Korelatif 2 (Part 4)


Aku dan Catur telah bertemu
Begitu juga Egyd, Galih, dan Reno. Bahkan telah lebih lama
Tulus dan Jeni masih dalam pencarian

tiga titik itu telah bertemu
tapi masih terpisah

---
Juli 2022, Senin pagi
Ruang tunggu, sebuah bank di kompleks pasar Sekayu.

Wajah Atok terlihat lusuh, menandakan dia sudah tak betah di bank tersebut. Duduk sedari jam 7 hingga jam 11, hanya menunggu namanya dipanggil untuk menyelesaikan sesuatu hal tentang keberangkatannya ke Brazil. Dia lupa mengurus hal itu di kantor pusat tempat dia bekerja. Atok tahu urusan tersebut adalah urusan yang berbelit-belit, hingga dia benar-benar menyesali kelupaannya itu. Hasilnya, Atok harus berlama-lama terduduk di bank.Gadget hitam ditangannya tidak mampu mengusir rasa kebosanan yang ia rasakan.

93, angka yang tertera di nomor antriannya. Hidungnya mendengus cepat seraya melihat nomor antrian di LCD komputer yang masih menunjukkan nomor 69. Sepertinya akan menjadi hari yang panjang dan membosankan, batinnya menggumam. Tak ayal, dia harus menunggu hingga sore sampai namanya dipanggil. Empat jam lagi dia sudah harus dipanggil karena selama dia duduk, dia menghitung rata-rata waktu untuk satu pelanggan, 10 menit. Coba saja ada teman-temanku disini, tentu takkan sebosan ini, batinnya kembali bergumam.

Tangannya meraih koran nasional yang tertata apik di meja kaca itu. Bermaksud mengusir kejenuhan, mata Atok teratur mengikuti kalimat-kalimat di kolom-kolom koran. Mulutnya sedikit terbuka tertutup seiring dengan konsentrasi pikirannya yang muncul tentang hal yang ia baca di lembaran-lembaran kertas itu. Matanya tertuju tentang peresmian jembatan Selat Sunda oleh presiden di Bakauheni. Terakhir waktu dia mengetahui tentang itu ketika dia baru lulus kuliah. Saat itu pemerintah benar-benar berkomitmen untuk menggunakan tenaga-tenaga anak bangsa sendiri.Pun akhirnya Indonesia bisa. Indonesia tidak menggandeng negara manapun dalam proyek besar itu. Memang rakyat berkeyakinan proyek tersebut akan dilakukan mengingat beberapa tahun terakhir, tanah air menjadi negara termaju di Asia Tenggara di bidang kelautan dan teknologi. Tak heran jika anak-anak bangsa dapat mempekerjakan otot-otot mereka sendiri untuk kemajuan negeri. Bukan untuk memeras keringat demi kekayaan negara lain.

“Kita bangga dengan anak bangsa. Dengan semangat mereka, kita dapat merasakan kemudahan-kemudahan. Khususnya untuk jembatan penyeberangan Jawa Sumatera. Kita patut berterima kasih dengan pemuda-pemuda bangsa kita, bangsa Indonesia.” Itu kutipan pidato presiden yang dibaca Atok di headline news koran itu. Hatinya terketuk. Penggalan pidato itu serasa menyinggung dirinya. Menyinggung dirinya yang tengah bekerja untuk negara lain, bukan untuk bangsanya sendiri. Tak ada yang memungkiri pilihan Atok untuk bekerja di tanah orang. Bahkan, tak ada yang memaksa Atok untuk mau bekerja di tanah air. Itu hak dan pilihannya sendiri. Tinggal, dirinyalah yang berhak bersuara. Apakah ingin menyejahterakan penduduk negara luar atau ikut dalam pembangunan negeri sendiri?

Disisi lain, dia benar-benar ingin menjejak tanah lain. Tapi, bacaan ringan itu mengingatkan akan banyak hal tentang negerinya. Negeri yang telah memberinya hidup hingga dia bisa seperti setinggi ini. Atok terlihat memejamkan mata dan menundukkan kepala.

“Jika seandainya aku ingin mengabdi ke negeri ini, jalan apa yang harus aku tempuh?” terjadi debat kecil dihatinya.

Atok lupa tentang kertas bertuliskan angka 93 ditangan kirinya. Dia tengah hanyut dengan tengah aliran bayangan idealismenya yang kuat. Orasi-orasi yang pernah dia keluarkan dari mulut berlapis kain merah seakan kembali terdengar. Teringat kala waktu dia berjibaku dengan teman-teman mahasiswanya di tengah gas air mata yang disemprotkan petugas keamanan negara Berjibaku demi kebaikan bangsa. Saat itu dia dan teman-temannya berteriak-teriak kepada petinggi negara untuk melepaskan hubungan di segala bidang dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat dengan kedigdayaannya berkonspirasi untuk menenggelamkan Indonesia yang saat itu menjadi poros perdagangan dunia Timur.

