Korelatif 2 (Part 1)



Ini kisah yang insya Allah akan terjadi jika kita mempercayai mimpi-mimpi kita

Aku melihat kalian sebagai sepuluh benih padi yang bernas, siap untuk ditebarkan di tanah air tercinta ini atau di seluruh pelosok dunia, siap berkembang menjadi rerumputan padi yang menghijau, siap tumbuh menjadi bernas-bernas padi yang menguning, siap bertualang ke semua sudut rumah, siap menyebarkan senyuman kepada setiap manusia.

1 Januari 2022, 09.00
Kamar kontrakan, Yogyakarta
Aku terbangun dari begadang malam tadi. Menyaksikan reaksi kimia indah yang terpancar dari berbagai zat. Melihat keindahan di atas malioboro bersama teman-teman kuliah dan beberapa rekan kerja. Memang telah menjadi tradisi jika kembang api akan muncul seiring dengan pergantian tahun. Fuihh, Tahun baru. 2022.
Berarti kurang lebih sepuluh tahun aku berada di kota ini. Kota yang aku singgahi kali pertama pada Agustus 2012, bersama dengan cita-cita dan harapan orangtua yang terpungguk di punggungku. Sepuluh tahun itu aku habiskan dengan hambar dan sepi. Dekat dengan perempuan pun aku rasa tidak. Hanya dijejali kesibukan sekolahku dan pekerjaan di salah satu badan pemerintahan. Sepuluh tahun dengan rincian, empat tahun bersekolah, dua tahun bekerja, selebihnya melanjutkan sekolah dan bekerja.
Fiuhh.


Terasa sangat ramai dengan apa yang kurasakan sembilan jam sebelum aku terbangun di hari pertama 2022 ini. Tapi sekarang sepi lagi. Aku terisolasi di dalam kamar kontrakan yang agak sempit. Panas dan pengap, sendiri dan sepi. Aku menengadah ke langit-langit kontrakan. Tanganku menopang kepala yang tergeletak nyaman dibantal. Aku belum bersegera untuk terbangun meskipun aku mendengar gesekan-gesekan sapu dengan lantai di depan kamar kontrakanku. Jiwaku masih ingin merasakan kenyamanan dalam isolasi keadaan. Terasa pegal berlama-lama menegang otot leher di bantal. Aku bergeser sedikit dan menyandarkan punggungku di dinding. Aku lihat sekeliling kamarku. Berantakan. Sisa-sisa makanan yang aku bawa dari Malioboro masih menampakkan kekotoran mereka. Membuat aku semakin malas untuk beranjak. Pandanganku mengalir ke dinding kamar. Dan, degg. Mataku tertuju pada serentetan foto-foto berukuran kira-kira lima kali lima sentimeter yang tergantung dan menempel di sudut kamar. Kenapa hari ini aku merasakan hal lain tentang foto-foto itu. Padahal setiap hari aku selalu melihatnya. Aku termenung sambil mataku terus meneliti foto-foto itu. Aku tersenyum membalas senyuman mereka. Aku ingat. Foto-foto itu aku tempel ketika awal-awal aku mengontrak di kamar ini, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Ya, itu foto-foto mereka. Foto-foto teman-temanku. Hingga hari ini, foto-foto yang sedang aku resapi itu telah menempel selama sepuluh tahun lamanya. Sudah pasti sekarang wajah mereka lebih tampan dibanding foto-foto itu.

Aku lakukan itu tidak lain supaya aku bisa terus mengingat mereka.
Mengingat kalian!

Aku tempelkan foto kalian disekitar kertas mimpi-mimpiku supaya kalian terus bisa bersamaku, bersama dengan mimpi-mimpiku.

Dan, bless, sepuluh detik aku memandangi foto-foto itu, air mataku mengalir. Air mata yang keluar sebagai pertanda aku sangat merindukan mereka. Benar, aku merindukan mereka. Tak ku pungkiri bahwa sulit untuk berkumpul lagi. Apalagi sekarang waktu tersita untuk bekerja.

 “Sedang apa mereka sekarang?”

Terakhir kali aku benar-benar merasakan kebersamaan bersama mereka ketika buka bersama di rumahku, Ramadhan 2012. Itupun dua orang dari mereka tidak datang. Berarti, lagi-lagi sepuluh tahun yang lalu. Aku beranjak dari karpet tidurku, berjalan, dan aku dekati mereka, mendekati foto-foto mereka.

“Bagaimana wajah mereka sekarang?”

Aku seperti orang gila. Sambil menyentuh wajah mereka, aku berbicara :

“yang ikak pasti nambah itam”
“yang kak pasti nambah libok bae”
“hek kak, belagak pasti”
“kalu wang ikak, dak jau jau dari mengkan preman”
“yang ikak, itam manis”
“yang ikak, nambah putih nambah banyak jerawat”
“yang kak, sergap dentam”
“yang sikok ikak, makai kacomato, sip sip, mun nak betine, tinggal ngetok bae”
“ai, yang ikak, mun masuk plisi, mayo setengah bae”
“kalu hek sikok ikak, cak etu nambah nyasak”
Aku mencoba tertawa ditengah kerinduanku akan mereka yang gila ini.
“Apa kabar kalian semua?”

Sudah terlalu lama tidak bersua dengan kalian. Hal itu harus diakhiri. Inginku mengulang keadaan-keadaan ajaib yang kalian hadirkan. Aku rindu filsuf-filsuf ajaib macam kalian. Aku rindu obrolan kalian. Aku ingin bertemu kalian. Cepat atau lambat, disuatu tempat, aku akan berkumpul dengan kalian.

“Bagaimana aku bisa bertemu dengan mereka lagi?”

Aku tertuju pada salah satu foto di pojok kertas mimpiku. Pria berkacamata. Pikiranku melayang jauh ke wajah itu.

1 Januari 2022 09.10
Ruang praktik sederhana, perbatasan Indonesia-Malaysia

“Oh iya Din, nenek diberi obat ini dua kali sehari. Kalau yang ini Din, diminum kalau nenek pusing saja. Diminum sampai habis ya Din. Jaga nenek Din. Jangan sampai nenek bekerja berat-berat”.
“Iye pak dokter, Idin jage nenek sampai nenek sembuh. Terime kaseh pak dokter”.
“Iya Din, sama-sama”.
Dokter itu pun kembali sendiri di ruang praktiknya. Dengan senyuman dia merebahkan tubuhnya di kursi sederhana itu. Senyuman bahagia.

