Membelakangi



Sore itu, saat mendung datang diundang senja. Kala aku terbeku duduk membelakangi Ka, laki-laki pembawa cinta.

Pesan singkat dari Ka seakan menghipnotisku untuk memenuhi permintaannya : bertemu. Tiga tahun lebih aku tak berpandangan dengan Ka. Sebelumnya aku selalu menghindar, menghilang, dan memati dari Ka. Meskipun jauh sebelumnya lagi, aku dan Ka adalah satu jiwa. Hanya saja, satu takdir telah mempertemukanku dengan cahaya. Seiring cahaya itu terus-menerus datang, terpatri dihati untuk mati baginya. Cahaya itu adalah pembeda bagiku dengan Ka. Tepatnya penerang untuk memandangnya berbeda. Bahkan, langit dan bumi buka pembanding dari perbedaanku dengan Ka. Adalah surga dan neraka yang bisa melampauinya.

Ka mendapatiku duduk memandangi hamparan air danau. Wajahku telah lama tak terpandang dari mata Ka, sama sepertiku. Instingku hidup. Aku tahu dia mendekatiku. Tatkala namaku dipanggil, aku terhenyak. Nada suaranya masih sama seperti dulu. Tak berubah.

“Kamu boleh bicara denganku, asalkan kamu membelakangiku.” Kataku keras bergetar. Melawan.

Aku tak ingin menatap sekujur tubuhnya. Tak ingin mengulang masa-masa hidupnya perbedaan antara aku dan Ka. Meski aku sadari, semenjak aku memati darinya, aku sepi. Sendiri. Sunyi. Aku terus berusaha melawan kenyataan, tapi hatiku melawan kenyataan lain. Saat logikaku memberontak untuk menjelaskan fakta bahwa aku berbeda dengan Ka, justru rasa datang melawannya. Tatkala jiwa hendak mengubur mati kenangan-kenangan itu, tapi hati hadir membongkarnya kembali. Yang mana harus ku acuhkan? Logika atau rasa? Jiwa atau hati? Tidak semuanya.

Aku berbeda dengannya! Aku berbeda dengannya! Aku berusaha menguatkan diri. Namun, pikiran untuk melucuti semua rasaku kepada Ka selalu gagal. Memantul kembali menjadi ingatan yang lebih kuat. Bayang-bayang indah wajah Ka tak mampu menghapus riak-riak memori tentangnya. Beribu kali ku teguhkan bahwa dia berbeda, namun jutaan kali dia datang menggali serpihan-serpihan masa lalu. Bayang-bayang Ka tak lekang oleh pikiranku yang dikhianati keadaan.

“Melangkah ke depanku, aku akan pulang!” Kataku tegas. Bergetar. Lirih.

Mengapa? Mengapa semua itu ku lakukan. Terlalu banyak alasan aku menyuruhnya membelakangiku.

Satu alasan yang benar-benar ku ingat.

Umurku sekarang duapuluh lima tahun. Semua ini terjadi dulu. Lima tahun sebelum pertemuan ini ada, aku  adalah seorang wanita yang baru beranjak dewasa. Namun, jauh dari ukuran usiaku, aku telah mengerti makna cinta. Memang benar, cinta itu buta. Dan Ka hadir membutakan mata hatiku. Ka datang dengan keadaan yang berbeda denganku. Karena cintalah, aku menampik keadaan itu. Cintalah yang menghapus kenyataan itu. Aku mencintai Ka tanpa sebab. Tanpa alasan. Aku terlampau mencintai apa yang muncul dimataku, yang terlihat dari pancaran kharisma Ka.

Aku dan Ka menjalani hari bersama dalam sebuah perbedaan. Dia betah berlama-lama menungguku menunaikan ibadah agamaku. Begitu juga aku. Semua terasa indah. Tak pernah sekalipun kami mempersalahkan keadaan. Tentang aku yang terlahir berbeda dengannya. Kami saling memaklumi.

Ka yang pintar. Yang pendiam. Yang acuh. Yang dingin. Yang peduli. Yang dicintaiku. Ka yang seringkali marah kalau aku salah. Ka yang membuatku selalu memperbaiki diri. Dan Ka yang juga mencintaiku. Namun dibalik itu semua aku dan Ka berbeda. Cinta benar-benar tak memandangi keadaan.

