Mozaik


/ Keraguan dan Fragmen Hidup yang Akan Hilang

Aku tepat berada didepan gerbang kampus. Apa benar sekarang aku kuliah? Aku gali ingatan, muncul siluet-siluet. Aku melihat bayangan hitam, bayangan tubuhku yang berlarian, dengan tubuh terbalut kemeja licin dan jeans, serta sepatu ket khas anak kuliahan. Seraya meneguk liur aku sadar, suatu fragmen hidup yang aku cita-citakan akan hilang. Apa yang akan terjadi setelah ini? Setelah aku masuk ke lobi, bertemu teman-teman baru di kelas baru, dengan seragam baru, dan kukira, aku tak kan menemukan hal baru. Akankah aku kembali menjalani rutinitas seperti yang telah aku rasakan duabelas tahun ini? Pangkat dibahu berbisik, lupakanlah Kawan. Dasi mengiang, aku akan bersamamu, Kawan. Siluet itu pudar memencar, berubah. Siluet itu kini menjadi berwarna, sewarna dengan seragamku : biru muda. Langkahku pasti, wajahku tegak berdiri, senyumku berseri, dan kurangkul seorang teman baru yang berdiri disampingku sedari tadi. Aku sadar, suatu jejak-jejak hidup yang kuinginkan sulit tercapai, bahkan fragmen hidup itu akan hilang. Sampai tiba suatu keadaan yang aku benarkan.

// Kemeja Licin dan Nyonya Eksekutif
Sepertinya untuk empat tahun kedepan, baju-baju mewahku yang terlipat di rak los kontrakan hanya akan itu-itu saja. Toh, ku merantau ke tanah sultan, dengan menikmati hamparan ubi kayu sejauh mata memanjang di pertengahan Lampung, dengan berbosan-bosan di mushola kapal Manggala sejam-an lebih di selat Sunda, dengan dingin dan laparnya perut di jalur Pantura, dengan keletihan dan rasa lega di pelataran shelter bis Jombor tidak untuk plesiran dengan baju-baju mewah. Mewah, aku masih mengacu ke definisi lain : kemeja. Bercelana jeans dan kemeja licin dengan kancing dikerah telah menunjukkan kemewahan. Maklum, aku hanya memakai kemeja satu-satunya yang aku miliki saat-saat penting saja. Kalau tidak dies natalis himpunan mahasiswa, ya pertunjukkan band kampus. Tidak seperti dengan jejeran kampus di jalan Babarsari. Saat mereka hari ini memakai kemeja licin dengan jeans bermerk, besoknya memakai jaket tebal dan elegan dengan celana berbahan terbaik, besoknya lagi entah apa namanya, aku hanya setia dengan sebuah seragam kebesaran : biru muda atasnya dengan hitam dibawah, ditambah sentuhan pangkat beraksen kuning serta dasi biru tua. Dua hal terakhir adalah sebuah penyelamatan bagiku, juga bagi mahasiswa kampusku. Dengan dua hal tersebut, kami terhindar dari kesalahpahaman bahwa kami adalah sopir taksi, dan kesalahpenyangkaan bahwa kami pegawai minimarket.

Kuceritakan sebuah kekononan. Lima tahun sebelum aku kuliah, seragam kampusku benar-benar mirip sopir taksi yang sering nongkrong di tepian jalan Babarsari. Tanpa dasi, tak berpangkat, tak ada badge dikantong, serta kancing baju yang terbuka sampai terlihat ke tengah dada. Banyak mahasiswa yang mengadu ke petinggi kampus perihal hal absurd yang dirasakan sebagai suatu penjatuhan harga diri. Mereka merasa menjadi sekumpulan orang berkasta ksatria yang berseragam orang-orang sudra. Mereka berpikir mereka adalah zat radioaktif, yang semestinya disimpan baik di drum-drum berlapis beton zat khusus, bukan hanya dibuang dikantong kresek lalu dilempar ke kali Code. Bukan merendahkan para sopir yang berseragam, tapi hendaknya petinggi kampus tahu arti dari kesamaan seragam itu.