Egyd Tradiga.
Sudah kurang lebih dua tahun dokter ini mengabdi di sebuah desa terpencil, di garis perbatasan Indonesia Malaysia. Sebelumnya, dia bekerja di sebuah klinik pengobatan swasta di Palembang sebagai dokter umum. Klinik yang hanya orang-orang kaya yang berobat disana. Dia tidak begitu menikmati kesehariannya sebagai pria mapan. Pasien-pasien kaya yang membayarnya dengan segepok uang tak membuat dia bahagia. Tapi dirinya sendiri tak menyadari apa penyebab keadaan itu. Tidak ada kepuasan ketika menghadapi pasien-pasien yang sering ke kliniknya. Dia menjalani aktivitasnya yang membosankan meski orang disekitarnya selalu ingin menjadi seperti dia. Menjadi dokter muda dengan kemudahan-kemudahan hidup. Dia tidak pernah tersenyum bahagia jikalau seorang pasien kaya telah sembuh karena obat-obat dan perawatan darinya. Hanya senyum kamuflase yang dia keluarkan. Entah dia tak mengetahui penyebabnya. Sampai suatu saat, ketika dia pulang dari klinik, dia menonton satu program di tv swasta tentang keadaan memprihatinkan di perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Keadaan memprihatinkan warga Indonesia akan kesehatan dan pendidikan. Hati sanubarinya tersentuh begitu menyaksikan saudara setanah airnya menderita. Kekurangan hal penting dalam hidup, kesehatan. Sebagai dokter, rasa malu meresapi otaknya dan menjangkau syaraf-syaraf hatinya. Kemanakah pihak-pihak yang bertanggungjawab atas semua yang dia lihat? Atau, inikah hal yang membuat dia tidak merasakan kepuasan batin karena profesinya sebagai dokter? Sejak saat itu, hati nuraninya berteriak ingin keluar dari kesehariannya di kota dan ingin mengabdikan dirinya di tempat yang benar-benar membutuhkan tangan-tangan sepertinya. Jalan hidupnya mengantarkan dia ke perbatasan Indonesia Malaysia, bukan Indonesia Papua Nugini.
Dan sekarang, senyum kamuflase itu berubah total jadi senyum kepuasan.

“Mungkin ini yang aku cari selama ini”, dia bergumam.

Hidup ditengah-tengah masyarakat yang benar-benar membutuhkannya, dengan pendapatan yang jauh lebih kecil dibandingkan gajinya di klinik swasta itu, namun mendapatkan kebahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan kebahagiaanya di kota.

Tangannya lincah memainkan gadget dihadapannya. Dia ingin menelpon seorang perempuan yang telah menjadi bagian hidupnya sejak empat bulan yang lalu. Dengan kata lain, dia tidak lagi bujangan. Jarinya terus menggeser layar gadgetnya untuk mencari kontak istrinya. Sudah dua bulan dia tak menatap secara langsung istri yang ia pinang satu minggu setelah mereka bertemu. Perlahan-lahan dia menggeserkan layar gadget canggih itu dan sedetik kemudian jarinya berhenti bergerak. Di layar itu terpampang sebuah kontak bertuliskan ddmboyz. Diam. Agak lama dia menatap nama tersebut. Tekk. Ditekannya selembut mungkin layar gadget itu. Dan setelah jarinya menyentuh layar gadget, terpampang deretan nama teman-teman lamanya. Sepuluh nama terpampang di layar itu.

“Kemana aku selama ini?”, otaknya berkicau.

Benar saja. Sudah terlalu lama dia tidak bertemu teman-teman lamanya itu. Hal itu harus diakhiri. Dia benar-benar buta akan apa yang pernah dia dan teman-temannya lalui. Buta akibat terlalu lama tidak bersua, atau setidaknya tidak berkomunikasi melalui teknologi.

“Apakah aku yang salah, ataukah mereka yang telah menghapusku dari ingatan mereka?”
“Kemungkinan besar aku yang menghilang dari mereka. Mereka teman-teman terbaikku. Mereka takkan lupa dengan ku”.

Hati pria ini seketika luluh karena kerinduannya dengan teman-teman lamanya. Dia sejenak lupa dengan tujuan awal tadi, menghubungi istrinya. Kontak bernama ddmboyz yang tak sengaja dia buka, dan secara tak langsung mengingatkannya kepada sepuluh anak ajaib yang dia temui di waktu sekolah. Tiga belas tahun yang lalu dia dan mereka dipertemukan, dan sepuluh tahun yang lalu dia dan mereka dipisahkan. Dia genggam gadgetnya dan punggungnya yang semakin hangat disandarkan di kursi. Pikirannya menerawang jauh menerobos hutan yang dia lihat melalui jendela kotak yang terbuka itu. Diimajinasinya yang kuat, hutan dan dedaunan itu berubah menjadi suatu tempat di SMA-nya yang biasa dia dan teman-temannya tempati. Sudah menjadi aturan tak tertulis bahwa mereka harus stay di sana pagi hari ketika baru datang di sekolah dan stay di sore hari ketika sekolah telah berakhir. Tentu dengan bumbu-bumbu guyonan dari mulut dia dan mereka. Dia pun teringat kala itu, salah satu nama dilayar gadgetnya membawa makanan kesukaan dia dan mereka. Dia mengalihkan pandangan ke rak penuh dengan obat-obatan itu. Imajinasinya akan tempat bersejarah itu buyar seketika. Dia mencoba tersenyum ditengah kerinduan yang dia rasakan.

“Kesibukanku mengalihkanku kepada kalian, teman-teman. Aku sangat merindukan kalian, merindukan suasana yang biasa kita hadirkan”.

Dia tidak mengetahui kapan serta dimana dia dan mereka akan berkumpul lagi. Tapi, yang dia tahu, dia akan bisa bertemu lagi dengan teman-temannya. Cepat atau lambat.

Renungannya hilang ketika nada dering gadgetnya berbunyi. Seketika dia membuka e-mail dari rekan kerjanya di Palembang. Dia baca dengan seksama surat elektronik itu. Surat itu mengatakan bahwa ada seminar internasional kedokteran di Yogyakarta Juli mendatang dan dia diundang sebagai salah satu peserta seminar tersebut.
“Yogyakarta?”, dia bergumam.
_____________________________

1 Januari 2022 09.45
Koridor Kampus, Jakarta

Pria berjas hitam dan berdasi putih itu berjalan di koridor kampus sambil menenteng tas laptop serta beberapa kertas yang terselip dimapnya. Disampingnya berjalan sejajar seorang pemuda yang kira-kira umurnya tak jauh berbeda dengan pria itu. Pemuda itu membawa setumpuk kertas dan dilehernya tergantung tas berisi proyektor. Semenit kemudian keduanya telah berada di ruangan kerja yang penuh dengan buku-buku dan beberapa laptop. Pria itu meletakkan semua yang dia bawa ke meja kekuning-kuningan di sudut ruangan. Diatas meja itu, terpampang papan nama bertuliskan Reno Yudistira.

Ya, Reno Yudistira

Setelah dia mengenyam pendidikan S1 di universitas di Palembang, dan dengan beasiswa penuh dari pemerintah Indonesia, dia menyelesaikan pendidikan di universitas di Singapura. Setelah dua bulan terhitung dia wisuda, dia langsung diangkat menjadi seorang dosen tetap di salah satu perguruan tinggi ternama di Jakarta. Tak butuh waktu lama, akhirnya dia menjadi guru besar di perguruan tinggi tersebut dalam bidang yang sangat dia kuasai, Matematika. Sekarang, Reno masih berusia 29 tahun.