Atok teringat jelas saat dia dan teman-temannya tampil sebagai kekuatan dari pihak pemuda. Melukiskan urat-urat leher dengan suara lantang yang diserukan ke pemerintah sebagai perwakilan aspirasi masyarakat. Tentang pemerintah yang korupsi, sistem pajak yang memberatkan masyarakat bahwa, serta berbagai macam permasalahan negara menjadi sorotan mahasiswa Indonesia waktu itu, termasuk Atok.

Sekarang waktu itu sudah habis dan berganti dengan pengabdian melalui cara lain. Cara yang lebih halus dan tidak berkoar-koar di tengah jalan. Namun, Atok berjalan dengan cara lain. Mungkin suatu saat, dengan idealismenya yang masih tinggi, dia dapat memberikan sesuatu ke negaranya. Setidaknya masyarakat kecil bisa merasakan ilmu yang telah ia dapatkan. Banyak jalan untuk  mengabdikan diri ke tanah yang sedang menunggu pengabdian anak bangsanya ini.

Atok termenung di kursi besi itu. Pandangannya lurus seakan menembus dinding bangunan. Tatkala jam dinding berdentang kuat menunjukkan pukul 1 siang, renungannya buyar. Matanya langsung beralih ke LCD. Angka di LCD masih menunjukkan angka 76. Masih lama. Atok menoleh ke samping kirinya. Degg... Pandangannya berhenti di wajah seseorang. Berjarak tiga kursi dari tempat duduknya, dilihatnya seorang bapak yang ia kenal. Beberapa detik pandangannya melekat ke wajah bapak itu.

Ayahnye Catur?

Kursi di samping bapak itu kosong. Atok beranjak dari kursi itu dan menuju ke kursi tujuannya. Atok tahu bapak yang dia kenal adalah orangtua Catur, sahabatnya. Atok berharap beliau masih ingat dengan dirinya.

“Assalamualaikum, pak,” sapa Atok ramah seraya mengulurkan tangannya. Menciumi punggung tangan orang yang dia hormati.
“Waalaikumsalam.” Jawab ayah Catur dengan raut muka seperti menerka-nerka.
“Aku Atok pak. Kawan Catur pas SMP ngen SMA. Namek kabar pak?”
“O, Atok, kawan Catur. Maaf bae Tok. Pak la lali. La lame pulek dak jingok kawan-kawan Catur. Umur la tue pulek. Jadi ingatan kak la bekurang. Alhamdulillah sehat Tok. Ape begawe di Sekayu nie?” Balas ayah Catur.
“Alhamdulillah. Aku dang mudik pak. Baru keluo begawe dari Riau. Ikak ke bank kak dang ngurus surat-surat. Di pindah wang ke Brazil pak. Surang pak ke sikak?” Atok berbicara apa adanya.
“Ai, jao nye Tok. Di Brazil situ. Ape dak indu nak balek? Dak surang. Pak ngen Catur ke sikak. Die dang depan” Balas ayah Catur polos.

Atok tercekat mendengar jawaban ayah Catur. Sesuatu tengah menumbuk hatinya. Sesuatu yang beda. Tak disangkanya bahwa akan ada satu lagi kisah hebat muncul. Satu lagi sahabatnya tengah menunggu Atok. Dia merasa, satu persatu sahabat semakin mendekati dirinya. Saling mendekat. Dimulai dari Yan dan Pije yang penuh dengan keajaiban, dipertemukan di depan Masjid Jami. Dan sekarang, sahabat dengan jarak terdekat dari dirinya adalah Catur. Semua yang diyakininya berangsur-angsur terbukti.

“Ngen Catur pak?” Seru Atok terkejut.
“Ao, die la 3 arai dumah. Mun nak nemunye di luo.” Jawab ayah Catur seakan tahu apa yang dirasakan Atok.
“Di luo pak?” Atok menjadi gagap.
“Ao.”
“Aku nemunye dulu e pak.”
“Lajulah.”
“Mekaseh pak.”

Lima detik kemudian Atok telah berpegangan dengan gagang pintu. Dari pintu kaca terlihat punggung si besar Catur yang tengah duduk bersama beberapa orang di area parkir bank. Tanpa disuruh, Atok menarik gagang pintu dan sedikit berlari ke arah Catur. Catur membelakangi posisi Atok.

“Tur!”

Kata pendek yang dilontarkan Atok tetapi cukup tegas untuk membuat Catur menoleh ke Atok. Tanpa ada firasat sedikitpun tentang Atok, Catur memutar posisi tubuhnya. Dan sekarang, kedua sahabat itu telah saling berhadapan. Catur hanya diam seiring dengan selukis wajah akrab muncul di pantulan bayangan bola matanya. Dirinya masih menahan sesuatu yang hampir meledak. Tangan yang masih terasa kaku untuk bergerak dan otot yang membeku karena telah terlanjur menjadi asing untuk seseorang yang sudah sangat lama tak ia jumpai. Benar saja. Sebersit kisah Aray yang bertemu dengan Ikal di satu sudut kota akan terjadi.

