Nelangsa Pusara

                                                                                    Short story that can easily be guessed


Minggu sore, pukul setengah enam. Pekuburan pinggir kota lengang. Penjual bunga tujuh rupa dan anak-anak pembersih makam telah beranjak pulang. Gerbang pekuburan masih terbuka. Terlihat tukang gali kubur duduk di posnya. Suasana pekuburan itu terasa sejuk. Semilir angin berhembus diantara pohon-pohon makam. Rindang. Gemerisik dedaunan kering beterbangan tak karuan disapu angin. Beberapa daun menerpa batu nisan, terbang lagi, menyentuh tanah lagi. Bebungaan segar dan layu yang tercecer di jalan setapak berpindah tempat ke rerumputan.
Sangat cepat, angin terus bergerak. Seperti dipicu oleh suatu tenaga, angin bergerak cepat ke arah selatan. Semakin kuat. Wusshh..... Wusshh..... Dilangit jauh terlihat gumpalan awan hitam. Bergelombang-gelombang. Mendung rupanya. Arak-arakan mendung datang dari utara. Awan-awan kelabu tipis lebih dulu datang menyelimuti kompleks pekuburan. Beberapa menit lagi, mendung akan menaungi ratusan makam. Dan setelah itu, suasana rindang akan berganti dengan mencekam. Ya, apakah tidak mencekam, sore kelam di tengah makam?

Namun suasana itu tak akan berpengaruh kepadaku.

Mendung tepat menyiapkan amunisinya di atas komplek pekuburan. Ribuan rintik hujan mulai turun. Dedaunan mulai berhenti beterbangan diterpa rintik hujan. Jalan setapak mulai basah. Tanah-tanah mulai berlubang-lubang seukuran ujung pena. Ditengah keadaan itu, aku masih tersungkur di pusara Ayah. Tepekur nelangsa di kuburan yang baru berumur satu minggu itu. Dan ini adalah hari keempat aku menghabiskan sore di kuburan Ayah. Tak peduli gelap datang. Tak peduli kepala kotor akibat tanah. Terserah baju terkena lecak. Persetan dengan hujan yang turun. Aku berharap isak hatiku bisa didengar penghuni kuburan itu. Risau jiwa hendak meminta ampun. Bukan lagi meminta maaf. Aku diselimuti duka tak terkata. Dihantui rasa bersalah tak terbilang. Mengapa? Beginilah kisahnya.

Selepas aku tamat dari kuliah, aku bekerja di sebuah kantor keuangan internasional.  Itu berada di ibukota Negara. Mudah saja bagiku untuk menduduki jabatan tinggi di perusahaan tersebut. Singkat kata, aku menjadi salah satu manager divisi. Jabatan tinggi untuk ukuran junior itu aku rengkuh dalam waktu empat bulan. Mulai dari situlah kegilaanku akan uang tumbuh. Sifatku berubah selama aku bekerja. Uang yang tiap hari aku urus menjerumuskanku pada suatu kenyataan pahit. Aku gila uang.

Karirku yang terus menanjak mengantarkanku pada kontrak kerja di Asia Timur. Demi mengejar karir yang lebih tinggi, dan tentu uang yang berlimpah, aku siap melakukan apa saja. Mendadak, satu minggu sebelum keberangkatan ke Asia Timur, aku pulang. Bukan melepas rindu, bukan untuk menciumi tangan kedua orangtuaku, tapi karena pesan dari Kakak. Ayah sakit keras. Mereka memaksaku pulang.

Aku mendapati Ayah terbujur di ranjang. Bibirnya licin namun pucat. Aku terpana melihat keadaan Ayah. Keadaannya sungguh memprihatinkan. Kurus. Tatapan matanya lemah. Sayu. Seakan minta dikasihani. Tangan kanannya terkulai lemah di pinggir ranjang. Telunjuk kirinya bergerak-gerak diatas dada. Obat-obatan tertata apik di meja. Aku masih mematung.

“Fen. Sini Nak. Ternyata kau baru datang. Ayah sudah rindu dirimu Nak.”

Ayah berbicara lirih. Seolah-olah berbisik, namun cukup bagiku untuk mendengarnya.

“Ayah tidak apa-apa. Hanya keletihan. Kenapa wajahmu seperti itu? Tak biasanya semangatmu hilang Fen.”
Suara Ayah sedikit dikeraskan. Dibuat-buat supaya aku tak khawatir. Ayah berupaya untuk melegakanku. Tapi aku sangat tahu keadaan Ayah. Penyakit menahunnya kembali menyerang ke titik klimaks. Aku mendekati ranjang. Ku tarik sebuah kursi plastik merah dari kolong meja. Kami mengobrol beberapa jam lamanya.

Aku meninggalkan Ayah ketika beliau terlelap tidur. Ibu tengah menonton televisi saat aku menyibak tabir kamar. Aku teringat pekerjaanku di ibukota Negara. Demi kelanjutan karirku, aku harus bersegera kembali ke sana.

“Apa?! Fen, dengar! Kau tak bisa meninggalkan Ayahmu dalam keadaan seperti ini. Ayahmu  butuh dukungan untuk sembuh. Kenapa disaat genting seperti ini, kau malah harus pergi jauh Fen?”