Mahasiswa protes, bersungut ingin meng-upgrade seragam. Hingga terjadi satu hal yang memicu terwujudnya gelombang protes mahasiswa : kehilangan motor di parkiran kampus. Menurut keterangan saksi, ada seseorang yang menyamar menjadi mahasiswa dengan menggunakan seragam kampus. Satpam tak ambil pusing, karena dia tahu mahasiswa sering berkeliaran hingga larut malam di area gedung. Karena tragedi itu, petinggi kampus bersidang. Sidang penting yang ditunggu mahasiswa menghasilkan suatu deklarasi. “Pakaikan dasi!” Itulah isi deklarasi. Seminggu, sebulan, setengah semester, rupanya mahasiswa cukup puas. Setidaknya ada sedikit peningkatan seragam kasta. Yang dulu berseragam orang-orang sudra, sekarang memakai seragam waisya.

Dan pangkat itu berasal dari mana?

Rupanya ada salah satu pegawai rendahan di kampus yang berpikir maju dibanding para petinggi kampus. Dia tetap melihat ada praktek sopirisasi dikalangan mahasiswa-mahasiswa meskipun dasi telah mengikat kuat dileher. Perlu ada sentuhan terakhir untuk suatu perubahan besar. Satu logo untuk mahasiswa baru, dua logo untuk mahasiswa tingkat dua, tiga logo untuk mahasiswa tahun ketiga, dan empat logo untuk mahasiswa sulung. Benar-benar jenius. Usul pengadaan pangkat itu maju ke sidang, sama seperti saat sidang pendeklarasian dasi. Pegawai rendahan dengan usulan jenius dihadapkan kepada para petinggi kampus, persis seperti mahasiswa sulung bersidang mempertahankan argumen di tugas akhir. Warna latar hitam, dengan jumlah logo sesuai tingkat kuliah, logo-logo dan tulisan berwarna kuning emas. Pegawai itu duduk perlahan, gamang setelah mempresentasikan usulan perubahan. Terdengar lamat-lamat tepukan dari penghadir sidang, terus hingga pegawai tersenyum. “Usulan diterima dan Anda diangkat menjadi pegawai negeri,” kata ketua kampus. “Terima kasih, pak pegawai rendahan yang sekarang jadi pegawai negeri,” ujar mahasiswa haru biru.

Aku berhipotesa tentang seragamku : tidak seburuk yang mereka pikirkan jika tidak berdasi dan tak berpangkat. Aku mengetesnya. Aku bercermin di toilet kampus. Apa benar jika dasi ditandaskan dan pangkat dilepas, aku akan seperti sopir taksi jalan Babarsari atau pegawai minimarket di jalan Adi Sucipto? Benakku bertanya. Aku lepas atribut seragam, dan sepuluh detik setelah itu, aku terburu-buru kembali memakai semuanya. Memang, pernyataan itu benar dan hipotesaku terbantahkan.

Untuk beberapa alasan, terlebih karena aku adalah karakter pemilih yang sulit, berseragam adalah satu-satunya pemecahan masalah dalam problem busanaku. Memilih busana adalah suatu permasalahan besar bagiku, dan jika ada yang bertanya mengapa, akan kujawab dengan menunjukkan lengan dan tanganku yang kecil. Pernah sekali aku mendengar perkataan seorang desainer ternama Indonesia di suatu infotainment. Jika berbadan kurus, pakailah busana berwarna putih, itulah kurang lebihnya. Warna? Ah, tak lebih dari suatu gelombang elektromagnetik. Sejauh mana kemampuan warna dapat menghipnotis manusia bahwa objek yang mengenakan busana berwarna putih adalah orang gemuk? Aku tak mengerti, dan permasalahanku untuk busana tidak terselesaikan. Hingga munculah kampusku, dan munculah seragamku. Karena berseragam, aku tak perlu pusing memilih busana yang harus kupakai.