Ku menamai Ka sebagai penyejuk. Bagai bernaung di bawah beringin besar dari sengatan panas matahari. Begitulah kiranya Ka (bagiku). Indah. Ka yang indah. Aku senang berlama-lama duduk disampingnya, walaupun Ka lebih banyak diam. Ka yang hanya bicara seperlunya. Tapi aku selalu menunggu ucapan-ucapannya. Aku tak pernah memprotes sikapnya yang dingin. Aku suka semua sikapnya. Dan aku mencintai Ka.

Berulang kali teman-teman dekatku mengingatkanku tentang keadaan kami. Kami yang selalu saling mencinta ditengah perbedaan. Kalian itu berbeda, temanku berkata. Kalian tak akan bisa bersatu, kata yang lain. Semua itu aku hadapi dengan sumringah. Hanya ada satu kalimat dari temanku yang mampu membuatku berpikir. Kalian bisa bersatu, kalian bisa terus bersama, asalkan kalian menjadi sama, asalkan kamu menyamai Ka, atau Ka menyamaimu. Dalam cinta itu, aku selalu bertanya. Apakah aku harus menyamai Ka? Apakah Ka yang harus menuruti jalanku? Ah... Aku masih terlalu jauh untuk menemukan jawabannya. Aku yang menyayangi Ka hanya terlarut didalam kekuasaan cinta Ka.

Itulah alasanku menyuruhnya untuk tidak menghadapku. Aku tak ingin rasa ku ke Ka kembali membuncah seiring melihat wajahnya yang teduh. Aku ingin Ka menganggap ku mati. Dan ku ingin Ka lari. Kenapa aku tak ingin rasa cinta ku ke Ke hadir lagi? Ini alasannya.

Aku sudah menemukan jawaban atas pertanyaanku. Apakah aku harus menyamai Ka? Atau apakah Ka yang harus menuruti jalanku?

Aku mendapat cahaya!!! Cahaya pembeda!!! Aku masuk ke sebuah universitas agama di kota ini. Orangtuaku bersikeras memasukkan ku ke tempat itu. Tempat yang asing bagiku. Asing dalam artian bahwa aku hanya sedikit tahu tentang kepercayaanku. Waktu itu, aku masih mencintai Ka. Dan Ka juga sama. Di tempat itulah aku menyibak jawaban dari pertanyaan besarku. Sedikit demi sedikit terkuak. Aku gali terus petunjuk-petunjuk pembuka teka-teki itu. Aku mulai paham dan aku mulai tahu. Selama pencarian jawaban, aku masih mencintai Ka. Aku mencintainya dengan hati. Efek cinta itu buta masih berpengaruh di hatiku. Tapi tidak dengan pikiran dan logika. Efek itu sedikit demi sedikit terkikis didaging merahku. Lama. Dan dalam waktu aku mencintai Ka dengan pikiran, aku mulai ragu. Ka berbeda. Tak ada alasan bagiku untuk menaruh cinta yang sangat besar ke orang yang berbeda denganku. Hingga aku sadari, selama ini aku menimbun kesalahan. Cinta yang salah. Ka tak semestinya terlalu jauh dicintai oleh ku. Ku harus pergi darinya.

Harus? Semudah itu untuk melupakan Ka? Tidak. Karena aku sendiri yang merasakannya. Keraguanku tentang kenyataan memang muncul. Tapi tidak dengan Ka. Ka masih hadir di pikiranku. Entah apakah Ka yang mengajakku ke bingkai cintanya, atau aku yang terlalu jauh jatuh ke relung hati Ka? Fatamorgana oasis yang penuh dengan air-air cinta selalu nampak di wajah Ka.

Ketika sendiri, kuat pikiran dan logikaku untuk berpisah dengannya. Kemauanku untuk tidak mencintai Ka lagi selalu memencar dikala aku terduduk di bawah sinar bulan, sendiri. Ku putuskan, benar-benar kuputuskan untuk tidak dengannya lagi. Tapi ironis. Aku tak mampu melakukannya jika Ka ada didepanku. Logika dan pikiranku tersisih oleh oleh hati yang mencintai Ka. Tiap kali dia nampak di depanku, fatamorgana cintanya kembali tumbuh dipikiranku. Mulutku kelu jika ingin membicarakan perbedaanku dengan Ka. Aku tak tahu apakah Ka paham dengan keadaanku. Aku yang selalu menampakkan rasa cintaku. Walau pada akhirnya akulah yang memaki-maki diri sendiri.

Hanya mati yang bisa memisahkanku dengan Ka. Terlalu sadis, tapi itulah adanya. Berlama aku bermain dengan hati. Maka kuputuskan untuk memati darinya. Menghindar dan lari dari Ka.

