Gurauan Kota 1


Kota itu

Berjejer berpuluh-berseribu semen yang dikotak-kotakkan nan berbentuk-indah, lurus, ataupun tajam. Dikotak-kotakkan seraya memalingkan muka dari jalanan berdebu, berlobang, dan menyeruak ditindih kendaraan-kendaraan tikus. Mengeluarkan kesan megah diantara gurat urat insan-insan dibawahnya. Kotak-kotak itu ternyata diatas bukit. Semakin megahlah dia ditilik dari lembah kenistaan ini, kata kotak-kotak itu. Insan-insan menderita hanya meratapi keadaan, tanpa banyak suara yang bisa didengar. Kota yang telah menjelma menjadi bukit mencuramkan jurang seiring frekuensi suara insan menyusut di antara kevakuman tebing. Penglihatan kotak-kotak itu terhalangi pepohonan-pepohonan coklat yang habis terbakar oleh debu-debu jalanan tadi. Titik  fokus matanya mengabur membuta. Bahkan divonis buta. Divonis oleh insan. Diperdaya oleh jalan-jalan berdebu didepannya, kotak-kotak itupun melenggang keluar dan melupakan insan yang malang, dibawah bukit tadi.

Kota itu penuh dengan antrian calon tikus yang bersikut-sikutan untuk membeli dasi. Bertransaksi dengan pedagang-pedagang tidak berkaki yang menjajakan dasi-dasi mereka. Harganya pun bervariasi. Dimulai dari dua presiden, enam presiden, hingga  puluhan presiden. Bahkan presiden diikat-ikat dan dimasukkan ke amplop. Sebenarnya mereka tak ingin menjadi calon tikus. Mereka tak punya banyak presiden. Yang ada hanya pahlawan-pahlawan, gunung-gunung, hingga monyet. Hanya saja pedagang-pedagang itu butuh banyak presiden untuk memerintah, dan untuk menjadi calon presiden. Presiden-presiden itu dibuat biadab dan dibuat benci oleh insan-insan tadi. Tapi itu dari kantong kotak-kotak. Dari kantong mereka, sungguh mereka sangat mencintai presiden-presiden. Tentu bukan presiden-presiden yang diikat dan dimasukkan ke amplop oleh calon tikus. Demikian kondisi kota itu.

Ironisnya, Yan adalah salah satu insan tadi.

Hari itu, jiwa Yan benar-benar berteriak. Yan tengah melarat lagi memikul beban berat. Ilmu yang dia dapatkan dan empat tahun lebih ia habiskan untuk bergelut dengan buku-buku, seakan sia-sia ditengah diskriminasi kota itu.

Pagi, dihari tatkala jiwa Yan berteriak, tengah malamnya.
Yan sandarkan motor bututnya ke dinding gedung putih tinggi itu. Sekali lagi Yan yakinkan bahwa tujuannya untuk mengabdikan diri demi ilmu yang telah ia dapatkan. Sekaligus menyambung nyawa daripada mati di bawah jalanan kota. Jalanan kota penuh lumpur buangan orang terpandang. Jalanan yang dengan seenaknya mempersilahkan mereka bernyawa sekarat lagi sengsara akibat ketidakadilan yang ditegakkan.

Di kaca gedung putih tinggi itu, terpampang kertas berukuran ijazah Yan yang bertuliskan “Ada Lowongan Pekerjaan”. Yan bergegas masuk dengan segenggam harapan dan nasib baik. Berharap kota akan sedikit berbaik hati untuknya, dan rasa Yan menaruh sedikit asa ke gedung putih. Beberapa langkah dari pintu yang dia buka, telah berjejer sarjana-sarjana muda lainnya. Sepuluh sampai tujuh belasan sarjana muda macam Yan menanti panggilan wawancara. Sarjana muda dengan wajah tak jauh beda dengan raut muka Yan. Wajah yang hadir karena kekhawatiran tentang nasib masa depan. Raut-raut muka yang mewakili perasaan resah mengingat zaman yang dilanda diskriminasi dan ketidakadilan. Rasa senasib dan sepenanggungan yang mungkin sama-sama mereka idap membuat ruangan itu terasa dingin. Dingin dan kaku. Satu sama lain berhak mematahkan tulang dan jari-jari di antara mereka. Tapi tidak untuk ketidakadilan.

“Adakah hari ini keberuntungan berpihak padaku?” batin Yan berpikir. Tas lusuh warisan ayahnya yang ia bawa kembali menampakkan kesetiaan. Setia untuk terus memikul ijazah Yan. Arsip-arsip nilai yang ia kumpulkan jadi amunisi untuk meyakinkan kantor-kantor. Meyakinkan bahwa Yan memang pernah bersekolah tinggi. Hanya itu yang Yan bawa. Yan tak pernah sadar bahwa ada benda yang lebih berharga dibandingkan ijazah dan bukti-bukti kertas itu. Tentang benda biadab yang melahirkan koruptor dan pemakan daging negeri itu, Yan tak pernah sadar. Apakah bodoh atau memang lugu? Yan yang memulai hidupnya dari pesisir barat Sumatera itu benar-benar menjaga kesucian dirinya. Tertutup dari hal-hal kotor. Entah apakah bodoh atau memang menutup diri? Yan seakan buta zaman mengingat dirinya yang miskin. Miskin segalanya. Bermodalkan doa keluarganya, dia merantau ke tanah kota, dan hidup ditelan ketidakberesan kota.