“Atok? Haha.. Atok!”

Sebuah tawa yang ganjil keluar begitu saja dari mulut Catur. Tidak ada kelucuan ataupun kekonyolan di dalam pertemuan itu.  Namun tawa itu lebih melambangkan sebuah ketidakpercayaan.Catur hanya menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum aneh beberapa kali. Juga tangannya yang belum berhenti mengusapkan ubun-ubunnya. Serta leher yang naik turun memandangi tubuh Atok.

“Ape nga dak indu ngen ku, Caturrrr!!!?”

Suaranya sedikit membentak. Atok melebarkan kedua tangannya. Sama seperti apa yang dia lakukan ketika bertemu dengan Yan dan Pije. Sesuatu yang ingin meledak dari dalam diri Catur akhirnya menemukan tempatnya sendiri. Kedua sahabat itu tak tahan untuk berdiri sendiri di tengah keterkejutan yang luar biasa.

Keduanya telah duduk. Terlihat beberapa kaleng minuman berdiri di samping mereka.

“Nga dak ngudut coh?” Tanya Catur singkat.
“Pertamo kuliah, aku masih ingat, Egyd ngomong jangan dulu ngudut. Aku nurut bae soalnye aku tau die lebih paham tentang sebab akibatnye. Jadi dokter di mane die mikak?”
“Heee... Dak tau coh. Di Palembang kalu. Aku belum sempat ke umah e. Baru tige arai aku di sikak. Payo kapan-kapan kitek ke umah e di simpang kowik situ.”
“La kalu dak lagi situ die coh. Di situ kan pinggri Musi. Dulu be la nak terbes. La pindah kalu.”
“O..... Pindah ke mane lah kire-kire?”
“Dak taulah coh.. Kalu di Palembang.. Kalu pulek. Oy ao. Namek kabar nga mikak Caturrrr.. Singgo e la sepecak bandet ikak.” Atok bertanya seraya menepuk pundak Atok, bermaksud mencairkan suasana.
“Haha........ Ikak kak la merasek melebeh bandet tok. Selame tige arai kak, asek e aku baru ngerase nikmatnye idop.”
“Ngape mitu?”
“Nga pecaye dak kalu ku selame empat tahun, begawe mecak ughang-ughang pedalaman tengah utan Bayung Lencir situ?”
“Ughang-ughang pedalaman.....? Maksudnye....?”
“Haha. Ao coh........”

Waktu itu, saat Catur pertama kali berkenalan dengan hutan rimba. Asing. Ya.... Benar-benar asing. Tak pernah terpikir dan terbayang. Dia tidak tahu apa yang ada di kegelapan hutan, di bawah daun-daun hijau, dan di antara pohon-pohon besar. Berpuluh hal yang mengintai. Entah itu bahaya alam, ataupun hal ekstrinsik lainnya. Dia minus tentang apa yang tersembunyi, dan kehidupan macam apa di belantara. Sebelumnya, kehidupan hutan yang sulit hanya ia ketahui dari acara-acara televisi, juga beberapa dari buku. Dia hanya melihat apa yang nampak. Tidak merasakan apa yang tidak terlihat. Cuma, yang dia tahu, kehidupan hutan tak akan seperti apa yang pernah ia tonton di televisi. Kenyataan hutan hanya ditutupi oleh kemudahan-kemudahan para host-nya, yang tertawa jika bertemu hewan buas, atau tersenyum jika menemukan tanaman beracun. Dia tahu itu hanya kamuflase. Penipuan agar acara itu menarik. Tapi, yang ia yakini, risiko dari pekerjaannya akan berbanding terbalik dengan hal yang kasat mata itu.

“Ngape nga raga pacak ke situ?” Atok kembali bertanya.

Sederhana saja, tantangan. Sebuah alasan sederhana yang aslinya tidak sesederhana itu. Bahkan ke-kompleks-an alasan itu membuat diri Catur ingin keluar. Keluar dari apa yang dia pikirkan, sederhana. Memang masa muda masa yang berapi-api, kata salah satu pujangga lagu di zaman itu. Hal tersebut membuat bara api di dalam semangat Catur untuk keluar, keluar dari sesuatu yang biasa, menuju ke tantangan itu. Tantangan yang dia anggap sederhana.

“Nga pacak betahan selame empat tahun, cak mane carek?”

Terlanjur. Terlampaui jauh telah masuk ke hutan belantara itu. Menyusup ke lebatnya rimba, yang sangat sulit di tembus cahaya matahari di waktu siang. Juga sinar rembulan yang susah untuk menapak ke tanahnya. Sudah jauh. Tanggung untuk pulang. Hasilnya, Catur hanya menjalani saja. Menjalani sepenuh hati? Iya. Dengan interaksi-interaksi bersama alam, menyatu dengan suara-suara hewan buas, bau-bau cacing tanah, dan seluk beluk hutan lainnya.

