Gurauan Kota 2


Itu serpihan wawancara yang Yan terima Desember kala dia melamar pekerjaan di salah satu kantor pemerintah. Yan bingung dengan kata yang dilontarkan pewawancara itu. “Adakah yang salah jika aku tidak membawa uang? Uang pun tak tertera sebagai syarat-syarat untuk melamar,” benak Yan berpikir, waktu itu. Kerikil-kerikil jalanan seolah menghalangi ayunan tungkai Yan untuk kembali ke kontrakan sederhananya. Dua minggu berlalu dari waktu wawancara kantor. Hasilnya, Yan yang datang ke wawancara tanpa uang, tak lolos jadi pegawai kantor.


Sekarang, berselang empat bulan dari kejadian itu, Yan kembali menghadapi wawancara.  Yan tidak membawa hal lain kecuali arsip-arsip kuliah dan seonggok dagingnya sendiri. Bernas-bernas keringat membuah di leher coklatnya.

“Akankah aku ditanyai tentang uang lagi?” Otak Yan kembali menggumam.

Ingatan Yan akan kejadian itu hilang seketika tatkala seorang wanita duduk seraya tersenyum ke Yan. Yan tak membalas senyuman manis wanita itu. Hanya terlihat semburat urat kehijau-hijauan menghiasi kening Yan. Juga di lehernya. Berulang kali nafas panjang terhirup dan terhembus dari tenggorokan keringnya mencari suasana nyaman untuk menghadapi wawancara dengan wanita itu. Tanpa disuruh, tangannya meraih pegangan kursi plastik dan merebahkan tubuh getirnya ke busa-busa kursi. Kecemasan akan masa depan menghantui pikirannya membuat dia masih tetap termenung memandangi jendela yang terbuka itu.

“Anda, Janita Dwi Putra?”
“Iya.. Iya.. Iya Bu. Panggil saja Yan.” Pertanyaan itu membuyar lamunannya.
“Oke Ian. Saudara Ian. Kenapa? Saudara terlihat sangat gugup.”
“Saya.. Gugup... Hmm. Iyaa.. Gugup.. Saya takut Bu. Saya takut...  Waktu itu.. Desember 2004, saya ditolak kerja. Saya takut itu terulang lagi.” Jawab Yan terbata-bata.
“Lalu?”
“Itu Bu.. Miskin. Iya.. Miskin.” Jawab Yan, lalu terdiam.
“Miskin? Maksudnya?” Ibu itu terbingung mendengar kalimat-kalimat Yan.
“Waktu itu saya ditanyakan tentang uang. Saya tidak membawa apa-apa. Hingga ketika pengumuman, saya ditolak. Saya tak tahu tentang itu.”
“O... Oke. Lupakan itu. Itu cerita lain. Saya lihat, nilai-nilai Anda tidak tergolong buruk. Sepertinya, Anda begitu sulit mencari pekerjaan. Ada masalah dengan cara berkomunikasi?”

Impuls syarafnya tersentak. Yan bersiap. Yan menghirup nafas dua oktaf. Panjang. Berkali-kali. Serasa ada kekuatan dari jiwanya untuk berbicara. Berkali-kali nafas itu. Nafas itu sedikit memakan waktu, namun ibu itu tetap bersabar menunggu kalimat-kalimat keluar dari mulut Yan. Yan berbicara.

“Tidak ada. Saya aktif berorganisasi ketika di kampus. Hingga akhirnya saya lulus, lalu Saya menemukan suatu kehidupan yang jauh lebih sulit daripada perkuliahan. Saya hanya seorang perantau dari tanah Sumatera. Tak mengerti apa-apa tentang kota ini. Saya mencoba untuk bertahan hidup, namun ternyata itu jauh lebih sulit dari apa yang Saya bayangkan. Aku tidak bisa memberikan apa-apa lagi kecuali kepercayaan dari mereka yang akan memberikan saya pekerjaan. Saya hanya ingin pulang dengan sesuatu yang dapat Saya banggakan ke orangtua. Hanya itu. Ya. Hanya itu” Yan berusaha sesantai mungkin. Air liurnya sesekali diteguk.

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Yan. Kesederhanaan nampak dari wajahnya yang lusuh. Dia tidak ingin bersandiwara dengan kalimat-kalimat yang bermaksud memberikan janji kepada kantor itu. Lebih baik baginya untuk mengutarakan apa yang dia alami. Ketakutan yang menghantuinya sekarang telah berubah menjadi sebuah prinsip.

“Oh Ya? Begini.... Ditengah persaingan global ini, kantor kami membutuhkan orang-orang yang kuat. Orang-orang yang berprinsip untuk maju. Dan kelihatannya Anda tidak seperti yang kami inginkan. Dengan argumen Anda, Anda tidak bisa menjamin bahwa Anda bisa memajukan kantor ini.”

