Dijumpai Engkau?

Sudah bermiliar-miliar air hujan jatuh menerpa tetanahan bumi ini. Basah. Terus menekan hingga terlihat jejak di bawah malam. Juga dengan waktu ini. Engkau telah tiba di waktu untuk kesekian ribu kali. Dan untuk perhitungan hari, Engkau telah datang berjuta-juta. Datang, terus bersilih ganti bulan. Bulan-bulan berbeda Engkau datangi. Padahal dahulu aku berpikir, Engkau hanya akan datang pada satu bulan itu, namun ke depannya Engkau datang yang kedua. Terus berganti, hingga Engkau datang ke delapan. Itulah risalah waktu, Dan hanya Engkau yang mampu.

Aku adalah sepercik air yang jatuh ke lautan luas, langsung hilang ditelan ombak. Aku hanya setitik debu di antara bermiliar-miliar debu yang beterbangan, langsung hancur diterpa angin. Aku hanya satu daun kering dari semua daun hijau di hutan rimba sedunia, langsung gugur digoyang burung. Engkau datang untuk memberikan kesempatan kepadaku. Menyajikan waktu bagiku untuk menguatkan tubuh. Memperkuat diri dari telanan ombak, menggenggam tubuh dari terpaan angin, dan memancung dahan dari goyangan burung. Dia pemiliki Engkau, dan Dia sajikan Engkau untukku.

Tentang waktu, aku tak tahu apakah Engkau yang mendatangiku atau aku yang mendatangimu. Yang jelas, kita dapat bersua berdua, tanpa ada yang tahu perkara dua tadi, kecuali Satu. Sesuatu yang aku mengerti, aku akan mendekati ajalku. Dan ajalku akan tetap bersahaja menunggui. Ku harap ajalku bersama Engkau, dan diwaktu Engkau datang.

Tapi, tapi, dan tapi, aku belum memercayai jika api benar-benar dipadamkan saat kita bersua. Aku masih mengulur waktu untuk bersedekap dan bersemedi dalam kesucian. Aku masih belum bisa melihat jalan ke bawah, atau sekedar senda gurau kesia-siaan. Terhitung banyak apa yang akan diterima, namun yang masih remang-remang, sangatlah sedikit. Api masih menyala-nyala besar di antara kupingku, dan sedikit berbisik. Berbisik tentang sebuah keburukan. Dan tentu, saat itu, api lepas dari belenggu. Engkau memercik air sedikit. Sedikit berpengaruh, walau bagi orang-orang bergamis, Engkau adalah yang ditunggu.

Makna Engkau sudah sedikit melenceng dari apa yang diteorikan. Walau sebenarnya, sejatinya aku tak tahu apa yang harus dilakukan jika Engkau tiba. Tabrak sana, tabrak sini, tak tahulah. Apa memang dari hati, atau hanya mengikuti. Wahai Engkau, dewasakanlah diriku ini.

Sudah cukup untuk berhipokrit. Memalingkan muka hanya akan menambah luka sukma, Dia Maha Mengetahui apa yang dilakukan hamba. Untuk-Nya, perkenankanku untuk bisa mengikhlaskan hidup. Entah akan diganjar kumpulan api terpanas, atau diupah dengan sungai-sungai yang mengalir, aku tak peduli. Dia peletak garis kehidupan, Engkau adalah jalan, dan aku hanya bisa meminta menengadah tangan.


Rio Isman

PicSource

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)