“Hasilnye Tur....? Gaji nga...?”

Menanyakan hasil? Secara materi, nihil. Sang professor Jepang bersama Catur dan rekannya tidak berhasil menemukan materi kimia itu. Zat yang dipercaya menyimpan energi Einstein. Elemen dengan massa yang kecil, dapat memberikan ratusan megawatt aliran elektron ke seluruh penjuru pulau, tidak mampu didapat. Bukan tidak mampu, tapi belum. Elemen masih bersembunyi di balik tanah-tanah pegunungan Kalimantan. Mungkin jika diteruskan sampai ke perbatasan, hal itu sedikit akan menemukan pencerahan.

Tentang gaji, Catur tak pernah mendapat sepeserpun gaji, waktu di Kalimantan. Siapa yang mau mengantarkan gaji ke pelosok hutan? Ke tengah-tengah rimba raya? Hanya petugas pos bodoh, bahkan terlampaui bodoh (mungkin idiot) untuk melakukannya. Perusahaan pusatnya menjamin gaji Catur dan rekan-rekannya sepulang dari bekerja, apapun hasilnya. Mau tidak dapat, atau mati di tempat, gaji itu akan tetap dibayar. Bahkan, lembaran perjanjian itu terus mereka bawa hingga ke tanah Borneo, di tengah-tengah pulau. Besarnya? Cukup menjanjikan. Empat tahun bekerja cukup bagi Catur untuk menghasilkan setengah miliar. Setengah miliar! Cukup untuk Catur yang bujangan.

“Cacam. Perjuangan besok nia nga tu coh.”

Atok tidak mengetahui bahwa ada hal besar yang harus dibayar Catur. Bukan tentang uang dan materi. Tapi tentang perasaan. Ya. Bisa ditebak. Rasa rindunya yang menggurat di leher. Tentang keluarga dan sahabat-sahabatnya. Hampir gila Catur ingin pulang. Apa hendak dikata. Kontrak masih berjalan. Sekiranya kontrak habis, takkan ada ojek atau angkutan lain hilir-mudik di hutan-hutan itu. Tak ada pilihan lain, hanya bisa berdoa. Bermohon ke yang Kuasa, matanya masih bisa melihat orang-orang yang dicintai. Sampai akhirnya Catur pulang bertemu keluarganya, Atok, dan Aku. Hei! Catur hampir lupa. Catur masih menyimpan cerita tentang Ku.

“Hahaha. Cak tulah Tok. Cak mane nga?”

Belum sempat Atok bercerita, ayah Catur setengah berteriak memanggilnya. Terlihat tangan ayah Catur melambai-lambai sambil memegang kertas antrian. Atok tahu bahwa itu adalah isyarat. Namanya telah dipanggil petugas bank. Atok beranjak dari sebongkah batako, tempat duduknya.

“Agek sambung lagi Tur.”

Atok sedikit berlari ke arah pintu bank. Catur beranjak mengikuti langkah Atok. Jam tangan Catur menunjukkan pukul 15.00.
---
Juli 2022, Senin Sore 16.00

Senin sore itu, Yan bersiap-siap berolahraga dengan basket ditangannya dan Pije masih sibuk dengan sepatu futsal. Kompak, jaket berwarna merah putih dikenakan oleh Yan dan Pije. Jaket yang menjadi kebanggaan mereka waktu itu kembali melekat di tubuh mereka.

Yan terlihat memutar bola basket orange bergaris hitam melengkung-lengkung di ujung jarinya. Serasa bertemu pujaan hati, Yan sesekali tersenyum menatap benda mati itu. Beberapa kali nampak bola itu dipantulkan di lantai kasar. Sepertinya tak sabar untuk memantulkan di lapangan basket SMA-nya.Tak ia pungkiri bahwa itulah kali pertama dia memegang bola sejak bekerja. Sesuatu yang telah menjadi hobinya dari SMA, basket. Dia berprinsip bahwa sejelek-jeleknya pria, kalau handal bermain basket akan terlihat keren. Begitu sebaliknya. Setampan-tampannya pria kalau tidak bisa bermain bola pantul itu, kharismanya akan hilang. Yan memang menjadi salah satu ikon pemain basket di SMA dulu. Postur tubuhnya yang kecil tapi gesit dan lincah membuat derajatnya meningkat di kalangan lawan jenisnya. Teriakan-teriakan ‘Janita.... Janita!!’ selalu menghiasi jalannya pertandingan tatkala Yan dengan jumpshoot-nya berhasil mendulang three point. Atau ketika seorang musuhnya tak mampu menyaingi lari Yan ketika dribble dan membiarkan Yan melakukan lay up indah. Dan juga saat bola bisa masuk ke keranjang basket dari tangan Yan di situasi sulit dengan gerakan fakeunderbasket. Itulah Yan dengan kisah basket-nya di SMA.