Detak jarum jam lemas menunjuk angka sepuluh. Sarjana-sarjana muda sibuk akan diri masing-masing. Keegoisan muncul. Kalau tak egois, matilah diri dimakan dunia. Dunia yang semakin mencengkram hawa-hawa panas dari setiap karbon dioksida yang dihembuskan jiwa-jiwa bingung macam Yan, macam sarjana-sarjana muda lain itu. Dunia yang menyesakkan alveoli paru-paru dengan segala tindak tanduk manusia, penuh dengan diskriminasi dan ketidakadilan.

Pletak.... Pletak... Pletak... Terdengar suara sepatu seperti dihentakkan. “Inikah sainganku?” Yan kembali merisau meresah. Datang. Pemuda yang berjas hitam lengkap dengan dasi di dada berhasil membunuh api semangat Yan. Entah baru tamat, atau sudah menganggur lebih lama dari Yan, pemuda satu itu benar-benar sempurna. Sepatu PDH dibalut celana hitam, duduk disamping Yan. Tak seperti sarjana muda lain, pemuda itu duduk dengan wajah yang tak menampakkan kekhawatiran. Yan tertunduk melihat pemuda itu. Ditariknya sedikit celana lusuh yang ia pakai. Nampak sepatu butut dari bawah kursi. Sepatu yang sudah berkali-kali dijahit serasa enggan untuk berpisah dengan kaki Yan. Kali itu, pemuda berjas yang duduk disampingnya menjelma menjadi harapan Yan. Ia ingin juga berjas. Ingin berdasi. Tidak berkemeja tua lagi.

Kekakuan daging Yan semakin menjadi-jadi, tatkala namanya dipanggil untuk wawancara. Bersamaan dengan pemuda disampingnya, Yan berdiri melepaskan cengkraman kursi besi itu. Gejolak jiwa Yan meningkat. Panas terasa di dalam dinginnya ruangan putih  keabu-abuan. Kembali keringat dan peluh hadir dari setiap pori-pori kulit langsat Yan. Hantaman-hantaman bayang pemuda saingannya kembali hadir memenuhi syaraf otaknya. Takut. Kali itu juga, pemuda sempurna datang menyeruduk asa Yan, mengambilalih kesempatan Yan untuk bergaji uang. Dan, memori tentang pewawancara bulan Desember 2004 itu kembali menyeruak tumbuh dalam aliran darah Yan. Yan takut dengan wawancara.

Desember 2004, di atas kursi
“Kau tahu gejolak negeri ini apa, nak?”
“Ketidakadilan, Pak.”
“Ketidakadilan macam apa? Ketidakadilan macam tak dapat beras?”
“Itu salah satunya, Pak. Dan yang paling ironis itu ketidakadilan dalam hal hak asasi manusia. Terlalu besar jurang pemisah antara mereka, yang berdasi dengan yang tak makan nasi, Pak.”
“Terus, apa langkahmu bila jadi pemimpin negeri ini?”
“Saya tak ingin berandai-andai, Pak. Pemimpin negeri ini banyak yang berandai-andai. Mereka berandai-andai jadi pemimpin, padahal tidak sedikitpun mereka tahu arti pemimpin, Pak. Pemimpin menghormati insan-insan yang dipimpinnya. Duduk-duduk diantara mereka. Bukan berlindung diri dari panasnya matahari. Bukan juga berjalan-jalan, bersenang-senang, dan makan-makan. Pemimpin mendengar kata-kata orang kecil, melayaninya juga, bukan dilayani. Berdiri sama berdiri, duduk sama duduk. Dan bukan untuk dielu-elukan, Pak.”
“Kau yakin?”
“Kalau Bapak tak percaya, pulang dari kantor ini, Bapak tanya ke tukang becak, atau tukang ojek, atau tukang-tukang lainnya, tentang arti pemimpin itu.”
“Mereka tak mengerti tentang itu, nak.”
“Justru mereka yang lebih tahu daripada siapapun. Mereka yang dianugrahi predikat sebagai rakyat tahu apa arti pemimpin. Lebih dari kamus-kamus kertas yang ada di rak itu, Pak.”
“Hmmm, nak. Dirimu bagus berargumen. Bolehkah aku berandai-andai nak?”
“Apa, Pak?”
“Andai aku pemimpin kantor ini, aku angkat dirimu jadi pegawai tetap, tapi...”
“Apa Pak?”
“Ini kebijakan kantor”.
“Kebijakan apa Pak?”
“Ini nak”
“Aku tidak membawa itu Pak.”.
“O begitu? Tinggallah kamu menunggu pengumumannya Nak”
“..............”

bersambung..........

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)