Nelangsa Pusara 2

“Oh. Fendri. Ayah masih ingat. Waktu itu kau selalu ambisius untuk pergi ke negeri penuh teknologi itu. Setiap kali kau pulang, kau selalu menceritakan kehebatan Asia Timur Nak.”

“Iya Yah. Sekarang aku akan bisa ke sana Yah. Ke Asia timur Yah.”

“Wahh. Itu bagus Nak. Memang Ayah percaya bahwa kau akan bisa ke sana. Kau anak yang pintar.” Ayah antusias mendengar ceritaku. Namun terlepas dari  keceriaan Ayah, aku bingung mau memulai inti ceritaku. Aku tak ingin berbasa-basi lagi. Jam sepuluh tepat mobil terakhir menuju kota akan berangkat. Aku menghela nafas panjang.

“Yah. Aku tak bisa menunggui Ayah seperti biasanya.  Pemberangkatanku ke Asia Timur Sabtu ini Yah. Maafkan aku. Aku pamit kepada Ayah.”

Sedikit lega. Beberapa detik kemudian, binar ceria dari mata Ayah perlahan memudar. Bola matanya yang coklat berputar seiring otaknya berpikir tentang perkataanku. Sedih juga aku melihatnya. Aku tatap wajah Ayah lamat-lamat.

“Yah, bukankah Ayah ingin melihat fotoku dengan latar belakang gunung Es? Bukankah Ayah ingin melihat fotoku bersama orang-orang bermata sipit? Yah... Aku akan membawanya Yah. Secepatnya. Kita lihat bersama-sama.”

Aku sedikit berseru. Dalam keadaannya yang sakit, Ayah masih terdiam.

“Hmmm. Fen. Itu mimpimu Nak. Jangan khawatirkan Ayah. Doakan saja Ayahmu sembuh. Berangkatlah Nak. Jangan tunda mimpimu. Ayah hanya bisa mendoakan kemudahan-kemudahan. Jangan lupa bawa foto-fotomu itu. Semoga perjalananmu lancar, Nak. Semoga kau datang sebelum Ayah pergi. Dan semoga duniamu baik, Nak”

Ayah berkata dengan nada datar. Hatiku luruh mendengarnya. Terselip sebuah pesan aneh dari perkataan Ayah. Pesan yang belum pernah aku dengar dari Ayah sebelumnya, ’Semoga kau datang sebelum Ayah pergi’. Aku berusaha mengacuhkan itu.

Aku mencium tangan Ayah dan Ibu satu persatu. Tak pernah ku sadari bahwa itu adalah kali terakhir aku mencium tangan Ayah. Terasa dingin. Tidak ada yang bisa menghalangiku meski aku tak yakin orangtuaku meridhoi keputusanku. Lebih-lebih Ibu.

“Tak sampai sebulan aku sudah disini lagi, Bu, Yah.”

Kataku meyakinkan. Aku pergi dengan egoku. Aku pergi dengan ambisiku. Tak peduli keadaan keluarga. Yang terpenting adalah aku bisa meninggikan karirku.

-----
Sabtu pagi di Asia Timur, petaka datang. Saat kakiku melangkah ke

ruang kantor, Kakak menelponku. Ayah meninggal! Aku baru teringat tentang Ayah.
“KAU HARUS PULANG SEGERA!!!!” Kakak membentakku penuh amarah di telepon. Bentakan terngiang-ngiang di otakku. Aku harus pulang. Meski terlambat tapi aku harus tetap pulang.

Celaka, airport Asia Timur ditutup karena meletusnya gunung Ba. Pesawat tidak memungkinkan untuk mengudara. Harus menunggu setidaknya dua hari lagi. Dua hari dalam penantian pemberangkatan itu, tubuhku bagai orang mabuk. Pikiran tak tentu arah. Sepanjang hari hanya termenung di mess.

Dua hari setelah itu, aku terhuyung melangkah ke airport. Pikiranku terus melayang tak karuan bagai tak ada batas waktu. Itu terus terjadi hingga aku melangkah ke teras rumah. Aku pulang. Tanah pusara Ayah masih basah. Masih berumur satu setengah hari.
“Kenapa kau pulang? Sudah terlambat Fen kau datang. Ayahmu telah tiada. Tahukah kau Nak, Ayahmu memanggil-manggil namamu terus. Tiap malam. Tiap pagi. Berharap kau menghiburnya di sisi ranjang. Dan sekarang, kedatanganmu terlambat. Ayahmu tak bisa lagi mendengar cerita-ceritamu, Nak.”

Ibu menyambutku dengan rangkaian kata yang menelisik hati. Aku tersungkur dihadapan Ibu.

“Bu. Ampuni aku Bu. Maafkan aku. Aku sangat menyesal Bu.”

Aku terisak dan menciumi ujung kaki ibu.

“Nak. Penyesalan selalu datang terakhir. Sekali lagi semuanya sudah terlambat. Mohon ampunlah kepada-Nya.”

Aku masih terisak. Erat dekapanku memeluk Ibu. Sangat erat.

“Kak, antarkan aku ke pusara Ayah. Antarkan aku Kak!!” Aku menyeret lengan Kakak.

Pusara Ayah terbujur dihadapanku sekarang. Bagai guling, aku memeluknya erat-erat.

Tidak seharusnya aku menuruti egoku. Tak sepatutnya ambisi mengalahkanku. Aku pantas dikatakan biadab. Sangat pantas. Aku tak mampu memenuhi janjiku ke Ayah. Bahkan, untuk hadir dalam waktu-waktu terakhirnya pun tak bisa. Maafkan aku Ayah. Maafkan aku wahai jiwa yang telah tenang disisi-Nya. Oh Ayah. Jikalah aku tahu akan takdir ini, aku tak akan lari darimu. Aku tak akan menjauh. Maafkan aku Ayah.

“dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”. (Q.S Maryam, 19:14)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S Al Israa’, 17:23)

HABIS

Komentar

  1. Anonim04.01

    disisi lain ayah yang sangat peduli dengan karir anaknya, disisi lain anaknya nggak peka terhadap apa yang dirasakan ayahnya. Ego terkadang menutupi hati dan perasaan.

    BalasHapus

Posting Komentar

There's Any Comment Guys?

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)