Lain halnya dengan Pije. Berperawakan yang tak jauh dengan Yan, tapi dia diandalkan menjadi striker futsal oleh sahabat-sahabatnya. Bersama dengan salah satu sahabat-nya Egyd, Pije adalah pemain senior di ekstrakurikuler futsal. Sebagai senior, mereka akan langsung bermain tanpa latihan terlebih dahulu. Pernah kali waktu ketika classmeeting, seorang striker lawan yang berpostur tinggi besar berhasil dicederai oleh Pije, dengan tandemnya Catur. Hasilnya, untuk beberapa hari, striker itu terlihat pincang. Melihat kejadian itu, Pije bisa dijadikan striker yang handal sekaligus bek kuat.

“Kitek dak ngajak Atok?” Yan membuka obrolan.
“Tadik la di omong ku. Ujo nye kagek nyusul. Die baru balek dari bank. Ade hal penteng nia nak die omongke.”
“Hal penteng? Namek Je?”
“Tadik dak denjuk tau e. Dak pacak domong liwat telpon ujo nye.”
“Cacam yek Atok ikak.”
“Nah kitek nak jogging ape bemotor?” Tanya Pije.
“Jogging bae lah. La lame dak jogging di Sekayu ikak.”
“Oke. Minyak motorku abes pulek coh. Jadi dak pacak bemotor. Ke Smanda kan?”
“Ao coh. Jingok kitek la rapi bejaket Smanda. Kade dak temesan satpam situ mun nyingok ade siswa setue kitek.”
“Setue kitek ape coh? Masih pantas di kateke siswa kitek kak. Masih unyu-unyu.”

Terkesiap, Yan berbalik arah. Yan melihat bayangan tubuhnya di kaca jendela rumah Pije. Dia terlihat memegang dagu, berpose untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakan Pije itu tidak keliru.

“Ao edak. Masih cak lame tu lah. Untung pas di Arab dak suek bom yang ngene ke mekan. Mun dak tu la ancur. Dak lagi tejingok mude coh.”
“Hahaha.” Pije hanya tertawa mendengar gurauan Yan. Semenit berlalu, Pije hanya diam dan terlihat seperti berpikir. Tentang negeri Arab yang Yan katakan, ada sesuatu hal muncul lagi di otaknya. Kejadian tragis yang dia alami bersama Yan ketika di suatu sudut kota di Palestina.
“Coh, nga masih ingat dak pas taun pertamo kitek di Palestina. Waktu malam tu nah. Di kota Burej?”
Yan nampak berpikir. Dia kembali menyusuri ingatannya tentang kejadian di Burej.
“Yang kitek la nak kene roket tu? Yang kalu kitek telambat lime detik bae, kitek gugur?”
“Ao coh. Pas waktu tu, aku dak tepeker hek ape-ape lagi. La soalnye roket tu la ngarah ke kitek nia. 

Pokoknye aku harus pacak ngendongke budak tu jao-jao. Andam nie pesawat tu. Aku pikir etu bukan roket, soalnye tejingok cak bintang. Tau-tau, ade yang merek, ngenjuk tau mun setu roket.”

Tentang negeri Arab yang mereka ceritakan, ada sesuatu hal muncul lagi di otak Pije. Kejadian tragis yang dia alami bersama Yan ketika di suatu sudut kota di Palestina.

Suatu malam di sebuah jalan yang membelah kota El Bureij, dekat Gaza, terlihat kerumunan penduduk lokal dan beberapa pejuang Palestina yang lengkap dengan senjata di bahu mereka. Pejuang-pejuang itu berusaha melindungi penduduk dari satu roket Israel yang ditembakkan dan jatuh beberapa meter dari kerumunan itu. Terdengar jeritan penduduk yang kebanyakan adalah anak-anak dan perempuan. Yan dan Pije beserta kelompok relawan medis tengah berlarian menuju kerumunan itu. Bersiaga dan waspada tentang kemungkinan terburuk yang terjadi, adanya korban jiwa. Relawan medis dengan cepat memindahkan korban serpihan rudal ke dekat gedung.

Di tengah upaya relawan berjibaku dengan darah dan luka,  frekuensi suara menderu terus membesar menandakan sebuah pesawat kembali terbang mendekat ke arah gedung. Persamaan efek Doppler yang mengatakan frekuensi suara terus bertambah seiring jarak sumber suara jelas adanya. Pesawat itu terus mendekat, walau tak nampak. Sama seperti pesawat pertama, rudal kembali menghantam sebuah gedung yang tak jauh dari tempat para penduduk berlindung. Tak ayal jika rudal itu bak sebuah gempa buatan yang menggetarkan tanah-tanah disekitar gedung itu. Penduduk El Bureij masih tetap tersenyum menghadapi kejadian-kejadian tragis itu. Tersenyum dalam jeritan. Karena mereka tahu, rudal-rudal yang beterbangan itu adalah anugrah, anugrah untuk mengantarkan mereka ke ke-syahid-an.