Singkat. Cukup sudah. Problem solved. Namun, muncul masalah lain. Ironis. Meski telah memakai seragam lengkap dengan atribut, seorang pengunjung minimarket masih memanggilku seolah aku adalah karyawan. Pada saat itu aku berputar-putar di jejeran rak roti kering, dan ibu macam eksekutif muda itu memanggilku dengan kalimat, Pak, bisa tolong panggilkan managernya? Penyataan sederhana itu mengandung tiga maksud sekaligus : bertanya, memerintah, dan penghinaan. Aku tak pernah menyangka jika kata ganti pak telah bisa disematkan padaku yang masih berusia delapan belas tahun. Itu bisa ditoleransi. Nah, jika dia masih mengira bahwa seragam kebanggaanku adalah seragam pegawai minimarket, itu adalah wujud penghinaan kepadaku, juga pada dasi dan pangkatku, bahkan kampusku. Seragamku lebih dari lambang almamater, seragamku adalah pengejewantahan masa laluku sebagai mahasiswa berseragam jika akan dikenang nantinya. Dan seakan semua berguguran saat ibu muda itu datang kepadaku. Aku ini mahasiswa berseragam, Nyonya! Ternyata, seragam saja tidak cukup.

/// Perkenalan, Cinta, dan Sok Lecturer
Pernah bersenggolan bahu dengan seseorang tak dikenal yang nyatanya selalu duduk tepat dibelakang kalian tiap kali kuliah kalkulus? Atau dengan mahasiswa tak dikenal yang nyatanya selalu se-ruang saat ujian fisika lima semester berturut-turut? Maklum saja itu terjadi. Mahasiswa, dalam jumlah besar muncul seperti hijrahnya Hummingbird berleher rubi yang terbang ratusan kilometer menuju Amerika Pusat, terus tanpa henti ke Amerika Utara melintasi teluk Meksiko. Sayangnya, pertambahan mahasiswa tersumbat disatu titik : lulus. Ada kontradiksi besar layaknya sinar matahari menembus lapisan udara tatkala hujan mengguyur Sahara. Dalam perspektif penambang emas amatiran, fenomena kelulusan mahasiswa layaknya sekarung pasir yang jika disaring hanya menghasilkan segenggam biji emas murni. Ya, mahasiswa yang lulus bak penduduk kampung Rantau yang datang berombongan dan keluar satu-satu sambil menggenggam amplop bantuan pemerintah. Keadaan kampus seperti pipa air berpenampang besar diawalnya namun terus menirus, kecepatannya aliran cenderung melambat, tak memenuhi hukum Bernoulli. Imbasnya, mahasiswa yang saling bersenggolan bahu tadi tak saling kenal, saking banyaknya mahasiswa berkeliaran. Semuanya menumpuk. Jangankan dengan kakak atau adik tingkat, dengan teman seangkatanpun agak sangsi jika ingin dikatakan saling mengenal.

Tapi untuk kampus yang berseragam, terkhusus kampusku, itu berbeda. Tanyakan saja pada anak semester tiga tentang keberadaan anak semester tujuh yang berlainan prodi. Mereka pasti akan menjawab lugas, tepat, atau bahkan akan diantarkan tepat ke depan wajah anak semester tujuh yang dituju. Heran, terkadang aku berpikir ada semacam sistem perkenalan tak langsung yang efektif antaranak-anak kampusku. Mungkin ini adalah efek dari penglihatan yang itu-itu saja. Kami hanya bergulat pada sepetak tanah, mungkin hanya berukuran tiga puluh kali lima puluh meter. Kami layaknya dihubungkan melalui petak-petak ubin di koridor, menembus dinding-dinding kelas dan laboratorium, menjejak lapangan basket dan aspal parkiran, berbelok, dan berkumpul di kantin kampus atau serambi masjid. Kami disatukan oleh nasi goreng berminyak dan kopi berkrim panas yang mengepul asapnya. Atau, karena berkumpulnya anak-anak kampus di serambi masjid demi menghadiri rapat-rapat kecil panitia dies natalis dan bakti sosial. Semua itu membuat diantara kami timbul perkenalan, lalu muncul perhatian, dan akhirnya hadirlah cinta. Aku meneliti semua itu, ternyata tak jauh berbeda dengan fenomena sebelum aku kuliah. Aku mengingat sesuatu, saat wali kelas ikut campur dalam pesona-pesona cinta remaja, ternyata ada dosen yang ikut tangan juga. Kuceritakan tentang seorang dosen yang kuanggap menarik dan mungkin tak terjadi dikampus lain. Kulabeli beliau sebagai sok lecturer. Beliau selalu membaur (sok) akrab dengan mahasiswa, entah mahasiswa sedang berkutat dengan laptop, atau sedang menggarisi tepi-tepi kertas laporan, atau tengah membaca koran di dinding kaca, atau bahkan tengah menyuap nasi goreng berminyak. Aku tahu ini adalah sebuah dosa jika membicarakan orang lain, tapi beliau senang dengan itu semua (senang melakukan hal-hal yang sok). Ada dua hal khas yang sering beliau lakukan jika ada mahasiswa tingkat pertama (cewek) sedang duduk-duduk didekatnya dan mahasiswa semester tujuh (cowok) lewat melintasi mereka.