“Bang Ren, tahun baru ini gak libur? Tahun ini gak jadi pulang ke kampung halaman?”
“Dua tahun aku disini, biasanya tahun baru ada libur, tapi sekarang ada perubahan jadwal, jadi harus ditahan sampai Idul Fitri nanti. Gimana kamu Dis? Kerjaan kamu jadi asisten ku aku ambil alih aja, kamu fun fun aja dengan gerombolan teman sekampusmu itu. Itung-itung merayakan tahun baru, kerjaan kamu semester akhir ini gak padat kan?”
“Sebenarnya aku ingin minta izin ke abang, untuk libur, mau kumpul-kumpul dengan teman. Tapi bukan teman sekampus bang. Ini spesial”.
“spesial apa Dis?”
“Kumpul-kumpul bang, sama teman-teman SMA ku dulu. Udah lama aku gak ketemu mereka. Rindu berat bang, hahaha”.
“Reunian?”
“Bukan bang, kalau reunian kan, seluruh teman-teman seangkatan atau sesekolah. Nah yang ini beda bang. Emang, kami cuman bertujuh, tapi rasa-rasa seperti teman seribu bang. Rame. Pokoknya seru bang”.
Deg. Reno terdiam mendengar kalimat dari Yudistira, asistennya. Teman-teman SMA. Hanya bertujuh. Seru. Hal itu seperti pernah Reno lalui. Jauh sebelum dia berada di ruangan itu. Reno termenung.
“Bang bang, kok ngelamun”.

Reno menggapai tasnya dan menghidupkan laptop tuanya. Laptop itu dia beli ketika akan memulai kegiatan perkuliahan semester dua di Palembang. Tak tergantikan hingga dia berada di ruangan itu. Dia sempat meminta beberapa file SMA dari temannya sewaktu salah satu temannya berkunjung ke kos nya waktu itu. File itu terlupakan karena kesibukannya dengan studi dan kegiatan-kegiatannya. Sekarang Reno berpikir bahwa itu saat yang tepat untuk membuka kembali file-file itu.

“Dis, kau terlanjur membawaku ke zaman SMA ku dulu. Kau telah mengembalikan ingatanku. Kau sudah mengembalikan keharusan bahwa aku mesti kembali ke teman-temanku. Aku sempat memiliki teman-teman. Persis seperti yang kau ceritakan. Kami bersebelas. Dan seru. Entah aku tidak pernah lagi mengontak mereka. Apakah itu salah ku, atau mereka telah melupakanku. Tapi aku berpikir, tak mungkin mereka melupakanku. Karena mereka teman-temanku. Kesalahanku telah melupakan mereka”.

Reno mengklik beberapa folder di hardisknya. Namun, dia lupa meletakkan folder berisi file-file itu. Tidak ada cara lain, dia mengetik kata ddmboyz di kolom search. Lima menit kemudian, barulah bermunculan foto-foto dan video-video dia dan teman-temannya. Dia buka satu persatu foto itu. Yudistira hanya memperhatikan Reno dengan seksama.

“Dis, aku tak akan ingat mereka jika kau tidak mengingatkan ku tadi”.
“Abang terakhir kali bersama mereka kapan?”
“Kami bersama-sama, bersebelas, terakhir kali ya ketika pengambilan pengumuman kelulusan SMA. Kami waktu itu berkumpul di dekat kantin sekolah. Selebihnya aku gak ingat. Sepuluh tahun yang lalu. 2012”.
 “Udah lama ya bang. Sekarang gak ada kabar lagi?”
“Setelah itu pernah saling kontak dari facebook. Tapi, ya kan seiring waktu berjalan. Sudah jarang. Akhirnya, gak tau apa apa lagi. Tak ada waktu kalau cuman sekedar buka facebook. Entahlah Dis, semoga kami bisa kumpul-kumpul lagi. Seperti kamu”.
“Hmmm”.
“O ya, terakhir kali aku mengontak yang ini, dia masih berada di Yogyakarta. Ya. Dia juga dosen. Juga kerja di kantor pemerintahan di Yogya. Aku mengontaknya kira-kira lima bulan yang lalu”, Reno berbicara seraya menunjuk salah satu orang di foto itu.

Hening

“Assalamualaikum”, ucapan itu memecahkan keheningan ruangan itu. Seseorang telah berdiri di depan pintu ruangan tersebut. Lelaki berkacamata dengan kumis lebat. Dengan air muka yang menandakan sudah berumur lebih dari setengah abad, lelaki itu tersenyum ke arah Reno dan Yudistira. Singkat kata berwibawa. Lelaki itu membawa sebuah amplop di tangan kanannya.
“Waalaikumsalam”, jawab Reno dan Yudistira hampir bersamaan.
“Oh, kita kedatangan tamu besar, Dis. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Pas sekali, aku mencarimu pak Reno. Ini ada surat tugas dari kampus. Bukalah dan persiapkan segala yang kau perlukan. Kampus akan membantu”, balas pak Hidayat, rektor universitas.
“Sepertinya ada diklat lagi, pak Reno”, kata Yudistira. Yudistira memanggil Reno dengan kata ‘pak’ jika ada orang lain berada di dekat mereka.
“Iya nak Yudistira, dosenmu yang satu ini memang hebat. Kampus mengutusnya lagi untuk satu kegiatan pelatihan internasional. Oh ya pak Reno. Persiapkan segala yang dibutuhkan. Jangan sampai ada yang menghambatmu. Bapak ada pekerjaan lain. Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam”, lagi-lagi Reno dan Yudistira menjawab hampir bersamaaan.
“Terimakasih, pak”, seru Reno.

Reno membuka amplop tersebut. Di kertas itu tertera bahwa Reno mendapat tugas dari kampus sebagai peserta seminar internasional di salah satu hotel di Yogyakarta, Juli 2013.

“Wah, Jogja bang. Di bawahnya ada lanjutannya bang”.

Dibawahnya tertera bahwa seminar dilanjutkan di Solo.

“Bang, Yogya bang”. Bisa ketemu teman abang yang satu tadi”.
“Iya Dis, Yogya. Semoga bisa bertemu temanku ini”.

Bulan Juli, Yogya. Aku akan bertemu engkau. Meski cuma engkau yang aku temui. Tapi semoga teman-teman yang lain bisa aku tatap lagi.
___

1 Januari 2022 10.00
Ruang Sistem Kendali

“Pak, pengintegrasian sistem radar bandara di Indonesia memerlukan waktu lama, setidaknya setahun. Hal ini penting keberadaannya Pak, karena akan memandu pesawat yang terbang di atas udara Indonesia. Selain itu, penyatuan sistem radar ini akan mempermudah penerbangan di tanah air”, jelas pria itu.
“Oke, saudara Galih. Anda bisa merancang sistem radar bandara yang seperti Anda usulkan?”, kata lelaki yang duduk di depan peserta rapat.
“Tentu dengan kerjasama semua pihak yang terkait, kita bisa menyusunnya Pak”, kata pria bernama Galih.
“Baiklah, saya akan menyusun tim dan mengikutsertakannya ke proyek yang menjadi tanggungjawabmu. Kita semua berharap yang terbaik untuk penerbangan Indonesia”.
“Siap Pak”, kata Galih tegas.