Lima menit berselang, dengan semua perasaan yang bercampur aduk, sekumpulan penduduk itu melihat sebuah titik terang terbang di atas mereka. Titik terang itu semakin membesar hingga satu pejuang berteriak. Pije tak mengetahui apa yang pejuang itu teriakan, tapi mereka tahu apa maksud pejuang itu. Titik terang itu adalah sebuah roket dari pesawat.Titik terang berwarna oranye kemerahan itu tengah bergerak mengarah ke mereka. Tanpa dikomando, para pejuang dan relawan medis menggendong penduduk ke tempat yang lebih aman. Mereka tahu bahwa terlambat dalam waktu lima detik saja, roket ganas itu akan menghantam mereka. dalam lima detik itu juga, seluruh penduduk di titik itu telah sedikit berpindah. Relawan medis dan pejuang terengah-engah memanggul penduduk demi keselamatan.

Dan...... Duarrrr!!! Roket itu menghantam tepat di tempat perlindungan penduduk waktu itu. Berjuta partikel debu dan zat kimia memencar di sekeliling mereka.Terlambat sedikit saja, nyawa mereka melayang. Hampir gugur.

Pije masih teringat jelas tentang perjuangan bersama rekan-rekannya. Sampai pada akhirnya, garis takdir masih memberikan kesempatan bagi Pije dan Yan untuk tetap menjalani hidup. Memberikan waktu yang lebih untuk terus memperbaiki diri.

“Dem tapi Alhamdulillah. Kitek masih pacak balek. Masih pacak betemu keluarga.”
“Ao coh. Dem payo berangkat. La jam empat ikak.”
Mereka tak sadar bahwa ibu Pije telah bersama mereka sambil mendengarkan kisah Yan dan Pije.
“Laa.. Ade umak..” Kata Pije.
“Umak kak la nengo cerito kamu dari tadik. Kamu bae dak tau.”
“Ao bik. Alhamdulillah nia. Awak kak masih utuh, dak suek hek ilang.” Balas Yan.
“Mak, mun ade Atok, ku ngen Yan ke Smanda yek. Ujo nye die nak ke sikak.”
“Ao.. Ati-ati bae. Jangan balek malam igek.”
Yan dan Pije bertatapan dengan wajah seakan menahan tawa.
“Acam. Smanda sikaklah mak. Dak i jauh. Peraseanku pas ku sma, umak kak dak olah ngomong cak tu.”
“Hahaha.”
Yan dan Pije berlalu. Dua orang sahabat ini tak pernah menyangka akan menghadapi hidup seperti itu.

---

Lima belas menit berselang dari keberangkatan Yan dan Pije ke Smanda, Atok tiba di serambi rumah Pije. Dilihatnya hanya ada ibu Pije yang tengah melipat pakaian-pakaian. Tak ambil waktu Atok langsung menghampiri ibu Yan.

“Assalamualaikum, bi, ade Pije dak?”
“Waalaikumsalam. Doni ngen Ian ke sma tadik Tok. Kire-kire seperapat jam tadik.”
“Bedue bae bi? Mekase bi. Pegi dulu. Assalamualaikum.”

Atok sungkan untuk berbasa-basi. Ada yang lebih penting dari itu. Catur. Secepatnya motor di starter. Brrrrrmmmmm. Gas ditarik pol. Tujuh menit berlalu.Atok telah berada di depan gerbang Smanda, sekolahnya dulu. Sekolahnya bersama sahabat-sahabatnya dulu. Tepat di bundaran sekolah, Atok berhenti. Dilihatnya Yan tengah memantulkan bola basket. Pije tengah berlari bersama anak-anak sma, ikut bermain futsal. Atok tersenyum melihat keduanya. Persis seperti dua belas tahun yang lalu. Sama dengan suasana penuh semangat dan kekonyolan khas anak sekolahan. Sejenak ia berpikir. Hendak ia melapor ke dua sahabatnya itu tentang pertemuannya dengan Catur kala di bank. Tapi, niat itu dia urungkan.

Lebih baik aku ajak Catur ke Smanda. Skenarionya akan lebih dramatis,” Atok menggumam.

Atok kembali mengebut dengan motornya. Melintasi jalan setapak. Jalan yang dulu pernah ia lewati, bersama dengan sahabat-sahabatnya. Atok teringat kala itu. Waktu masih bergelut dengan keremajaannya.
Bagi Atok, Jum’at malam adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabat. Mungkin juga dirasakan sahabatnya yang lain. Dan kos-ku lah yang menjadi persinggahannya. Atok adalah pemain voli di sma, namun lebih banyak menghabiskan waktu olahraga dengan basket. Aku yang mengajaknya. Aku masih teringat kala three point Atok berhasil membangitkan semangat kelas kami kala classmeeting. Dan akhirnya, kami menang.

