Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2013

Negeri Khayalan 1

fantasy stories about proposing changes to the world of living systems....... Remember, just a mirage....... Sore itu, Arga dan Sula menyingkir dari keriuhan desa. Desa Pulau sedang dalam masa keramaian. Hampir semua warga berkumpul di pinggir lapangan desa. Ada pertandingan final RT Cup. Kebanyakan dari pemuda berbondong-bondong membawa bendera kebangsaannya. Ada yang membawa pasukan sekompi, lengkap dengan seruan-seruan berkorban. Hari itu diadakan pertandingan terakbar desa Palang Pintu, desa yang RT-nya hanya tujuh. Finalnya adalah RT Timur melawan RT Barat.

Gurauan Kota 2

Itu serpihan wawancara yang Yan terima Desember kala dia melamar pekerjaan di salah satu kantor pemerintah. Yan bingung dengan kata yang dilontarkan pewawancara itu. “Adakah yang salah jika aku tidak membawa uang? Uang pun tak tertera sebagai syarat-syarat untuk melamar,” benak Yan berpikir, waktu itu. Kerikil-kerikil jalanan seolah menghalangi ayunan tungkai Yan untuk kembali ke kontrakan sederhananya. Dua minggu berlalu dari waktu wawancara kantor. Hasilnya, Yan yang datang ke wawancara tanpa uang, tak lolos jadi pegawai kantor.

Gurauan Kota 1

Kota itu Berjejer berpuluh-berseribu semen yang dikotak-kotakkan nan berbentuk-indah, lurus, ataupun tajam. Dikotak-kotakkan seraya memalingkan muka dari jalanan berdebu, berlobang, dan menyeruak ditindih kendaraan-kendaraan tikus. Mengeluarkan kesan megah diantara gurat urat insan-insan dibawahnya. Kotak-kotak itu ternyata diatas bukit. Semakin megahlah dia ditilik dari lembah kenistaan ini, kata kotak-kotak itu. Insan-insan menderita hanya meratapi keadaan, tanpa banyak suara yang bisa didengar. Kota yang telah menjelma menjadi bukit mencuramkan jurang seiring frekuensi suara insan menyusut di antara kevakuman tebing. Penglihatan kotak-kotak itu terhalangi pepohonan-pepohonan coklat yang habis terbakar oleh debu-debu jalanan tadi. Titik  fokus matanya mengabur membuta. Bahkan divonis buta. Divonis oleh insan. Diperdaya oleh jalan-jalan berdebu didepannya, kotak-kotak itupun melenggang keluar dan melupakan insan yang malang, dibawah bukit tadi.

Pada Pengamen Kecil 2

Epen.... Begitulah nama anak kecil si pengamen ini. Sempat aku memrotes kenapa namanya diubah sedemikian jauh dari nama aslinya. Ilmiansyah Khadafi Amrulah. Seperti itulah abjad indah yang tertera diakte kelahiran, katanya. Bagai seorang berandal pengedar narkoba atau teroris pengirim bom buku, nama yang sebegitu indah diubah jadi Epen. Macam bunyi klakson Fuso, pennnnn.... pennnn!!! Di diskusi sore itu, aku berinisiatif memanggilnya Ilmi. Agak terdengar ke-perempuan-perempuanan, tapi makna ‘ilmi’ sendiri begitu melekat di Ilmi. Anak ini rupanya berilmu. Ya berilmu jika mau dibandingkan dengan petualangannya sebagai seorang ksatria gitar kecil pengais rezeki di warung-warung makan tepi jalan.

Pada Pengamen Kecil 1

Ini ceritaku saat bertemu si cerdas pengamen jalanan di perempatan titik nol. Aku melangkah dipetak-petakan trotoar Malioboro bersama seorang temanku, Hasyim. Sore Sabtu dengan keramaian yang membuncah di berbagai sudut jalan terkenal seantero negeri ini, aku menapaki kotak-kotak semen. Sepulang dari kuliah yang padat, diusir oleh dosen psikologi, dan hampir ditabrak delman beroda kuning mentereng, aku memilih refreshing di Vredeburg.