Galih kembali duduk dan terlihat tegang.

Wistra Galih Rakhasiwi

Dia adalah lulusan terbaik teknik mesin angkatan 2012 di salah satu perguruan tinggi ternama di Bandung. Setelah lulus, dia sempat bekerja di salah satu badan usaha milik negara di Bandung, tepatnya di Dirgantara Indonesia, BUMN yang bergerak di bidang dirgantara dan pertahanan. Belum genap satu tahun dia bekerja, pihak BUMN menugaskan Galih untuk melanjutkan studi di Malaysia dengan bidang konsentrasi sistem radar. Saat itu dia merupakan 1 dari 15 orang terpilih se-Indonesia yang ditugaskan untuk kegiatan itu. Sekembalinya dia dari Malaysia, dia menjabat menjadi teknologis junior di Dirgantara Indonesia.

Siang itu, Galih duduk-duduk di serambi masjid Nurul Iman, masjid di kantornya. Dengan kaki yang berselonjor, dia begitu menikmati kicauan burung di atas pohon akasia dan beberapa ikan arwana di kolam depan serambi masjid. Ditengah keramaian siang itu, Galih merasa sendiri. Sekumpulan anak-anak berseragam sekolah bermotif batik kuning berjalan tak jauh dari pohon akasia tempat burung bertengger. Mata Galih menuruti langkah kaki anak-anak itu. Tiba-tiba, rasa gelisah yang akhir-akhir ini dirasakan Galih kembali hadir dihatinya.

“Halo pak Galih. Ojo ngelamun. Ada yang kurang dengan gajimu teman?”, Raka, temannya sekantor mendekatinya.
“Gak Ka, aku merasa gelisah akhir-akhir ini. Ada sesuatu yang aku rindukan”.
“Kau rindu dengan orangtuamu mungkin, Gal? Keluargamu”.
“Gak, tadi aku baru video call dengan orangtuaku. Alhamdulillah mereka baik-baik saja. Tapi gelisah ini masih saja menggelayutiku. Entahlah. Aku gak tau aku rindu dengan siapa”.
“Gila. Rindu tapi gak tau objek rindunya siapa. Hmm, pacar pacar?”
“Pagi tadi baru ketemu”.
“Bisa jadi rindu lagi kan. Teman?”
“Sekantor ini temanku semua Ka”, Galih menjawab malas.
“Bukan, maksudku teman lama, teman dekat, teman sekampung, se-SMA mungkin, sahabat-sahabat”, Raka mengulang-ulang pendapatnya.

Galih mengangkat dagunya. Galih tertegun dengan obrolan ringan dari Raka. Raka hanya mencoba menghibur temannya itu. Tapi justru kata terakhir dari mulut Raka terasa berbeda di pendengaran Galih. Galih terlihat berpikir serius.

“Mungkin Ka”, jawab Galih ragu.
“Hee?!”, Raka bingung.

Galih masih berusaha menerjemahkan kata sahabat yang dilontarkan Raka. Galih kemudian diam dengan matanya sesekali melirik ikan-ikan di depannya. Dia tersadar. Selama dia kuliah, dia tidak menemukan kembali sahabat-sahabat yang mampu memberikan kesenangan di kesehariannya. Dia terlalu larut ke dalam ambisinya menggapai keinginan cita-citanya. Dia lupa dengan cara tertawa renyah, lupa bercanda, dia terlalu serius untuk masalah-masalah ringan yang seharusnya dia hadapi dengan senyuman.

“Gal, Gal, kamu kenapa?”, Raka bingung melihat perubahan air muka Galih.
“Iya Ka, kamu benar. Aku rindu sahabat-sahabat lamaku”, jawab Galih lirih.
“Yeah, benar kan. Rindu sahabat lama. Ini bisa jadi kisah besar nih. Judul kisahnya, sahabat yang tertukar”, canda Raka.
Galih hanya memandang Raka dengan raut aneh. Keningnya terlipat-lipat.
“Sudah lama gak ketemuan Gal?”
“Untuk ukuran seorang sahabat, aku pikir itu sudah lama. Dari tamat SMA Ka. Aku sangat jarang mengontak mereka. Apa mereka sudah lupa denganku? Gak mungkin ya Ka. Aku yang salah. Aku yang menghilang dari mereka. Aku gak ada inisiatif untuk menghubungi mereka. Aku menempatkan mereka sebagai sahabat-sahabatku. Itu dulu. Dan saat ini, kata-katamu tadi menghadirkan mereka lagi sebagai sahabat lamaku Ka. Aku sempat lupa dengan mereka. Sekarang ingatan tentang mereka hadir lagi”, bernada sedikit berbisik Galih berkisah.
“Kenapa gak diajak konferensi aja?”
“Konferensi apa?”
“Maksudnya ketemuan Gal”.
“Dalam waktu dekat ini, gak bisa. Meskipun bisa, aku gak tau dimana mereka berada sekarang”.
“Yaelah, kolot. Pakai teknologi dong. Kamu tiba-tiba jadi kampungan Gal. Minimal pakai handphone. Telepon telepon. Atau gak e-mail. Wifi sudah ada dimana-mana”, Raka menjadi sedikit kesal.
“Aku tadi sudah bilang Ka, aku hilang dari mereka. Benar-benar hilang. Aku hilang dari identitas mereka. Cuma nama, wajah, dengan kenangan kami yang gak hilang dari ingatan ku Ka”.
“Iya iya”.
“Aku rindu mereka Ka. Aku ingin bertemu mereka”, tiba-tiba Galih menghadap Raka dan memegang kedua bahu Raka, sambil mengguncang-guncangkan tubuh Raka.
“Lo lo lo, kenapa diriku yang engkau siksa ya Galih?”

Galih kembali ke posisi awalnya.

“Aku serius Ka”.
“Siapa juga yang bilang kamu becanda. Tadi kamu bilang kamu benar-benar hilang dari mereka kan?”
“Iya”.
“Cuma ada satu yang bisa mempertemukan kalian”.
“Apa?”, Galih penasaran.
“Keajaiban”, Raka bergaya seperti pemikir-pemikir Yunani.
“Asuu. Bisa beli dimana keajaiban?”
“Di tukang batagor Gal”.
“Haha.. Lucu lucu”, Galih tertawa dipaksakan.

Hening. Galih sedikit mempercayai kata dari Raka. Keajaiban.