Bersama Aku, Yan, Catur, Galih, dan Reno, Atok (sahabat-sahabat lain? Ah. Ada cerita tersendiri) menghabiskan malam Sabtu dengan bermain musik di salah satu studio di jalan Merdeka. Lagu apapun kami mainkan. Tak tahu apakah merdu, atau sumbang, atau fals. Yang penting kami menikmatinya. Atok jadi pemain apa? Bassist. Lagu yang paling dikuasai? Selamat Tinggal-nya Five Minutes. Berhari-hari Atok mempelajari lagu itu. Gitar di kos-ku, habis dilahapnya. Ditekan-tekan senar gitar paling atas. Dem-dum-dem-dem-dum. Suara bass terus-menerus terdengar. Entah itu di kos, di tangga bajep, di apalah. Pekerja tambang ini memang bassist hebat.

Atok hanya tersenyum mengingat sekelebat kenangan di memorinya. Atok bertaruh, situasi itu tak akan pernah bisa terulang kembali. Sampai ada kun fayakun dari Yang Maha Kuasa, situasi itu baru akan terulang. Atok berani bertaruh. Satu juta? Dua juta? Hanya saja dia tak berani bertaruh apakah Ronaldo lebih baik dari Messi.

Atok menatap lurus ke sebuah rumah di depannya. Rumah yang sangat familiar di matanya. Dikenangannya. Rumah mini dengan pohon jambu yang tengah memerah. Penuh dengan buahnya yang ranum. “Ah, aku tidak lapar.” Atok melawan pikirannya. Tak peduli dengan buah-buah itu, Atok bersegera menggerakkan pagar besi berat itu.

“Assalamualaikum.” Atok sedikit berteriak. Satu kali. Dua kali. Didengarnya samar-samar jawaban dari dalam rumah.
“Waalaikumsalam. Masuk coh.” Catur membuka pintu.
Atok menarik napas panjang. Berusaha rileks agar semua sandiwaranya tidak terkuak. Ya sandiwara. Namun Atok tak cukup handal untuk bersandiwara.
“Nak minum ape coh?” Catur bertanya tentang itu. Seolah-olah Atok adalah orang lain.
“Dem ay. Ku kak tetap Atok. Tetap yang dulu. Dulu-dulu aku mintek baru dienjuk. Nah mikak cak tu lah pulek. Dak berubah. Hahaha.”
“Ao ao. Tok, payo ke sekolah bae. Kalu-kalu ade budak maen futsal. Untung-untung dajak e. La lame nia kaki kak dak nendang bola.” Catur beringsut mengajak Atok. Atok terkesiap. Serasa sandiwaranya menemui jalan yang lancar. Tidak berbatu. Niatnya ingin mengajak Catur ke sekolah, justru Catur yang menawarinya lebih dulu. Atok membayangkan apa yang akan terjadi. Ketika Catur berpelukan dengan Yan dan Pije. Ketika tawa mereka akan kembali menyatu. Semua telah terbayangkan oleh atok. Atok Hanya tersenyum. Ini dia, coh.
 “Payo coh.” Atok menjawab singkat. Jawaban singkat itu telah diambil oleh senyumannya yang lebar. Catur tak merasa ada yang ganjil. Mungkin itu memang bukan hal yang ganjil. Tapi itu adalah hal yang hebat. Hebat.

---

Di Smanda

Pije terengah-engah menghampiri Yan yang sedang duduk di dekat ring basket. Tanpa ada perintah, Pije menyambar botol berisi air minum yang tergeletak di bongkahan batu pemberat ring. Cukup lama Pije bermain. Setengah jam tanpa henti. Berlari-lari. Mengulang apa yang pernah ia lakukan dua belas tahun sebelum hari itu. Mungkin kondisi tubuhnya saat ini adalah salah satu efek dari pekerjaannya berlari-lari sewaktu di negeri Arab. Fisiknya menjadi kuat.

“Kemanelah Atok ikak. Ujonye nak miluk.”
“Entah coh. Kalu ke Brazil situ.” Jawab Yan sekenanya.
“Ao. Kalu la sesat di sungai Amazon. Tangop ikan juare.”
“Hahaha. Ape ade ikan juare. Ikan betok ao.”

Yan dan Pije sibuk bersenda gurau. Kadangkala tawa renyah nan besar keluar dari mulut mereka. Mereka tak menyadari bahwa Atok lewat di jalan sekolah. Bersama dengan Catur yang diboncengnya. Catur juga tak menyadari bahwa ada dua anak manusia, sahabat-sahabatnya dulu, tengah berada di area lapangan sekolah. Mereka sama-sama tak menyadari. Hanya Atok yang tersenyum-senyum melihat kejadian itu.
Atok memutuskan untuk memarkirkan motor di dekat perpustakaan sekolah. Tempat itu ia pilih untuk memuluskan niatnya. Dia akan berpura-pura ke toilet dan membiarkan Catur melenggang sendiri ke arah ring basket.