Hal pertama.... Sang dosen berinisiatif dan memulai ke-sok-annya dengan memanggil mahasiswa semester tujuh yang tengah melintas. “Hey, hey,” panggil si dosen. Mahasiswa semester tujuh menoleh. Dan inilah pertanyaan khasnya, “kamu, kamu kenal gak sama dia?” tanpa basa-basi langsung bertanya dengan pertanyaan absurd. Suatu pertanyaan yang sangat amat tidak penting, lebih-lebih bagi mahasiswa tingkat tujuh yang sedang mabuk kecubung digoyang tugas akhir. Si mahasiswa tingkat pertama langsung bingung karena tangan si dosen menunjuk-nunjuk tubuhnya. “Gak, Pak, gak kenal,” balas mahasiswa semester tujuh polos, serta jengkel. “Nah kalau belum kenal, kenalan dulu, ayo kenalan dulu,” perintah si dosen. Demi menjaga mood si dosen, kedua mahasiswa akhirnya berjabat tangan kaku, kikuk, saling berbalas senyum masam, seraya bergumam dalam hati masing-masing, apa-apaan nih dosen. Satu hal yang positif, karena ke-sok-an si dosen, kami semua saling mengenal, tak terlewat satu nama pun.

Hal kedua adalah, beliau selalu bertanya sok akrab perihal keadaan hubungan perpacaran mahasiswa di kampus. Seakan-akan beliau bisa menyelesaikan perkara putus, atau bisa merajut kembali hubungan yang kandas. Atau bagi yang menjawab lagi jomblo pak, beliau seolah-olah bisa mencarikan jodoh yang pas dan pantas. Aku berpikir, itulah trademark kampusku. Dari fenomena itu, aku menarik suatu kesimpulan. Aku sekarang berada dilingkungan yang erat, yang saling peduli satu sama lain, yang saling memperhatikan, yang saling memahami, dan yang terpenting, keluargaku bukan hanya satu kelas, bukan hanya satu prodi, tapi keluargaku adalah satu kampus. Karena keseragaman, kami saling mengenal satu sama lain, melewati batas-batas prodi, melebihi kotak-kotak jurusan. Selepas lulus, akan ada jejak yang tertinggal, yaitu nama-nama. Dan dalam ruang lingkup kecil nan keseragaman, aku menemukan keluarga besar. Perkenalan, cinta, dan sok lecturer adalah jalinan kuat, bukti kecil bahwa kami bukan sekedar anak kampus yang berseragam. Ini kuliah atau SMA? Atau SMP?