            Itulah alasan kenapa aku tak ingin rasa cintaku ke Ka hadir kembali.

Dan itulah mengapa aku menyuruhnya membelakangiku.

Cinta itu buta. Aku sangat tahu tentang itu. Cinta menyerang siapa saja. Cinta itu, tak pernah berlaku rasis, tak memilih kaya miskin, tak tergantung gen, dan tak tahu apakah berbeda atau sama. Aku adalah korban cinta buta. Aku berbeda dengan Ka, namun cinta masih bisa membutakan kami. Seolah meniadakan perbedaan itu. Malaikat penembak panah asrama itu apakah salah pakai busur panah atau salah bidik? Aku tak mengetahuinya. Begitu juga Ka. Ahh. Malaikat itu mungkin sedang sakit, atau mungkin sedang jatuh cinta kepada malaikat yang salah. Sehingga cinta yang salah itu hadir dipanahnya. Panahnya menembus hatiku dan hati Ka. Lalu cintaku dan cinta Ka menjadi cinta yang salah.

Tubuhku telah dikuasai bayang-bayang Ka. Entah mengapa hati ini tak pernah mau menghilang dari Ka. Ka benar-benar gila. Dia yang berbeda denganku, yang aku dengan sekuat jiwa mencoba lari darinya, dan yang untuk lari darinya selalu tak berhasil. Hati telah menguasai akal sehatku. Ka itu berbeda, bodoh!!! Aku selalu memaki diriku sendiri.

Krekkk.... Krekk.... Aku mendengar suara gemerisik dedaunan di belakangku. Tanpa ku lihat, ternyata Ka menuruti kehendakku : membelakangiku. Rupanya Ka bersimpuh di atas serakan-serakan daun kering. Dari awal Ka datang, aku tak mendengar satu kata pun dari mulutnya selain namaku. Masih seperti dulu, pendiam. Tapi membuat rindu. Kecipak air danau yang disapu-sapu sirip ikan nila membuatku bergeming untuk memulai pembicaraan. Pikiran ku masih tak peduli dengan Ka. Itu pikiranku. Itu logikaku. Tapi hati? Tidak.

Kepada Ka, tak pernah aku ceritakan alasan mengapa aku memati darinya. Aku dan Ka tak pernah membicarakan tentang perbedaan kami. Aku tahu itu hal yang sensitif. Aku lebih memilih menjadi pecundang.

Suatu malam, aku bermenung lama-lama. Beruntung, malam itu logika, pikiran, dan hatiku sedang kompak. Bersepakat untuk lari, menghindar, mati dari dan bagi Ka. Apapun ku lakukan untuk itu.

Ka masih duduk tanpa gerak. Sama sepertiku. Kami seakan-akan saling menunggu, siapa yang pertama memulai pembicaraan. Lama. Hening. Dalam diam itu aku berpikir. Aku tak tahu apakah Ka masih berbeda denganku. Dan aku tak tahu apa yang akan Ka lakukan jika masih berbeda denganku. Masih dalam hening. Kuputuskan untuk tetap diam. Menunggu Ka untuk berbicara.

Seberapa penting hal yang harus Ka katakan? Ahh. O ya. Aku ingat. Bukankah saat ini Ka tidak tinggal di kota ini lagi? Apakah sangat penting sehingga Ka memilih untuk jauh-jauh pergi menemuiku? Ahh. Biarlah. Terserah Ka. Seharusnya aku tak peduli.

Masih dalam hening.

“Hmm. Sya....”

Ka akhirnya berbicara. Lirih terdengar suaranya menyebut namaku. Ada sedikit getaran dari gelombang suaranya. Seperti orang gugup berbicara.

“Aku tahu Sya. Aku tahu kenapa Sya menghilang dari ku. Aku berada dalam dilema besar. Sya tahu, aku pendiam. Tapi dalam diam itu, sungguh Sya, aku mencintai Sya.”

Haa!? Tak biasanya Ka berpuisi tentang cinta didepanku, ataupun dibelakangku. Yang aku tahu dulu, dia hanya menunjukkan cintanya dengan bahasa tubuhnya. Seberapa penting hal yang Ka punya, hingga Ka berubah, hingga Ka harus berbicara ini itu kepadaku.

“Cinta bisa membuat orang berubah, memaksa orang melakukan hal-hal konyol, bahkan bisa menembus dinding perbedaan. Juga seperti aku, Sya.”

