Cahaya Kecil



Tempo hari, aku melihatmu lagi. Semua yang kupikirkankan buyar tatkala aku mulai menatap kehadiranmu. Aku sulit mendefinisikan keadaan itu, tapi yang jelas, kau sepertinya masih sama layaknya dulu. Aku tak ingin mengulang sesuatu yang dulu terjadi karena aku paham, akan lebih menderita jika aku mengingatnya. Sejurus setelah aku menoleh dan mendapatimu bersimpuh beberapa meter dariku, aku mulai merutuki keadaan. Kehadiranmu mengejutkanku meski dalam benakku, kehadiranku engkau anggap tidak ada. Hey, dont you want to look at this stupid face and say something? Dan sekarang engkau sudah jauh lagi.


Tempo hari, aku sama sekali tidak menangkap balasan pandanganku dari matamu. Aku hanya mendapati itu dimimpi-mimpiku tentangmu, yang semuanya hanya bertahan sampai tidurku selanjutnya. Jari ini menghitung bahwa kau telah hadir sebanyak tujuh kali, dalam mimpi, dalam rupa yang selalu berbeda. Aku selalu mengingatnya sebagai modal untuk menghilangkan kerinduan. Setiap sin mimpi kuusahakan untuk selalu terekam bersih. Walau semua itu akan hilang setelah tidurku selanjutnya. Semua itu berakhir dalam pengharapan kehadiranmu lagi. Semua berakhir dalam kerinduan buta.

Aku mungkin satu-satunya orang yang mengingkari kenyataan yang justru dulu menjadi harapan. Aku menenggak bir kesukaan namun leher kembali memuntahkan tatkala cairan itu menyentuh kerongkongan. Sudah, aku hanya menikmatinya dari luar tanpa bisa membebaskan dahaga. Bir itu, sama sepertimu, tak tersentuh oleh diri yang terkadang dibelit rindu. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, termasuk dirimu yang sangat bisa membuatku tertahan. Tidak bisa bergerak bebas. Dirimu terlepas dari hidupku sekarang, dan entah kenapa aku merasakan sebaliknya.

Tempo hari, aku melihat gerak-gerikmu, lagi. Tak banyak yang aku tangkap karena mataku kalah sibuk dibanding pikiranku. Seandainya aku lahir seribu-an tahun yang lalu, aku akan diangkat menjadi filsuf. Aku memandangimu lima detik namun pikiranku tentangmu merasuk hingga berjam-jam. Aku dipusingkan oleh khayalan-khayalan tentangmu yang aku ciptakan sendiri.

Aku tak menuntutmu untuk tahu bagaimana rasanya merindu. Aku ingin kau begitu saja, berjalan dengan sesejatinya karaktermu, tidak dibuat-buat. Apa artinya peduli jika hanya direkayasa? Bertahanlah untuk tetap acuh karena itu daya tarik darimu. Dan aku tahu, kau memang tidak akan pernah peduli dan acuh. Akan janggal jika melihatmu menyapaku dan mengobrol bebas tentang berbagai tema kehidupan. Jika itu ada, itu bukan dirimu. Aku tidak butuh kepalsuan, karena kutahu kau tak mungkin juga akan melakukannya. Aku tidak mengharapkanmu untuk peduli. Aku tidak mengharapkan apa-apa sama sekali. Berjalanlah begitu saja dengan perlahan. Aku tertahan ditempat, dengan kerinduan yang mengaduk.

Kerinduanku adalah paradoks. Kau bagaikan zat isi ulang kerinduan. Tatkala zat itu akan habis, saat itu juga kau datang. Namun lebih baik habis daripada harus terisi kembali. Terisi penuh dengan suatu pengharapan yang entah berujung kemana. Aku tahu benar, dalam dirimu tak terjadi apa-apa. Kau adalah antitesis diriku. Bergejolak benak dan mulai menyalahkan : kenapa aku harus datang jika begini jadinya. Kau menuruti pintaku : berjalan begitu saja dengan perlahan. Dan jika ingin melihatku, lihatlah, aku merangkak menaiki bukit terjal penuh cadas tajam dan bunga berduri, meninggalkanmu. Sesekali aku menoleh kebelakang melihat punggungmu yang setiap detik menjauh. Aku bergeser lima senti, kakimu melangkah dua puluh kaki. Kau pelupa, hhhhhh, tapi tak apalah. Aku melihat cahaya dibalik ujung bukit, kau melihat titik dikaki bukit.

Biar kubisikkan sesuatu : aku menyayangimu. Memang, hendak muntah kau mendengarnya. Biarlah kau merasa muak layaknya menenggak tuak. Muntahlah, terkadang memuntahi isi perut dapat menyegarkan sekujur tubuh. Tinggalkanlah isi perutmu, biar aku yang menjilatinya seraya mencicipi kerinduan yang baru saja kau keluarkan. Dan kita sama-sama tahu, tidak begitu percintaan. Ini kenyataan, bukan mimpi-mimpiku tentangmu.

..
..

Haaa... Huuu

Terlepas dari semuanya, kaulah yang membuat bertahan. Kau adalah titik kecil kuning yang menjadi tujuanku disepanjang goa gelap ini. Goa ini basah, bau rumput goa basah. Kelelawar dan kunang-kunang menemani, walau terkadang sering membuat jengkel. Sesekali batuan kecil menimpa kepala, terkadang kaki tersandung ujung napal. Tangan kananku hampir lemas, api diujung obor sebentar lagi padam. Aku tetap berjalan menuju titik kecil pemberi harapan. Titik kecil itu kuyakini memberi kehidupan. Kau, titik kecil itu, tak menyadari tubuhku yang setengah mati datang ke arahmu. Ya, kau memang titik kecil, makhluk mati, tak dapat melakukan apa-apa kecuali menyinari. Namun sungguh, semuanya menjadi arti.

Di goa, sekarang, langkahku semakin gontai, kaki sedikit demi sedikit kehilangan energi tuk menopang. Aku menepi, berharap ada tonjolan-tonjolan batu di dinding yang dapat membantuku berjalan. Aku berharap tidak ada ular atau buaya yang menggangguku dalam perjalanan menggapai kau, titik kecil di ujung goa. Aku mengharapkan keajaiban, namun justru agaknya goa ini memanjang. Apakah hanya ilusi atau murni kenyataan? Sinarmu semakin meredup, sebentar lagi engkau akan jauh. Goa ini lambat laun menghitam. Hey, kau jangan berlari! Dan praktis, aku menendang cadas ditengah kegelapan yang gulita. Jarak pandangku nol. Titik kecil itu pergi entah kemana. Apakah kembali atau tidak, aku sibuk menghela napas.

..
..

hening
 Semuanya menggantung. Ada kunang-kunang turun ke tanganku, lalu seperti menggigit. Ada semangat yang tumbuh, meski sedikit berbeda saat kumelihatmu. Kunang-kunang ini seakan ingin menunjukkan jalan keluar. Aku mulai melupakanmu, titik kecil yang hilang. Dan kau, siapa sebenarnya dirimu, wahai kunang-kunang?

sumber gambar https://adrian10fajri.files.wordpress.com/2010/09/nila_setitik_by_fajrithedreamer-d39q57y.jpg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Korelatif 2 (Part 2)