            ///Menemukan yang Sesungguhnya
Suatu hal yang dimulai akan berakhir disuatu ujung. Semua makhluk, entah bernyawa atau mati, mengalami suatu proses perubahan, dan pada satu waktu semua akan kembali ke peraduannya, ke penciptanya. Di sebuah ujung, dunia berkilau menjadi titik yang mengambang. Mungkin akan kembali seperti bermiliar-miliar tahun yang lalu. Gumpalan kecil, berputar, berspiral, berenergi tinggi, terus tinggi, dan meledak. Maka suatu waktu jagad yang luas ini akan menciut, menjadi sebuah titik lagi. Menciut dengan energi rendah, terus rendah, berspiral, berputar, dan menjadi gumpalan kecil, akhirnya titik kecil. Dan seluruh elemen di jagad ini akan mengalami proses yang berbeda-beda, tapi tujuan akhir tetap sama : menjadi titik. Kami adalah bagian dari elemen tersebut. Kukisahkan suatu pelajaran yang membuatku berpikir bahwa kami akan tetap sama dengan kampus lain, walau dalam prosesnya, kami berbeda.

Kampusku, lebih dari sekedar ikatan perkuliahan. Memang benar hukum Coulomb, gaya tarik-menarik antara dua muatan akan semakin besar jika jarak keduanya semakin kecil. Kampusku layaknya kumpulan-kumpulan medan listrik abadi, dengan kami sebagai muatan-muatannya. Titik-titik terkuat medan listrik, tentu, di dalam kelas. Kami adalah muatan fleksibel, disuatu keadaan kami bermuatan positif, dan disaat lain bisa berganti menjadi negatif. Aku berlaku positif bagi temanku yang negatif, dan aku akan bernegatif pada teman yang bermuatan positif. Itu berlaku ke semua muatan, ke kami. Efek tersebut membuat kami saling tarik-menarik dan tak ada peristiwa tolak-menolak. Dan ada, hukum dua termodinamika meluruskan segalanya.

Aku siapkan Jangkrikku, si sepeda dortrap. Hari ini adalah hari Kamis, harinya termodinamika. Kutempelkan daun kuping ke pintu, dan benar saja, suara menggema sedang menjelaskan tentang termodinamika. Aku terlambat. Aku mundur beberapa langkah, mempersiapkan lagu yang harus aku bawakan. Ya, hukuman bagi mahasiswa yang terlambat adalah menyanyi, seraya dipermalukan. Hukuman yang benar-benar tidak berjiwa mahasiswa. Teringat kala aku terlambat lima belas menit ketika duduk di kelas dua SMA, aku mendapat hukuman yang  lebih berkelas : ceramah singkat. Namun setiba aku di kelas termodinamika, menyanyi adalah pilihan si dosen. Cukup efektif. Cukup efektif untuk membuat anak-anak kelas terlambat berombongan. Aku selalu tertawa terbahak-bahak tatkala ada teman yang suaranya sumbang menyanyi lagu daerah asalnya. Bahasa aneh yang pertama kali aku dengar ditambah lekukan-lekukan gelombang suaranya yang entah tingginya berapa oktaf membuatku menangis tertawa. Dan lima menit yang akan datang, aku yang bakal menjadi objek tertawaan.

Cekrekk... Tanpa dikomando, anak-anak kelas langsung bersuitan tatkala sebagian tubuhku masuk ke ruang kelas. Dosen langsung mempersilahkanku masuk dan kemudian menyingkir ke belakang kelas. Panggung pertunjukanku pagi ini telah siap. Aku menghela nafas panjang dan lambat-lambat menghembusnya. Sepertinya aku akan membawa lagu daerah bertemakan cinta. Laguku berceritakan tentang dua anak manusia kampung yang sedang kasmaran, sedari kecil bersama, dan tak sadar bahwa umur mereka telah beranjak dewasa. Tiap hari selalu berdua, sampai-sampai orang dikampung tahu perihal hubungan mereka. Dibagian reff, aku menaikkan nada, lirik-liriknya bercerita bahwa si pria benar-benar mencintai si wanita dan hendak meminangnya. Jangan kira aku bernyanyi dengan suara macam Bon Jovi, suaraku tak lebih dari suara orang berteriak yang tengah tersesat dibelantara sungai Kuning. Nada suaraku kemana-mana, sampai-sampai aku tak lagi mendengar tawa anak-anak kelas karena sibuk mencari nada-nadaku yang berserakan hilang. Aku tiba dibagian ujung, kulantunkan reff terakhir guna menyelesaikan pertunjukan absurd Kamis pagi. Bait meresmike kitek bedue aku rendahkan ujungnya, dan dengan sedikit hentakan kaki, pertunjukan solo berakhir. Aku merasa seragam biru mudaku terlucuti dan berganti dengan seragam putih merah. Aku kembali ke dunia les sore, dan ini datang dari dosen yang tersenyum di belakang kelas. Aku bergegas dengan wajah merah.