Ibu menengkari pembicaraan awalku. Ibu terkesiap dan refleks mematikan televisi. Jarang sekali Ibu berbicara sekeras itu. Jika ada sesuatu yang sangat mengganjal hatinya, barulah Ibu berbicara  keras. Padahal aku baru berbicara lima kata, “Aku harus ke Asia Timur Bu”.

“Bu, hanya tiga minggu Bu. Setelah itu aku pulang. Ini hanya administrasi saja Bu.”

Nada ku datar. Ambisiku tidak boleh terhenti. Toh Ayah sudah mengatakan bahwa beliau tidak apa-apa. Meski ku tahu faktanya apa. Ibu kembali duduk menenangkan pikiran.

“Jangan pergi nak. Pekerjaan itu ada banyak. Tapi Ayahmu di dunia ini hanya satu.”

Ibu melembut berbicara kepadaku. Aku masih tak ringkih.

“Iya sudah Bu. Aku pikirkan besok.”

Kadangkala aku bisa lembut. Dan saat ini aku tak bisa melakukannya. Itu antara ambisiku dan Ayah. Disaat jalan terbentang untuk meninggikan karir, bencana sakit melanda keluarga. Aku tak bergairah menyanggah perkataan Ibu. Aku putuskan untuk beristirahat. Namun tak semudah itu. Aku tak bisa tidur. Semalaman aku menimang-nimang keputusan. Tepat tengah malamnya, aku tahu apa yang akan ku lakukan. Aku akan ke Asia Timur. Ayah telah beberapa kali sakit seperti itu, mencapai titik klimaks dalam sakitnya. Meski sebelumnya ketika Ayah sakit, aku rela berbulan-bulan di rumah menunggu sampai Ayah sembuh. Meninggalkan kuliahku. Dan hasilnya, Ayah selalu sembuh seperti sedia kala. Kali ini aku mengambil langkah lebih awal. Lebih dahulu mengejar karir meski tidak menunggu sampai Ayah sembuh total.

“Nak. Kau masih akan pergi ke Asia Timur itu?”

Ibuku bertanya saat melihat tasku telah tergeletak di kursi depan.

“Bu, ku hitung, sudah enam kali Ayah sakit seperti ini. Ayah selalu sembuh bila kami aku dan Romi pulang. Selalu begitu.”

Jawabku dengan tangan yang masih sibuk membereskan tas.

“Fen, ketahuilah nak. Ibu punya firasat tak baik tentang hal ini. Ada yang mengganjal dihati ibu. Tidakkah kau bisa menunggu? Atau minta tolong ke rekan kerjamu. Tungguilah Ayahmu hingga sembuh.”

“Bu, maafkanlah aku. Ini menjadi dilema Bu. Secepat mungkin aku akan pulang. Di Asia Timur itu hanya persoalan administrasi. Tiga minggu lagi aku pasti dirumah. Setelah itu aku akan menunggui Ayah sampai Ayah sembuh, Bu. Maafkanlah egoku, Bu.”

Suaraku melemah tidak dibuat-buat. Asia Timur adalah mimpiku. Kesempatan telah terbuka lebar. Dan Ayah. Ayah pasti sembuh. Meski kehadiranku di rumah tak membuat perubahan yang berarti dengan kondisi Ayah. Kebiasaan enam kali sebelumnya pasti akan terulang kembali.

“Nak. Tak ada yang menjamin kondisi Ayah yang sembuh seperti sebelum-sebelumnya akan terulang kembali. Kita berkumpul dulu Nak. Berkumpul sekeluarga di rumah. Sejak kalian dewasa, rumah ini terasa sangat sepi. Kita jarang berkumpul lagi.”

Hati kecilku mengiyakan perkataan Ibu. Namun sebagian isi hatiku telah mengeras. Telah terlampau berambisi.

“Bu, sekali ini saja Bu.” Jawabku pendek.

“Fen, ketahuilah Nak. Perjalananmu kali ini takkan berjalan lancar. Bukan apa-apa, tapi pikiranmu akan senantiasa kembali ke rumah ini. Ke kondisi Ayahmu. Mulai kau keluar dari kampung ini, pikiranmu tak akan tenang. Percayalah. Tapi, jika memang kau yakin bahwa Ayah akan sembuh untuk ke tujuh kali, pergilah ke Asia Timur. Gapailah karirmu. Disini Ibu hanya bisa berdoa.”

Ibu mengalah dengan keputusanku. Toh Ayah pasti akan sembuh.

“Bu, sungguh maafkan aku dengan keputusan ini.”

“Ibu hanya bisa berdoa untuk kemudahan-kemudahanmu, Fen. Pamitlah dulu dengan Ayahmu. Katakan sejelas-jelasnya.”

Aku melangkah ke kamar Ayah. Mata Ayah terpejam. Tapi aku tahu bahwa Ayah tidak sedang tidur. Dari dulu Ayah susah tidur. Aku menarik kursi plastik merah. Suara gesekan ujung kursi dengan ubin membuat mata Ayah terbuka.

“Yah. Dulu sebelum aku berangkat kuliah, aku pernah berkata bahwa aku ingin sekali ke Asia Timur. Masih ingatkah Ayah tentang itu?”



Aku berbasa-basi.

bersambung......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)