Kau Cakrawala

Aku mengira, aku dan kamu akan menyatu sebagaimana hujan diserap tanah gembur. Rintiknya menghujam ribuan kali, menumbuhi apa-apa yang hijau dan merekahkan bunga merah. Ternyata aku kalah telak diserang imaji, bahwasanya aku akan tetap menjadi penunggu hujan turun ditengah gurun.

Nuraniku menginginkan satu kenyataan: menyatunya mega merah dengan lengkung cakrawala. Mega merah adalah simbol hati yang menggebu, dan kau yang diam adalah lengkung itu. Pada saat keduanya berpapasan, itulah waktu dimana kebahagiaan terpendar. Cakra jingga terpancar, mengindahi sesiapa yang menyaksikan. Sekali lagi, romansa itu hanyalah fiksi. Nyatanya waktu berputar begitu lambat, dan menunggu bertemunya cakrawala dengan mega merah seperti menunggu datangnya kiamat: lama.

Hasratku itu bukan tidak berdasar, Tuhan menganugerahi cinta diantara insan-insan. Dan Tuhan menurunkan cintaku ke dirimu. Tapi aku berlebihan menafsir, bernafsu agar rasa bisa terwujud dalam ‘kita’. Ego menempati susunan hati yang harusnya terisi oleh kerelaan, dan aku mesti menerima bahwa takdir hadir tidak untuk disesalkan.

Aku menakar tinggi langit, muncul wajahmu diawan yang jauh. Bersibak karena angin, pada akhirnya muncul lagi dengan detil-detil yang lebih menawan. Imaji memang gila, dan cinta membuat apapun menjadi gila lebih dari yang imaji bisa.

Aku punya beberapa cita-cita terkait dirimu:

Aku senantiasa ingin menjadi bajumu. Terus melekat, dan melindungimu dari hawa dingin dan cuaca panas. Rutin menghirup bau kulitmu yang khas, seraya menjadi sarana bagimu untuk membersihkan wajahmu yang cantik dari keringat adalah ekspektasiku. Baju adalah properti yang tak akan pernah terlupakan, bahkan saat dirimu tergesa-gesa menghadiri kelas atau ingin menemui yang dicinta. Aku percaya, kau mencintai baju-bajumu melampaui apapun. Hanya saja cinta tak perlu kata-kata, sama seperti kau yang tak mengungkapkannya ke bajumu. Aku ingin menjadi bajumu, melengkapi hidupmu walau keberadaannya tertampik oleh dunia yang menyajikan kepuasan.

Aku juga ingin menjadi bayanganmu. Meski hanya siluet, tapi kesetiaanku menuntunmu dari belakang atau membuka jalan dari depan jangan lagi dipertanyakan. Cuma satu alasan, agar aku bisa tetap berada selurus dengan langkahmu. Namun, hmm, ada banyak situasi yang seringkali menghapus “menjadi bayangmu” dari daftar mimpiku. Yaitu, ketika malam datang, ketika mendung, ketika kau berteduh, dan ini yang paling sakit: ketika kau berpelukan dengan kekasihmu. Alasan terakhir muncul karena, aku tak mau berpelukan dengan bayangan dia, menjijikkan.

Aku sering melihatmu berbelanja sampo, entah itu sampo antiketombe, sampo raga rangsang, atau sampo telur. Aku malah ingin menjadi sampo dengan ketiga karakter itu: sampo three in one. Aku ingin menjaga rambutmu dari ketombe, merangsang tumbuhnya sel kulit kepala yang rusak, dan mencegah kekeringan rambutmu. Kita tahu, akhir-akhir ini merupakan waktu yang krusial, sering menghadirkan suasana panas hingga ubun-ubun menggegelak ingin meledak. Kau tentu butuh pegangan, butuh sarana mencairkan hati hingga gejolak otak mereda. Sama seperti sampo three in one, aku ingin menjadi penyejuk kepalamu, tempat kau berkeluh, hingga kau lupa malam dan tidur dalam senyuman.

Tapi aku tak ingin menjadi kasurmu. Tubuhku kurus, dan tak kuat menahan beban dua orang yang sedang tertidur, bercumbu atau bercengkerama halus.

Dilematis, hidup mengharuskan mimpi-mimpi itu dicoret. Bukan karena terwujud, tapi lebih ke penglepasan. Karena aku tak begitu kuat menahan garis takdir bahwa semua mimpi itu tak akan pernah berwujud nyata. Aku menyayangimu dengan serakan nafsu yang terkotak dalam dinding hati.

sumber gambar: langitselatan.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)