Yan terkesiap dengan jawaban sekaligus peremehan itu. Pikirannya membuncah dan dadanya susut. Yan kembali menarik nafas. Kali ini lebih panjang dari sebelumnya. Nafas itu membuatnya menjadi tenang. Tenang.

“Tidak Bu. Orang yang lemah adalah orang yang hanya menuruti permintaan orang lain, padahal bertentangan dengan prinsipnya sendiri. Sepertinya, saya lebih memilih untuk tetap dengan apa yang saya inginkan. Itu bahkan lebih tangguh daripada orang plin-plan yang mau saja menuruti kehendak orang lain.” Yan menjawab pertanyaan wanita itu dengan sedikit tersenyum. Raut muka wanita itu berubah, menampakkan ketidaksukaan. Ibu itu sedikit tersinggung dengan jawaban Yan.

“Oke. Kalau memang begitu. Anda bisa menunggu hasil wawancara ini satu minggu lagi. Terima kasih dan silahkan.”
“Terima kasih Bu.” Yan kembali menyunggingkan senyumannya. Kali ini justru wanita itu yang tidak membalas senyum Yan. “Sesingkat itu?” Yan berpikir. Tatkala dia membalikkan badannya, terlihat dari pantulan kaca pintu, pemuda yang berjas hitam lengkap sedang memberikan amplop putih ke pewawancara. Pemuda itu dan pria pewawancara berjabat tangan seraya mengobrol entah apa yang dikatakan. Kali ini Yan tak terkejut dengan sesuatu yang dia lihat. Percakapannya dengan wanita tadi membawanya ke sifat yang sesungguhnya. Dia berjalan santai ke pintu dan berpapasan dengan pemuda berjas hitam, sang pemberi amplop.

Waktu terus berlalu. Dan satu minggu berlalu.

Pagi hari, tatkala jiwa Yan ingin berucap “Aku berhasil.”

Hari ini, terhitung seminggu sejak wawancara itu. Dentingan gitar Iwan Fals dari radio tua menemani beberapa orang di warung kopi itu, termasuk Yan yang tengah menyeruput kopi hitam. Kopi hitam pekat yang kopi thok tanpa adonan gula serasa merangsang tubuh Yan agar jauh dari kekantukan.

Sebuah televisi bergaya klasik meracau di sudut warung. Kali itu, siaran televisi mengingatkan sesuatu tentang negeri ini. Yan saat ini benar-benar berada di kehidupan yang sesungguhnya. Jauh dari kata diskriminasi, berkumpul dengan insan-insan yang malang, insan-insan yang berseliweran dengan kehidupan yang jujur. Bukan dengan tikus-tikus berdasi, macam petinggi negara yang sedang direkam di televisi itu.

“Oalah bapak. Sekiranya wes tua, jangan makan uang negara lagi. Piye toh? Opo ora ingat mati?” seorang bapak berseru. Pak Trisno namanya.
Kayak kagak tau aje Pak.. Pak.. Itu udeh jadi kebiasaan pak. Loh kalau gak korupsi dikatain belum punye jabatan tinggi. Udeh jadi budaye pak Tris. Boro-boro inget mati.” Pak Enal menimpali.
“Coba ya uang itu dikasih ke mbok. Warung pasti mbok dibenerin. Besar-besar sampai ke ujung gang masjid sana.” Mbok Inem pemilik warung ikut berkomentar.
“Iyalah Mbok, Pak. Mending jadi tukang becak seperti saya. Ndak pernah korupsi, hahaha,” sambung Mang Imam.

Yan tersenyum mendengar curahan hati insan-insan bawah. Pak Trisno, mbok Inem, Pak Enal, Mang Imam, dan insan-insan lain adalah lambang diskriminasi kota itu. Kehidupan timpang yang mereka jalani berbanding terbalik dengan jalan cerita hidup bapak tua sang koruptor di televisi itu. Peluh dan keringat yang selalu keluar dari daging Mang Imam, uang parkir yang tak sepadan dengan pengeluaran keluarga Pak Trisno, penghasilan pas-pasan Mbok Inem sebagai pemilik warung kopi, dan masih banyak insan-insan lain yang dicederai ketidakadilan. Lihat mereka yang berjas dan bekerja di dalam ruang berpendingin itu! Uang hasil kerja otot-otot para insan hanya dipakai untuk bersenang-senang. Hingga akhirnya, merekalah yang mati. Mati ditangan hukum. Dirajam di dalam jeruji besi, meski tak sampai kehilangan  nyawa. Para insan piye? Masih saja berkutat dengan kehidupan mereka yang jujur. Ndak pernah korupsi.