“Semoga aku bisa bertemu kalian lagi, lengkap dengan suasana yang biasa kita hadirkan”, hati Galih bergumam.
“Oh iya Gal. Aku hampir lupa. Aku tadi baru ketemu dengan pak Nur. Tentang proyekmu tadi, aku menjadi salah satu anggota dalam proyek itu. Pak Nur tadi bilang, kita dengan rekan-rekan lain ditugaskan menghadiri semacam seminar sistem radar dan sistemasi robot bandara di Yogyakarta. Tadi beliau bilang kegiatannya di hotel paling mewah di Yogya dan bandara Adi Sujipto. Gratis Gal. Bisa dapat ilmu plus liburan gratis”, kata Raka semangat.
“Memang Ka. Dari dulu kamu selalu mencari-cari untung dari pemerintah. Liburan gratislah, jalan-jalan gratislah. Kapan kegiatannya?”
“Juli”.
“Hmmm. Juli? Yogya?”
“Iya”.
___

1 Januari 2022 17.00
Serambi Rumah, Rantau Panjang

Sore cerah dengan pancaran matahari merah menaungi rumah keluarga kecil itu. Tersuguh suasana romantis di serambi rumah indah sederhana itu. Terlihat lelaki tersebut ditemani secangkir teh, seorang perempuan di sampingnya, dan dua anak yang tengah bermain bulutangkis di pekarangan rumah. Juga terlihat dua buku tebal di atas meja. Tepatnya dua album foto tebal. Lelaki muda itu mengenakan kain sarung dengan baju koko putih, serta peci hitam, menandakan dia baru selesai menunaikan shalat Ashar. Kalau dilihat sepintas, pasti teman-teman lamanya tak akan percaya bahwa lelaki tersebut adalah Aries. Berubah seratus delapan puluh derajat dari kebiasaan lama di SMA. Sekarang dia telah berubah. Dijari tangannya terjepit rokok berwarna hitam, asapnya mengepul bertebaran di sekitar tubuhnya. Terhembus hilang keluar dari serambi itu dan terus hilang bergabung dengan partikel-partikel udara lainnya. Sesekali beberapa pengendara motor melintasi rumah tersebut. Dengan sedikit berteriak dia selalu membalas panggilan dari beberapa pengendara motor itu. Kebiasaan lamanya yang selalu berteriak-teriak keras dengan teman-temannya sedikit hilang dan berganti dengan sedikit teriak.

Aries

Sekarang, toke para.
Aries, preman bagi teman-temannya. Wajahnya yang seram dengan bulu kaki yang amat lebat cukup untuk membuat penampilan Aries menjadi sangar. Tapi itu hanya bagian luarnya. Namun sesungguhnya, hati sanubari Aries menyimpan sifat yang baik. Bertolak belakang dengan kisah premannya Aries, dia dikenal oleh teman-teman SMA-nya sebagai bapa. Sebutan untuk orang bijaksana. Bapa Aries. Begitulah teman-teman memanggil dirinya. Petuah-petuah yang seringkali dia lontarkan memang benar adanya. Itu dulu. Dulu sebelum dia dan teman-temannya menempuh jalan hidup masing-masing.

Aries, tangannya pelan-pelan membolak-balik album foto tebal itu.

“Yah, cak mane hasil kebon bulan getangkak?”
“Alhamdulillah Bun, arai dang bagus. Meski dikit-dikit, tapi Insya Allah cukuplah untuk meli kebutuhan sampai tige bulan ke depan. Tadik ayah la mage rejeki ikak dengan umak. Sisenye ayah la tabung untuk budak-budak sekolah”, kata Aries seraya tersenyum.
“Alhamdulillah. Kagek bunda nak infak ke pulek ke masjid di laot situ Yah. Jadi pacak bebage dengan wang yang perlu”, balas istrinya.
“O ao bun, la parak ayah lali nak infak ke. Untung bunda ngingatke”.
Aries terus membolak-balikkan album foto tebal itu. Sesekali dia tertawa kecil melihat foto-foto masa kecilnya. Tatkala dia membuka satu halaman album, dia termenung. Diam. Dia putar album foto itu menjadi posisi landscape. Di satu halaman penuh itu tertempel foto dia dan teman-teman SMA-nya. Di sudut kanan bawah halaman tersebut tercetak tulisan tangan berwarna biru membentuk kata DDMBOYZ. Tulisan tangan Aries sewaktu di SMA. Jelek. Tapi tak sejelek kenangannya bersama orang-orang yang ada di foto itu.

Istrinya memandangi wajah Aries. Istrinya tahu apa yang dirasakan suaminya. Kerinduan. Istrinya pura-pura tidak mengetahui itu.

“Foto sape tu Yah?”
“Foto budak-budak gile waktu SMA bun, hahaha...... Kawan SMA. Mikak dak tau mane tatan e budak-budak ikak. Ari, Ira, ke sikak dulu”, Aries memanggil kedua anaknya yang tengah bermain bulutangkis.

Kedua anaknya mendekati Aries dan istrinya.

“Ngape Yah?”, tanya Ari penasaran.
Seolah-olah terinspirasi dari foto tersebut, Aries memotivasi anak-anaknya.. “Dengo Ayah ek, ayah ndak, Ari, Ira sekolah tinggi-tinggi. Bajo rajen-rajen. Jangan malas. Jangan pecak Ayah dulu tu. Sekolah gawean kak bosek-bosek. Soal biaya segalek macam, kela Ayah ngen Bunda kamu yang ngurus. Jingok foto ikak!”, Aries berbicara seraya menunjukkan foto kenangan itu.
“Mun Ira nak jadi dokter, bajolah carek beno macam om Egyd nah. Kalu nak jadi perawat di umah sakit mecak mamang Doni ngen Yan, bajolah serius. Ari, kalu nak jadi guru atau dosen, kejarlah mecak mang Reno e”, Aries berkata sambil menunjukkan orang yang dia sebut.
“Ao Yah. Tapi Yah, mamang-mamang ikak siape?”, tanya Ari yang masih duduk di kelas 5 SD.
“Ikak kak kawan-kawan SMA Ayah. Wang hebat. Wang sukses. Kalu nak jadi sukses mecak mamang-mamang ikak, bajolah beno-beno”, kata Aries tegas.
“Ao Yah”, jawab anak-anaknya hampir bersamaan.
“Arai la petang, Ira, ajaklah Ari mandi, siap-siap ngaji di masjid”, tambah istri Aries.
“Ao bun. Ayo dek, mandi. Jingok tapak kaki kau nah, tanah galek”, kata Ira kepada adiknya.

Istrinya berlalu bersama kedua anaknya memasuki rumah sederhana itu. Aries sendiri dengan album foto.

Sore itu, waktu berlalu dengan kerinduan yang dirasakan Aries. Selepas merasakan kebersamaan dengan teman-temannya ketika buka bersama, dia tidak pernah bertemu lagi. Dia merindukan teman-temannya yang entah dia tak tahu sekarang ada dimana. Aries bernasib lain kala itu. Diantara teman-temannya, dia sendiri yang tidak melanjutkan kuliah. Dia berprinsip bahwa semua orang ada jalannya masing-masing. Dan jalan yang dia miliki adalah bukan tentang kuliah. Tapi tentang perjuangan menyambung hidup yang sebenarnya. Lepas dari teori-teori ilmu di buku-buku pelajaran. Universitas kehidupan. Dia berbeda karena telah langsung mempelajari hidup lewat buku-buku nyata. Mendahului teman-temannya yang baru mempelajari kehidupan melalui buku-buku konstektual. Menghadapi lika-liku hidup yang jauh lebih berat dari teman-temannya. Tapi sekarang, hidup telah menempanya menjadi makhluk yang sebenarnya. Dia memang bapa bagi teman-temannya. Dia mengikis tanah yang pada akhirnya pahat besi itu menyentuh batuan berharga. Dia menang. Dia mapan. Dan dia merindukan.