Chaniago (Kisah yang Anomali) 2

Tahukah kau, kejadian kakak-kakakku adalah anomali. Kembali anomali, Go. Ku kisahkan cerita yang lain, tapi ada kaitan dengan ke-anomalian itu. Ayahku adalah seorang dukun ular di kampung. Seumpama dokter, jelas ayahku bertitel di belakang namanya, SpGU. Spesialis gigitan ular. Macam perayaan hari ulang tahun, tragedi warga digigit ular telah membudaya di kampung kami. Setiap tahun, ada saja kasus penggigitan itu. Tak ada tragedi lain. Itu diluar kasus gagal panen atau hama wereng.

Chaniago (Kisah yang Anomali)

Inilah rumahku, Chaniago. Inilah kehidupanku. Entah mengapa kau memaksaku mengikutkanmu mudik tahun ini. Jangan menyesal telah memaksaku, Go. Diawal aku sudah berbicara panjang lebar tentang rumahku. Rumahku buruk. Namun tetap saja kau tidak mengerti. Kau harus tahan hingga bulan depan. Ku ceritakan sedikit keadaan rumah dan kampungku. Di kota telah aku katakan kan? Rumahku tak berkasur tebal seperti rumahku. Nyamuknya banyak. Berseliweran tiap pagi hingga pagi lagi. Kelambu pun tak ada. Lantai rumahku tak berkeramik indah, dan berlapis marmer licin, Go. Lihatlah yang kau duduki sekarang itu.

Aku, FLP, dan Dakwah Kepenulisan

Bismillahirrahmanirrahim.... Melalui Negeri 5 Menara, Anwar Fuadi berdakwah dengan kesederhanaan tulisan. Karya tulis tentang persepsi keyakinan, pembelajaran, usaha yang gigih. Semua itu dikemas dari perspektif Islam. Sungguh luar biasa. Dari Negeri 5 Menara, meledaklah sebuah mantra Arab yang sangat berkesan, Man Jadda Wa Jada : barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka pasti akan berhasil. Ahmad Fuadi berhasil mendakwahkan dirinya lewat tulisan. Habbiburahman El Shirazy pun begitu. Dengan rajutan kata, beliau berhasil menyampaikan pesan ayat-ayat Al-quran dan hadist-hadist Baginda Nabi lewat karya-karya beliau yang fenomenal.

Kisah Uang di Shelter Bus

Hey... Kau... Yang terlipat-lipat di dompet kekuning-kuningan itu. Kenapa rupamu murung seperti itu? Lihatlah dirimu. Dirimu lebih berharga dariku. Kenapa kau murung, Teman? Hey.. Aku tahu kau bersembunyi di sana. Terlipat-lipat dan terduduk-duduk oleh pantat majikanmu itu. Hey.... Kau... Yang berwarna merah agak kemuda-mudaan. Dari mana asalmu Teman? Jangan sungkan. Mari bergabung dengan kami. Apa? Apa kau malu untuk melonjorkan kaki-kaki mu di dompet usang penjual rujak keliling ini, Teman? Ayolah... Jangan malu. Kau diciptakan dari bahan yang sama dengan bahan kami juga, Teman.

Membelakangi

Sore itu, saat mendung datang diundang senja. Kala aku terbeku duduk membelakangi Ka, laki-laki pembawa cinta. Pesan singkat dari Ka seakan menghipnotisku untuk memenuhi permintaannya : bertemu. Tiga tahun lebih aku tak berpandangan dengan Ka. Sebelumnya aku selalu menghindar, menghilang, dan memati dari Ka. Meskipun jauh sebelumnya lagi, aku dan Ka adalah satu jiwa. Hanya saja, satu takdir telah mempertemukanku dengan cahaya. Seiring cahaya itu terus-menerus datang, terpatri dihati untuk mati baginya. Cahaya itu adalah pembeda bagiku dengan Ka. Tepatnya penerang untuk memandangnya berbeda. Bahkan, langit dan bumi buka pembanding dari perbedaanku dengan Ka. Adalah surga dan neraka yang bisa melampauinya.