha... Bapak itu memberikan aku ke seorang pedagang baju, Teman. Bersama dengan mereka, aku digantikan dengan sehelai kain batik kemerah-merahan. Aku ingat, batik itu bermotif awan Cirebon, Teman. Aku memiliki rumah baru. Dompet yang lebih luas dan nyaman. Aku tertidur bersama lembaran-lembaran kertas.

Teman, kau bosan mendengar ceritaku? Aku harap tidak. Setelah ini kau yang harus bercerita tentang wajahmu yang murung itu.

Lama aku menjejak dompet itu. Sampai suatu saat, aku diletakkan di dalam laci hitam. Ternyata pasar swalayan, Teman. Aku harus berpisah dengan rumah dompetku. Aku ingat waktu itu, aku dijepit oleh sebuah aluminium.

Tak sampai beberapa menit, aku sudah diangkat lagi. Aku hanya menurut saja. Tahu-tahu, aku sudah dirunyam dan dimasukkan ke kantong celana pemuda itu. Celakanya, aku tidak diambil dari kantong itu. Mungkin pemuda itu lupa denganku. Dengan uang yang ada dikantong celananya. Celakanya lagi Teman, aku ikut tercuci dengan celana itu. Basah sekujur tubuhku. Selang beberapa hari. Dia baru menemukanku di kantongnya. Aku ikut mengering bersama dengan celananya yang dijemur di bawah terik matahari. Patah-patah. Lipatan di tubuhku mengeras. Itulah penderitaan yang paling sakit, Teman. Pernah kau merasakan itu? Aku rasa tidak. Buktinya kau masih seperti sediakala. Masih wangi, persis seperti baru keluar dari mesin ATM.

Pemuda itu benar-benar bangsat. Melihat tubuhku yang seperti tak ada harganya lagi, aku dibuang dipinggir jalan. Dekat dengan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemuda itu berlalu saja.

Aku ingat hari semakin sore. Kulihat beberapa anak berlari mendekatiku. Dan... Satu anak menginjakku. Tepat ditelapak kakinya yang kotor. Aku terinjak. Tubuhku yang kering mengeluarkan suara ketika terinjak oleh anak itu. Anak itu kemudian meraihku. Bersamaan dengan dia meraihku, seorang penjual melintasi anak itu. ternyata diriku masih ada harganya Teman. Aku ditukar dengan sebungkus rujak. Ya.... Sekarang kau tahu. Aku berada di dompet tukang rujak waktu itu.

Bagaimana ceritaku? Menarik? Ahh. Kau tak benar-benar menikmatinya, Teman. Tapi tak apa. Aku hanya membagi cerita perjalananku. Aku tak tahu bagaimana cerita petualanganmu. Tapi aku yakin, kau bukan uang kertas yang dikorupsi itu kan, Teman.

Aku hanya uang yang bernominal kecil teman. Nolku hanya tiga. Aku tak handal untuk dikorupsikan. Tapi, lihat dirimu. Nolmu banyak. Berbeda denganku. Tapi aku berharap, majikanmu baik.

Hey... Teman... Mau kemana? Ceritaku belum selesai... Ohh. Ya sudah. Sampaikan saja ke majikanmu. Perlakukan dirimu sebaik-baiknyaaaaa. Okeee. Sampai bertemu lagii, Temannn!!!
Hmmm. Pendengar yang baik. Kenapa wajahnya murung ya? Tak tahulah!!

IfYouKnowWhatIMean

Komentar

  1. Andai uang bisa bicara :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. seandainya uang bisa bicara
      mungkin mereka bisa berteriak supaya tidak dipermainkan

      Hapus

Posting Komentar

There's Any Comment Guys?

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)