---

2 Januari 2022 09.00 waktu Palestina
Ruang Istirahat, Hospital

Terlihat gedung berwarna putih kekuning-kuningan dengan dinding yang telah usang. Gedung itu dibangun pada 2014, namun sudah terlihat seperti bangunan lama. Dinding bagian samping gedung itu telah retak dan terdapat ratusan lubang kecil bekas peluru-peluru tentara dan pejuang. Sebagian atap bagian belakang gedung telah runtuh. Menganga menghadap langit biru. Kadangkala langit berubah merah menyala. Diatas pintu utama terdapat tulisan berukuran agak besar. HOSPITAL. Pintu utama itu hanya selebar dua meter. Cukup kecil untuk sebuah rumah sakit. Tapi itu lebih dari cukup bagi para korban perang yang membutuhkan pertolongan. Didepan pintu utama itu, banyak darah yang telah mengering berceceran tak karuan. Menandakan bahwa daerah itu adalah daerah perang. Mungkin sudah ribuan korban yang masuk ke rumah sakit itu. Rumah sakit itu berada di sebuah kota di pesisir Palestina, menghadap langsung laut Tengah. Salah satu saksi bisu dari peperangan lama dua negara di Timur Tengah. Entah kapan perdamaian akan datang.

Tahun baru yang kelam bagi dua orang pribumi ini.

Terlihat dari jalan, melalui kaca jendela rumah sakit itu, duduk dua orang dengan wajah lelah. Wajah Melayu yang lelah. Kantung mata mereka terlihat jelas. Mulut mereka sibuk terbuka dan tertutup dengan tangan yang memegang Al-quran. Mereka bukan takut akan keadaan mencekam di daerah operasi mereka, tapi mereka akrab dengan Al-quran karena melihat penderitaan saudara-saudara mereka, umat Muslim di Palestina. Keduanya duduk di dekat kaca, berusaha mengumpulkan cahaya agar dapat menerangi Al-quran yang sedang mereka hayati. Memang penerangan dari lampu ruangan itu sangat kurang. Sama kurangnya dengan kekuatan otot mereka. Mereka memakai seragam putih putih. Namun seiring dengan waktu yang mereka habiskan, seragam itu telah menjadi kuning. Bahkan darah-darah telah mengeras di dada mereka. Jarang sekali dibersihkan. Di bagian lengan kanan atas, terdapat bendera merah putih kecil dengan lambang garuda di lengan kiri atas. Di dada mereka tertempel sebuah tulisan usang. Doni Primajaya. Janita Dwi Putra.

Ya, Yan dan Pije.

Dua pribumi ini memilih mengamalkan ilmu mereka di tanah Arab. Sebelumnya mereka berdua adalah lulusan perguruan tinggi berbeda di Sumatera Selatan. Hingga takdir mengantarkan mereka ke kawasan perang itu. Dua sahabat lama ini lulus pada 2016 dan sebelum terbang ke Arab, mereka berkarir di suatu rumah sakit yang sama. Seiring dengan gejolak peperangan di tanah Arab yang semakin meruncing akhir tahun 2017, pemerintah Indonesia bermaksud mengirim bantuan berupa tentara keamanan dan tenaga medis. Beberapa tes dan ujian dilalui oleh kedua sahabat ini. Hingga akhirnya mereka lulus dan ditempatkan di rumah sakit usang tadi. Mereka telah memikirkan risiko dan tantangan yang akan dan pasti mereka hadapi. Risiko tertembak. Risiko terkena ranjau. Risiko terkena roket. Dan risiko menemui ajal di ujung bayonet tentara. Semua itu telah mereka pertimbangkan secara matang. Sudah kurang lebih empat tahun terhitung dari awal 2018 mereka berada di rumah sakit itu.

Sudah lebih satu jam mereka menghabiskan waktu di ruangan itu. Sengaja menyisihkan waktu untuk memegang Al-quran. Terdengar samar-samar suara menderu dari sebuah pesawat terbang. Kira-kira sejauh lima kilometer dari tempat mereka duduk. Tak sampai sepuluh detik kemudian, suara keras menyeruak di daerah tersebut. Ternyata pesawat tadi baru saja meluncurkan misil ke salah satu bangunan di kawasan itu. Keduanya beristigfar bersamaan. Yan dan Pije telah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Lima menit setelah terdengar suara keras tadi, mereka mengakhiri kegiatan mengaji.

“Yan, la lame kitek sikak. Kire-kire la empat tahun ek. Ape nga dak suek niat nak balek?”, kali itu Pije membuka obrolan.
“Lime tahun tu bukan waktu yang pendek Je. Aku kak indu ngen wang dusun. Nga tu pasti indu pulek. Same cak ku kak. Tapi cak mane carek. Kitek la dari awal komitmen nak begawe di sikak. Di sikak tu bukan begawe begawe bae. Bukan begawe di rumah sakit biaso”, balas Yan getir.
“jadi nga nak sikaklah sampai kapan?”
“Sampai waktu tu datang. Kitek masih harus menoke kewajiban kitek di sikak. Kalu ade kesempatan balek, ngape dak”.

Mereka berdua menghela nafas panjang.

“Sebenok e budak-budak dusun tau dak kitek begawe disikak?”, tanya Yan.
“Budak-budak dusun?”, Pije balik bertanya.
“Raban anta Reno, Atok. Budak dedeem”.
“Oh, aku dak tau anta die tau ape dak kitek begawe disikak. Setau ku, aku cuma ngomong ke keluarga ku dengen sikok dosen ku. Aku lali name dosenku tu siape”.
“Same bae reti e. Aku cuma ngomong ngen keluarga ku”.

Pije melirik ke salah satu sudut ruangan tersebut. Dia hampir lupa dengan teman-temannya jika tidak diingatkan Yan. Tak lama kemudian dia mengambil serpihan kaca kecil. Kaca kecil itu dia goreskan ke dinding berdebu. Tangannya bergerak pelan membentuk kata ddmboyz.

“Yan, men ade kesempatan balek, kitek harus balek”, kata Pije tiba-tiba.
“Semoga ade kesempatan”, balas Yan tertunduk.
“Aku indu keluargaku, ngen aku indu dengan tulisan ikak”, Pije berkata sambil menunjuk ke kata yang baru saja dia buat.
“Same coh”, kata Yan pendek.

Hening seketika menyelimuti keadaan ruangan tersebut. Deru mobil terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Dan ketika itu, suara pintu yang terbuka terdengar oleh Yan dan Pije. Pak Putra, perawat senior mereka telah berada di ambang pintu.

