Semoga Bahagia

Dan aku semakin sadar bahwa kebencian tidak akan berujung pada penampikan. Benci akan melahirkan perhatian, dan aku terlanjur menganggapmu sebagai fragmen yang menghadirkan bencana jika kau menghilang. Aku diam, tapi larut dalam gejolak mencinta, padamu yang dulu aku benci.

Aku tak ingin memelihara kepedihan, tapi tiap pagi sosokmu senantiasa mengharuskan aku untuk menyelipkan perasaan diantara kesibukan-kesibukan. Pengingkaran logika bisa saja berjalan, tapi hati merupakan mozaik yang tak terlawankan. Konsentrasi terbuyarkan karena jarak, yang secara matematika, sangat begitu berdekatan. Bahkan aku bisa menyentuhmu selagi aku mau. Fisikku dengan kau begitu dekat tanpa sekat. Menikmati dirimu adalah keseharianku, namun batinku jatuh saat menyadari suatu kenyataan : aku adalah hal yang kau remehkan, hatimu telah dimiliki orang. Batin kita bagaikan berjarak satu tahun cahaya : tak terkira jauhnya. Butuh kecepatan disertai energi cinta yang mahacepat bagi batinku untuk mencapai tembok batinmu, sebelum menyentuh relung hati yang sekarang entah dihuni oleh siapa. Dengan kecepatan batinku yang biasa-biasa saja tanpa sesuatu yang menarik, butuh waktu panjang untuk menjangkaumu, bahkan mungkin sampai kumati.

Aku sadar bahwa kemampuanku tak akan membuahkan hasil yang baik. Tragedi dirimu memilih berpihak pada hatinya adalah perintah nyata yang menginstruksikan diriku untuk mundur teratur. Dan lihatlah, aku dilingkupi kerelaan yang tidak benar-benar rela, tidak benar-benar ikhlas, dan aku tersenyum dalam lara nelangsa. Semua itu berawal dari kebencian yang ternyata bermuara pada kecintaan.

Pengalaman membuatku lihai untuk berkelit dari kenyataan. Ini tidak terjadi sekali. Aku menikmatinya lagi sekarang, dengan objek yang begitu dekat : Kau. Kau, sekali lagi, menjadi fragmen indah, wanita dengan struktur wajah yang lembut, serta geliat tubuhmu yang membuatku hangat. Kau tak akan pernah merasakan timbal balik diriku oleh gerak-gerikmu sebab, posisiku tertahan oleh keadaan. Tak ‘kan pernah kau mendengarku menyanjungmu; sanjunganku untukmu hanya bisik-bisik dalam syahdu doaku. Kau tak akan pernah merasakan pelukan hangatku; sudah cukup bagiku mengecupmu saat kau menjadi fatamorgana. Kau tak akan pernah meresapi keromantisanku karena lidahku kelu; kata-kata romantis untukmu hanya aku sampaikan pada dinding kamar, sewaktu tengah malam, saat kau tidur setelah kau beromantis dengan entah siapa.


Aku rela, bukan menyerah. Menyerah pertanda aku kalah, tapi ini bukan sebuah medan pertempuran. Kau merupakan permaisuri orang dan aku adalah anak budak diujung gang, belakang toilet istanamu. Jika kau sempatkan diri untuk keluar kastilmu, dan berbelok ke gang rumahku, kau akan melihat banyak goresan cinta didinding toiletmu. Karena aku adalah pujangga miskin, yang senantiasa menaruh kerelaan tingkat tinggi atas tragedi cintamu dalam kata-kata itu. Kau adalah permaisuri dengan kelengkapan istana, didampingi oleh pangeran yang aku taruhi hormat kepadanya. Semoga bahagia.

sumber gambar : http://jmd4040116.deviantart.com/art/Alone-Man-with-Guitar-145422135

Komentar

Posting Komentar

There's Any Comment Guys?

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)