Perbedaan? Apa yang sebenarnya Ka maksud. Ya memang. Aku dan Ka sangat berbeda jauh. Bagai dua anak panah yang sedang melaju, satu ke arah barat dan satu ke arah timur. Satu-satunya kemungkinan dua anak panah itu bertemu adalah terus melaju mengitari bumi. Melewati seluruh rintangan:  hutan, gunung, lautan, benua-benua. Jikalah semua penghalang sudah ditembus, kedua anak panah itu bisa bertemu. Bahkan saling menancap di ujung-ujungnya.

Aku merasakan hatiku kembali bekerja seperti lima tahun yang lalu. Saat-saat dimana perbedaan antara aku dan Ka tidak ada apa-apanya. Waktu dimana aku belum menemukan cahaya. Saat..... Ah... Semakin diingat semakin kuat hati ini ingin kembali mencintai Ka.

“Sya, aku pandai membaca situasi. Aku punya banyak buku-buku psikologi, jadi aku tahu keadaan diri Sya waktu itu. Waktu Sya menghilang dan lari dari ku. Aku tahu apa penyebabnya. Sya, aku menerima perbedaan kita. Tapi, aku tak bisa menerima sesuatu yang dilakukan Sya. Hampir gila aku Sya. Apakah Sya merasakan hal yang sama sepertiku? Tak perlu dijawab, Sya. Biarlah diri Sya yang menjawabnya. Sya, Sya tahu. Aku sudah berhasil menembus dinding perbedaan itu. Aku sudah berhasil Sya. Aku berhasil!” Ka sedikit berteriak ditengah mendung yang semakin menggantung. Getar suaranya setengah bahagia setengah lirih.

Aku tersentak mendengar kalimat-kalimat Ka. Sungguh, hati kecilku mengiyakan pertanyaan Ka. Cahaya itu yang mendorongku menjauh dari Ka. Dan Ka mengetahuinya.

“Sya.... Aku sudah sama dengan.... Sya.. Aku sudah samaaa Sya.... Maukah Sya berjanji untuk tidak lari lagi dari ku?”

Kalimat terakhinya ini tak kalah membuatku terhenyak. Apa yang Ka maksud? Apa yang sedang Ka katakan? Sudah sama? Inikah yang dikatakan Ka tadi, cinta dapat menembus dinding perbedaan? Inikah kenyataan dari dua anak panah tadi? Dua anak panah yang dapat menembus penghalang hingga bisa menancap satu sama lain.

Krekk....Krekk... Dedaunan kering kembali berbunyi. Ka berdiri dan berbalik badan. Entah apa yang ingin Ka lakukan.

“Sya.... Maukah Sya memenuhi permintaan kecilku ini?”
“........... Aapaaaa?” Aku tergagap menjawabnya. Kecil tapi cukup untuk bisa didengar Ka.
 “Berdiri dan berbalik badanlah Sya. Aku ingin Sya melihat diriku.”

Permintaan kecil tapi sangat sulit ku lakukan. Terasa sangat berat badanku, padahal hanya berbalik badan. Hanya berbalik badan. Hanya menampakkan wajah ke Ka. Ah.. Itu bukan hanya.

Aku perlahan membalikkan tubuhku, menghadap Ka. Dalam waktu sepersekian detik itu, pikiranku masih sempat bertanya-tanya. Apa yang ingin Ka tunjukkan kepadaku? Tatkala aku berbalik, sosok Ka terpantul dibola mataku. Ka tersenyum ke arahku.

“Kaaaa?!” Aku terhenyak memandangi Ka. Ini yang tak aku ketahui sejak Ka datang sore ini. Tubuhnya berbalut pakaian putih-putih, memakai penutup kepala berwarna hitam yang tak asing bagiku.

“Iya Sya. Inilah aku sekarang. Aku tidak berbeda lagi dengan Sya. Aku sudah berhasil menembus perbedaan kita. Dan sekarang, maukah Sya berjanji untuk tidak lari dariku?” Ka berbicara seraya tersenyum. Aku menatap matanya dalam-dalam, begitu juga Ka.

Bukankah ini yang aku harapkan dulu dari Ka? Dan sekarang, pertanyaanku telah dijawab oleh Ka. Ka telah menyamaiku. Ka telah sejalan denganku. Sepertinya, cintaku telah menemui tempatnya sendiri, Ka.
Aku menatap Ka lamat-lamat. Sejuk. Sendu.

“Iyaaa Ka.. Aku tidak akan lari lagi dari Ka.”
“..........”

-RIO ISMAN-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)