“Assalamualaikum, Jen, Doni”.
“Waalaikumsalam, Pak. Keadaan darurat lagi Pak? Atau banyak korban yang baru masuk karena ledakan tadi?”, kata Yan seraya berdiri siaga dan mengambil kotak peralatan kesehatan.
Wajah Yan dan Pije berubah menjadi serius. Namun, justru raut muka Pak Putra tak menampakkan kekhawatiran.
“Bukan, bukan. Tadi hanya ledakan tabung gas. Pesawat yang lewat tadi adalah pesawat lokal. Tidak ada korban dalam ledakan itu”, jawab Pak Putra sambil tersenyum.
“Alhamdulillah. Ada berita dari Indonesia, Pak?”, tanya Pije.
“Tepat sekali Doni. Pemerintah Indonesia kembali mengirim bantuan dalam jumlah besar ke sini. Bantuan itu berupa tenaga medis baru dan tentara-tentara baru. Bapak tahu kalian sangat rindu akan tanah Indonesia. Kalian adalah tenaga medis bantuan angkatan pertama yang dikirimkan pemerintah Indonesia. Kurang lebih empat tahun kalian sudah di sini ya?”, kata Pak Putra ramah.
“Iya Pak”.
“Waktu kalian sudah habis disini. Sebenarnya sistem tes itu ada jangka waktunya. Dan jangka waktunya adalah empat tahun. Kalian telah berjuang mendedikasikan diri kalian dengan baik”.
“Saya masih belum mengerti Pak”.
“Jadi intinya, kalau sudah bisa kembali ke tanah air. Pemerintah Indonesia telah memberikan pekerjaan baru untuk kalian. Ini baru Januari. Kalian akan diproses di kedutaan dan bisa terbang ke Indonesia awal Juni nanti. Berarti masih ada lima bulan pengabdian lagi”.
Yan dan Pije saling bertatapan bahagia. Bahagia bukan karena mereka akan meninggalkan daerah konflik. Tapi bahagia akan bertemu dengan orang-orang yang mereka rindukan, keluarga dan teman-teman mereka. Pembicaraan yang baru mereka lakukan seakan langsung terjawab.
“Semoga dalam lima bulan terakhir ini, kita masih bisa selamat. Amin”.
“Amin”.
“Ya sudah, hanya itu yang bapak mau sampaikan. Lanjutkan pekerjaan mulia kita, Jen, Doni. Bapak ada pekerjaan lain. Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam. Terima kasih Pak”.

Terasa lapang rongga dada Yan dan Pije mendengar kabar baik itu. Bukan hanya tentang kembali ke Indonesia, tapi juga tentang teman-teman mereka. Yan dan Pije bergerak pindah dan berdiri di depan tulisan yang telah digoreskan oleh Pije.

“Yan, kitek balek. Kitek pacak betemu budak-budak ikak”.
“Semoga bae coh”.
___

3 Januari 2022 22.00
Kilang minyak lepas pantai, selat Karimata, kepulauan Natuna.

Pria tegap berjeans itu menjatuhkan tubuhnya di kasur berwarna gelap. Mata sedikit menutup seraya 
tangan melipat dibawah kepala kepalanya. Beberapa nafas panjang di hirup dan hembuskan. Menikmati dinginnya cuaca yang menembus dinding beton di tengah-tengah samudra Pasifik. Pria itu sedang berada di kamarnya yang terisolir, jauh dari apa-apa. Saat itu sedikit deburan ombak yang bertabrakan dengan tiang-tiang bangunan menemani kesunyiannya. Juga detak jarum jam merah berbunyi pelan-pelan mengalun berirama membentuk nyanyian beraturan. Perlu konsentrasi yang tinggi untuk memadukan antara bunyi detak jarum jam itu dengan deburan ombak di bangunan tempat dia berbaring. Bangunan berkaki enam dengan tiang-tiang pancang besar itu jauh terlihat dari pulau Natuna. Jika menyusuri garis samudra lurus ke arah barat, satu hari adalah waktu yang cukup untuk melabuhkan suatu kapal ke daratan Borneo. Pria itu sedang berada di ladang gas D-Alpha, 225 kilometer di sebelah utara pulau Natuna. Jauh. Pria itu jauh.

Novriansyah Lukito

Dia masih termenung ditengah gelap matanya yang tertutup. Sesekali dia melirik jam yang sedari dia merebahkan tubuhnya, jam itu berbunyi. Sepuluh malam. Waktu yang tepat untuk beristirahat. Atok merasakan kelelahan menggurat di lehernya. Tapi tak ada kemauan dari dirinya untuk tidur. Ada sedikit rasa tak mengenakan yang sedang bergejolak dan berkelahi di hatinya. Mulutnya terus menguap dan mengajak otaknya untuk beristirahat. Atok tetap melawan dan akhirnya dia beranjak dari kasur gelap itu. Duduk di pinggiran kasur dan menikmati kesunyian malam.
Jenuh. Lelah.

Semangat yang dia miliki ketika awal bekerja seakan hilang seiring deburan ombak yang dihembus oleh angin laut. Dua bulan lamanya dia mendekam di bangunan tersebut tanpa dapat berkomunikasi sebebas-bebasnya dengan teman-temannya. Walaupun dia akui penghidupannya dapat berjalan dengan lancar dan tak kurang materi lagi. Dia ingin pindah. Mengulang kegiatan-kegiatan seperti saat dia kuliah. Berinteraksi dengan teman-teman dan masyarakat sekitarnya. Dia ingin keluar dari kungkungan pekerjaannya saat ini. Rasa bergejolak disanubarinya untuk bebas, tidak menjadi sekrup-sekrup perusahaan di tempat dia bekerja. Ditambah lagi, negara lain yang memegang kendali  perusahaan di laut Indonesia itu. Persaingan kerja yang sangat ketat, menjadikan dirinya sedikit egois. Saling menjatuhkan satu sama lain untuk mendapatkan tempat terbaik di kilang minyak itu. Sekali lagi, jenuh.

Atok melihat kalender di atas mejanya. Kontrak kerjanya berakhir pada Juni 2022. Dia tidak tahu apakah waktu itu tinggal lima bulan atau masih lima bulan lagi sampai kontraknya habis. Saat ini, dia tidak memikirkan untuk terus bekerja di sana. Memperpanjang masa kerjanya hingga satu atau dua tahun ke depan adalah pilihan yang sulit. Kalau tidak terus bekerja, mau tak mau dia harus mencari tempat kerja yang baru. Atau dia akan terus bekerja di tengah belenggu perusahaan.

Sebaiknya aku pulang dulu. Mengumpulkan semangat dengan bertemu keluarga tercinta. Atau, aku 
beruntung dapat bertemu teman-teman lama lagi.

Malam itu semakin larut dan Atok masih terduduk di pinggir kasurnya. Antara jenuh dan stress adalah keadaan yang sedang dia rasakan. Kerinduan yang dalam akan keluarga dan sahabat-sahabatnya semakin membuat dia harus cepat-cepat keluar dari rutinitas kerja yang telah dia lakukan empat tahun terakhir.