Beranjak dari kursi, Yan berlalu dengan secercah harapan. Diengkolnya kick starter motor tua itu. Dekdekdekdekdek.... Asap abu-abu itu keluar bersamaan dengan suara bak mesin ketek menderu-deru.
30 menit hilang berbaur dengan kemacetan kota. Stang motor pelan-pelan berbelok masuk ke sebuah gerbang gedung putih. Yan berhenti tepat ditengah-tengah gerbang. Dipandanginya dalam-dalam gedung itu. Seringai dimulutnya mencuat. Menguatkan diri sendiri. Hari itu adalah pengumuman wawancara. Siapa yang lulus, muluslah jalannya untuk bekerja.

Sama seperti saat wawancara, beberapa sarjana muda tengah berdiri di depan papan pengumuman. Bersenggol-senggolan dan mata sibuk melototi kertas bertabel. Ada yang berbalik badan seraya memaki-maki. Ada yang mengempalkan tangan sambil berteriak yes. Macam anak sekolahan yang baru menerima raport. Ribut. Beberapa kali satpam menegur ulah mereka. Yan mendekati kerumunan sepuluhan sarjana itu. Matanya yang dipicingkan, memfokus ke satu titik. Ironi. Tak ada namanya di deretan kertas pertama. Diulanginya lagi. Nihil. Masih tersisa dua kertas lagi. Lehernya mendadak keras. Tubuhnya menjadi ringkih. Di dua kertas tersisa tak ada nama Yan. Janita Dwi Putra tak tercantum di tabel itu. Singkat kata, gagal.

Yan kembali terduduk di kursi besi itu. Merenung. Pandangannya memang terhalangi keramik-keramik, tapi pikirannya jauh menembus tanah. Terus-menerus hingga bayangan gelap yang dia temui.

“Selamat saudara Ian. Selamat.” Yan mengenali suara perempuan itu. Ya. Ibu pewawancara. Yan tersadar dari lamunannya. “Selamat? Apa yang pantas diselamati?” Yan mengguman.
“Selamat? Saya tidak berhasil Bu. Apa yang pantas untuk itu?” Suara Yan sedikit mengeras.
“Ini kegagalan ke berapa, Ian?” Nada Ibu pewawancara dibuat selembut mungkin.
“Dua.”
“Haa! Baru dua? Baru dua tapi Anda sudah seperti orang gila. Baru dua! Orang diluar itu sudah ratusan kali gagal. Apa yang mereka lakukan setelah itu? Menyerah? Bunuh diri? Tidak! Semua orang sudah diberikan jatah gagal. Dan jatah gagal Anda belum Anda habiskan.” Sambil menyeringai, nada bicara Ibu pewawancara meninggi. Yan tersentak. Apa yang baru saja ibu pewawancara katakan adalah benar.
“Maksud dari selamat tadi apa, Bu?”
“Anda memang tidak berada di barisan nama itu. Anda tahu kenapa?”
“Tidak Bu.” Jawab Yan pendek. Tegas. Itulah yang membuat Ibu pewawancara menilai Yan berbeda.
“Selamat, Anda kami tempatkan di universitas di Malaysia.”
“H.a.a.a? A..p..a?” Yan tergugu. Tangannya mengeras memegang amplop yang diberikan Ibu pewawancara. 

Pikiran Yan masih dipenuhi tanda tanya. Mulutnya hanya terbuka setiga jari. Pelan-pelan dibukanya amplop putih yang bercap logo universitas. Terpampang jelas namanya di isi surat.

“Setelah disetujui direksi kantor, Anda kami sekolahkan di Malaysia. Sepulangnya dari sana, pekerjaan menunggu Anda.” Jelas Ibu pewawancara seraya tersenyum. Senyuman yang membuka kisah baru Yan. Yan tak pernah menyangka akan seperti itu.

Jelas sudah sekarang. Bukan jelas. Tapi sedikit tahu akan kelanjutannya, masa depan. Menyingkap secercah tabir, penutup sebagian penglihatan. Penglihatan Yan. Menerka-nerka takdir hidup. Menggantungkan sebait-demi-bait cita. Hingga telah merasa menemui jalannya. Yan berteriak “aku berhasil.” Persis dengan apa yang hendak ia teriak. Seringai mulutnya nampak tatkala tahu nasibnya berkebalikan dengan Sarjana Muda. Hari itu, kota telah berbaik hati. Diskriminasi kotak-kotak megah tak menyapu nasib Yan. Serasa kotak-kotak sukar mengalahkan titik terang dari kehidupan yang jujur. Kesuciannya telah melanggar kesewenang-wenangan kota. Jauh dari gigi-gigi tikus yang berjalan mencari jiwa yang ditindas. Melangkah kembali seraya menundukkan kepala ke arah Yan.

Tentang uang? Tentang ketidakadilan? Kala ini Yan terhindar.

Kemelaratan masih menghantui jiwa-jiwa insan. Tapi setidaknya, ada satu insan yang tersenyum malam nanti. Cukup untuk mewakili kesenangan insan-insan yang lain. Malam nanti, ada yang berharap bahwa jiwa keinsanannya masih membumbung tinggi tatkala dia pulang.

HABIS...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)