Se-Maradona di Tengah Hujan

Ashar ini, Yogyakarta dideru hujan lebat. Suara jejatuhan air hujan menghiasi sore ini. Sangat lebat. Gemuruh genteng berbunyi-bunyi dijatuhi ribuan titik-titik air hujan. Dan akhirnya, salam. Belum lima detik salam berlalu, anak-anak sekitaran masjid telah menghambur keluar, langsung terjun dari lantai masjid, bergumul dengan teman-teman sebaya mereka, menikmati berkah hujan dengan kesenang-senangan. Singkat kata, main hujan. Gelak tawa mereka terdengar bersamaan dengan air hujan yang semakin menderas.

Ingatanku menerobos jauh tentang gelak tawa mereka. Pikiranku kembali menampilkan rekaman-rekaman kejadian saat hujan tempo hari yang jauh, yaitu saat senang-senangnya bergumul di lapangan terendam air, bermain bola dengan Meladi, Arif, dan anak-anak tetangga lain. Suatu kenikmatan tersendiri jika bermain bola di tengah rendaman air hujan, dengan air hujan yang jatuh selebat-lebatnya. Adalah spesial jika sore hari di waktu kecil itu hujan turun. Tak dikomandokan lagi, anak-anak, termasuk aku, Arif, dan Meladi berduyun-duyun memasuki lapangan SD Negeri 1 Babat. Disaat manusia lain bergegas pulang menghindari air hujan, kami malah bergegas pergi ke lapangan takut-takut jika hujan berhenti. Satu anak membawa bola. Terlebih dahulu kami menyusun sandal menjadi dua titik terpisah yang akan dijadikan sebagai gawang. Lebar gawang biasanya lima sampai tujuh langkah. Kemudian satu anak dipilih sebagai kiper. Dan pertandingan dimulai, istilah gamenya adalah se-maradona. Ya, entah siapa yang pertama memulainya, tapi itulah namanya. Aku berpikir bahwa itu diambil dari salah satu legenda sepakbola dunia, Maradona. Gaya Maradona bermain adalah dengan menampilkan teknik-teknik individu yang sangat tinggi. Begitu juga permainan se-maradona. Kami bermain secara individu, berlarian, berebutan bola tanpa oper sana oper sini, giring sendiri, dan mencetak gol. Jikalau berhasil menjebol gawang, maka dialah yang berganti menjadi kiper.

Tapi, dikala hari hujan, apalagi hujan lebat dengan air yang menggenangi tanah yang tak rata, peraturan itu sedikit berganti. Sewaktu bermain di bawah hujan, kami tak fokus kepada bola, namun kami sibuk berlarian menendang-nendang air hingga kuat-kuat. Berlarian kuat dan menyerosot tanah dengan topangan kedua kaki sambil tangan menunjuk ke atas, bergaya seperti Rooney setelah berhasil mengegol. Ada yang saling siram, ada yang saling tindih, bahkan ada yang saling pelorot celana. Jika sepakat, beberapa anak akan mengerjai seorang anak yang dijadikan target. Mereka menangkap si anak target, membopongnya ke pinggir lapangan, dan melemparkannya ke kolam yang kami sebut lubang etek. Semua tertawa, semua berseru, juga si anak target.

Jika ada bagian tanah yang telah gundul, tanah tersebut penuh dengan becek-becek. Kejahilan lain pun dilakukan. Anak-anak bahkan mengais tanah becek itu dan memasukkan ke cangkir minuman mineral. Setelah itu dilemparkan ke tubuh teman yang lain. Becek sudah. Acara se-maradona berganti dengan saling lempar lumpur. Pada saat itu, entah bola telah lari kemana, semuanya tidak menyadari.

Hujan reda adalah suatu ketidakenakan. Tinggal rintik-rintik kecil adalah keadaan dimana tingkat greget berkurang. Entah kenapa, jika rintik-rintik hujan telah datang menggantikan air hujan yang lebat, tubuh akan menggigil kedinginan dan perut semakin keroncongan. Sebelum pulang, biasanya anak-anak berebutan berlari ke arah sumur sekolah, membersihkan sisa-sia lumpur. Ada juga yang cuek dengan keadaan tubuh dan langsung pulang. Mungkin sudah terlampau dingin dan lapar.

Aku bersabar saja, menunggu teman-teman membersihkan tubuh mereka. Aku memilih giliran terakhir supaya bisa berpuas-puas menyirami tubuh tanpa ditunggui teman lain. Padahal bisa saja aku langsung pulang kerumah dan membersihkan tubuh sepuasnya di sumur rumah. Rumah ku hanya berjarak limapuluh meter dari sekolah.

Aku sumringah jika pulang. Karena biasanya, Ibu akan menggoreng godo dan pisang goreng untuk kami sekeluarga. Juga teh panas dengan asap mengepul, akan menghangati tubuh dingin ini.

Amboiiii, masa tempo hari yang jauh itu (masa di sekolah dasar) memang sedap. Sesedap menyantap godo dan pisang goreng hangat saat dingin-dingin. Bermain dengan teman-teman dengan asyik, tanpa ada sesuatu hal yang mengusik.

Amboiiii, kadangkala pikiran ini ingin mengulang sore-sore kecil itu. Berlarian bebas tanpa ada batas. Masa kecil yang nikmat, senikmati menyesap teh hangat di ruang tengah di desa Babat.


Amboiiii.... Mel, Ref, kapan nak maen lagi?

PicSource

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)