“Dari tadi nga ikak, senge-senge. Ngape coh?” Catur mulai curiga dengan gelagat Atok.
“Suek ah.” Atok setengah tertawa menjawabnya.

Keduanya berjalan menyusuri koridor depan perpustakaan. Hanya dibatasi dinding dengan tangga bajep. Markas besar ddmboyz. Basecamp mereka. Hanya memberi tahu, semua anak akan menyingkir jika gerombolan ddmboyz berdatangan di tangga bajep. Dengan penuh rasa hormat, anak-anak akan berpindah tempat dan mempersilahkan ddmboyz untuk menempati basecamp-nya. Persis seperti pangeran yang baru pulang dari perang.

“Coh, ku ke wc dulu. dari tadik nak *****.” Seru Atok sambil berlari. Kebelet dan lari yang dibuat-buat. Hampir saja Atok tertawa. Untung dia masih bisa menahannya.Catur hanya menggeleng.

Catur sekarang membelakangi toilet. Didepannya terlihat sekolahnya. Sekolah yang megah. Belasan anak-anak sekolah bermain futsal. Catur memutuskan untuk berjalan mendekati lapangan. Mata Catur berkeliling memandangi sekolahnya itu. Dan. Degg...... Pandangannya berhenti. Tersangkut di suatu fokus. Lama ia mencernanya. Nanar, tapi bukan sakit. Ada satu titik yang membuatnya berdiri ringkih. Lemas. Catur terpana dengan dua orang yang tengah duduk membelakanginya. Dua orang yang sama sekali tak asing. Meski hanya punggung yang terlihat, Catur tahu betul siapa kedua orang itu. Lamat-lamat dia memperhatikan. Yan? Pije? Catur masih terpana.

---

Di sudut lain Di titik yang Catur maksud. Di fokus yang Catur perhatikan.

“Kalu la mati Atok tu. Hahah.” Yan mengumpat Atok yang tak kunjung datang. Nada suaranya yang dibuat-buat, mirip nada bicara Aries, membuat Pije terpingkal.
“Sikok-sikok e alasan ngape kitek nunggu Atok tu, die pasti ngunde motor. Aku segan balek bejalan. Hahah. Jadi ojek benok Atok.”

Ditengah gurauan yang mengocok perut, bola futsal menggelinding di samping Pije. Cepat Pije beranjak menghadangnya. Namun bola itu lebih cepat berlari. Pije berbalik badan dan siap berlari menjemput bola. Tak kala dia bangkit, dia mematung. Nampak di seberangnya seseorang yang tengah membatu. Berdiri bak pohon yang diam. Pije tertular pengaruh itu, membatu juga. Mulutnya menggumam sesuatu.

“Cohhh..” Kata itu keluar. Sedikit berbisik. Yan sama sekali tak menghiraukannya.
“Yan.. Yan... Catur, Yan.” Pelan-pelan Pije berbicara. Meski itu tidak ada gunanya. Tetap saja ia berbisik. Sekarang Pije dan Catur bertatapan tak bereaksi. Mematung. Bola yang menggelinding tadi hanya diambil oleh anak-anak.
“Mane ah Catur?” Yan yang merasa dibohongi Pije memutar lehernya. Yan terperangah. Berbeda dengan Pije, Yan langsung menghambur berlari. Meraih Catur. Tak pelak Pije tersadar. Dan Ikut berlari. Atok hanya mengintip dari balik pohon mangga. Tersenyum.
“Caturrrr!!!”

Catur kembali tersadar. Dia tidak ringkih lagi. Kuat kakinya menopang. Senyumnya membentang. Juga tangannya lebar membuka. Namanya dipanggil oleh suara yang tak lazim. Yang tak asing. Dan tentu yang ia rindukan.

Sekarang Yan dan Pije tepat berada di depannya. Jaraknya yang dekat, cukup bagi tangannya yag lebar untuk memeluk kedua sahabat lama. Tak butuh lima detik, ketiganya telah menyatu di satu pelukan. Atok tertawa. Rencananya berhasil dengan mulus. Tawanya yang besar, membuat ketiganya tersentak. Atok berlari berhamburan. Mendekati ketiga temannya, Atok langsung mendekap disatu pelukan. Mereka tersenyum. Mereka tertawa. Mereka bahagia. Dan mereka bersama.

to be continued.......

Komentar

  1. Anonim23.33

    berlanjut dak coh hekak...

    BalasHapus
  2. mencak dramatisir nia coh. Aman masuk tv, ikak bukan film tp sinetron

    BalasHapus
  3. dramatisir ck mane coh

    BalasHapus

Posting Komentar

There's Any Comment Guys?

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)