Ada satu hal yang membuat aku menyukai cara si dosen mengajar. Beliau kadangkala menganalogikan materi kuliah dengan kehidupan sehari-hari. Semisal kami menemukan kesulitan dalam mendefinisikan pengertian entropi. Perbandingan yang sangat cocok adalah kehidupan merantau, katanya, seperti yang banyak kami rasakan. Disaat pertama merantau, jauh dari orangtua, mengurusi makanan sendiri, menyikat kerah-kerah baju sendiri, entropi kehidupan kami berubah. Butuh waktu untuk membuat entropi menjadi seimbang. Lama kelamaan, kehidupan merantau yang baru akan kami rasakan tanpa beban, dan disaat itulah keadaan kembali menjadi seimbang. Juga, kehidupan saat semester satu memiliki perbedaan entropi dengan keadaan semester akhir. Begitu banyak tekanan akan bermunculan. Dan entropi akan berubah secara signifikan jika kami tak dapat menyeimbangkan keadaan. Cukup efektif untuk menerjemahkan kata-kata yang sangat fisikais.

Pikiranku kerap melanglang buana memikirkan ceramah ilmiah beliau meski beliau telah membuka lembar materi baru. Ingatanku masih membekas saat beliau berkata bahwa entropi sistem saat berubah dari satu keadaan ke keadaan lain tidak bergantung pada proses. Dalam kata lain, perubahan sistem dilihat dari dua keadaan, keadaan awal dan akhir. Konsep inilah yang membuat aku berpikir tentang kesamaan kami dengan kampus lain. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa langkahku ini sudah merupakan garis takdir, dan fragmen hidup yang aku impikan akan menyata hilang adalah titik awal. Kemudian, aku melangkah ke dalam kampus. Sejatinya aku tak bisa mengatakan bahwa kehidupan kampusku berbeda, karena sekalipun aku belum pernah merasakan atmosfer kehidupan kampus lain. Namun, aku dan teman-temanku akan sepakat jika ada suatu anomali proses. Aku pernah bertanya ke seorang teman, perihal apakah dia menemukan keadaan baru di kampus. Jawaban yang kudapat adalah, sepertinya aku kembali ke masa sekolah, hanya saja aku sekarang seorang mahasiswa, bukan siswa. Malah dia kembali bertanya kepadaku, apakah kau tak bosan memakai seragam ini? Kubalas, ini adalah suatu keuntungan bagiku, kawan. Semua itu adalah serpihan proses kehidupan kampusku. Dan tahukah jika ada suatu keadaan yang menyamakan kami dengan kampus lain? Mau seberapa derajat perbedaan, mau seberapa jauh jarak memisah, mau seberapa tinggi tembok menghalang, kami tetap mahasiswa. Tetap mahasiswa! Apa yang dituntut kepada pundak mahasiswa selepas tali toga digerakkan? Tidak lain adalah kerja. Itulah akhir dari proses ini, titik dimana kami adalah mahasiswa biasa, mahasiswa yang sama dengan kebanyakan.

Aku melamun jauh menembus tembok, pergi melupakan dosen yang sekarang tengah berada tepat didepanku.

“Mas, bisa ulangi bunyi teorema Carnot?” Beliau menodongku. Aku terkesiap. Makhluk apa pula teorema Carnot itu? Syaraf sensorisku cepat menghantarkan impuls dari otak ke mulut dan lidah. “Saya tidak kenal pak, sungguh pak!”

Komentar

  1. boleh dak coh kamu kuliah sambil ngamben anak? aman boleh, lemak nga cuti bini dulu tegal. aga sedih asek ku.

    BalasHapus

Posting Komentar

There's Any Comment Guys?

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)