Aku ingin pulang. Entah sekarang kalian berada dimana, keadaan yang dulu sering kalian hadirkan akan membakar semangat ku lagi.

Atok tertunduk lemas. Dilihatnya, sepatu masih terpasang di kaki. Dia bahkan lupa melepaskan safety shoes-nya karena kelelahan yang amat dia rasakan. Dengan malas dia melepaskan simpul-simpul tali sepatu kuning itu. Lima menit kemudian, suasana dingin telah membawa Atok dan ruhnya mengembara ke mimpi-mimpi.

Pagi itu

Atok berjalan menuju engineering room
“Nah, ini. Lukito, ditunggu pak Wahid di dekat pintu emergency”, kata Rian, rekan kerja Atok.
Oh, thank you friend”, jawab Atok ceria. Entah mimpi apa yang telah membuat Atok secerah itu. Bertolak belakang dengan apa yang dia rasakan malam tadi.
Atok menuju pintu emergency. Pintu itu langsung menghadap ke lautan luas. Sangat romantis jika sunset dan sangat indah jika waktu sunrise. Dilihatnya pak Wahid berdiri sambil menggenggam besi pembatas kilang.

“Mencari saya pak?”
“Lukito, bisa bicara sebentar?”, pak Wahid berbicara serius.
“Oh, tentu pak. Ada apa ya pak?”
“Aku tidak tahu apakah ini kabar baik atau kabar buruk untukmu. Pimpinan pusat menginginkan dua teknisi terbaik dari sini. Dan pimpinan menyuruh saya untuk mencari dua orang itu. Kamu salah satu orang itu, Lukito”.
Atok tertarik dengan penjelasan pak Wahid.
“Kenapa saya pak? Dan untuk apa dua orang itu?”
“Kamu dan Novri, akan dipindahkan ke lokasi kilang minyak di laut sebelah timur Brazil. Disana baru ditemukan ladang minyak dua minggu yang lalu. Pimpinan pusat menginginkan teknisi terbaik untuk melaksanakan proyek itu. Saya memilih kamu dan Novri karena kalian yang terbaik disini”.

Atok sedikit tertegun dengan berita dari pak Wahid. Antara mengiyakan atau menolak, Atok perlu waktu untuk berpikir.

“Proyek itu kapan dimulainya pak?”
“Agustus nanti. Ada sedikit kendala terkait perizinan dari pemerintah Brazil. Tapi, tentu proyek itu akan berjalan. Mulai dari minggu depan, kamu dan Novri telah bisa pulang dari sini untuk mempersiapkan segala yang berkaitan dengan itu. Passport, visa dan semuanya sudah harus diurus. Kalian akan bergabung dengan teknisi dari kilang-kilang minyak yang lain. Kamu bersedia?”
Atok senang mendengar bahwa dia bisa pulang minggu depan. Kebingungan apakah menerima atau menolak telah hilang. Dia sudah tahu apa yang harus dia jawab.
“Saya bersedia pak. Tapi, bagaimana dengan bidang yang saya tinggalkan disini pak?”
“Oh, soal itu. tenang saja. Dalam dua hari ini, ada teknisi baru yang akan datang. Tentu akan mengisi bidang yang sedang kosong. Sudahlah, cepat-cepatlah pergi dari sini, aku juga sudah bosan melihat wajahmu Lukito”, kata pak Wahid bercanda.
“Hahaha. Terima kasih pak”.

Secercah harapan untuk mengisi kembali semangat dan bertemu orang-orang yang Atok cintai berada di depan mata. Keluarga, dan jika beruntung, dia dapat bertemu sahabat-sahabatnya.
---

4 Januari 2022, 10.00
Mushola Al-Iman, Departemen Perindustrian, Palembang

Seseorang tengah khusuk melaksanakan shalat Dhuha di mushola itu. Badannya yang tinggi semampai, dan agak berisi. Dibalut t-shirt kecoklatan, pria itu sangat menikmati ibadah rutinnya itu. satu rakaat, dua rakaat diselesaikan dengan tuma’ninah. Akhirnya dia mengakhirinya dengan salam. Lama dia tertunduk di atas sajadah itu. Berzikir dan bersyukur dengan kehidupan indah yang telah Allah berikan kepadanya. Kehidupannya yang sulit diwaktu sekolah, dan sedikit demi sedikit terlepas dari beban finansial karena dia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah untuk kuliah di Yogyakarta. Dia merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Terlebih saat ini dia adalah salah satu orang penting di kantornya, departemen perindustrian Palembang. Dia kerapkali ditunjuk untuk mengikuti kunjungan industri ke negara-negara tetangga, Malaysia, Singapura, bahkan Taiwan sudah pernah ia kunjungi. Sekembalinya dari negara-negara tersebut, dia selalu membagi pengalamannya kepada penggiat industri masyarakat di banyak pedesaan di Sumatera Selatan. Dia berpikir bahwa masyarakatlah penopang ekonomi negara.

Tahun 2018 adalah tahun yang sangat berarti bagi Jeni. Proposal penelitiannya diterima di salah satu pertemuan internasional di Jerman. Saat itu dia adalah satu dari lima peneliti Indonesia yang di hadir di pertemuan ilmiah itu. Kesempatan besar bagi Jeni untuk mengembangkan pengetahuannya dan menambah pengalamannya. Tiga bulan lamanya Jeni berada di negeri Hitler dengan modal bahasa Inggris yang memadai dan sedikit mengerti bahasa Jerman. Saat kembali ke Indonesia, dia tak menyangka jika pekerjaan baru menantinya. Pekerjaan di masyarakat telah menunggunya untuk menerima ilmu yang ia terima di berbagai tempat. Meski dia lebih banyak bekerja dibalik layar, riset-risetnya selalu berhasil menumbuhkan industri kecil dan menengah di masyarakat.

Dan sekarang, dia telah kembali dengan sebuah kesederhanaan.

Setelan yang sederhana dengan kain melingkar di lehernya, Jeni duduk-duduk di serambi mushola itu. hari minggu pagi biasa ia habiskan di mushola kantor untuk sekedar membaca buku atau menikmati wi-fi kantornya. Minggu itu dia duduk bersama laptopnya. Dia memeriksa hardisk yang berkapasitas 500 terabyte. Di monitornya terpampang ratusan folder berbahasa Inggris dan Indonesia. Hanya dia yang mengetahui isi setiap folder itu. Dia lupa bahwa ada satu folder luar biasa yang terselip diantara folder-folder ilmiah. Hanya satu dan itu cukup untuk mengulang kisah-kisahnya dengan seorang temannya saat SMA.

Pagi itu, pekerjaan memaksanya untuk kembali mencari file-file di tahun pertama dia bekerja di kantor. Tidak sulit baginya untuk mencari file-file itu. hanya perlu menyortir sesuai tanggal. Tangannya lincah menyentuh layar laptop itu. Date modified..... Click.... otomatis, data dari awal dia bekerja dengan laptop itu, sampai saat ini tersusun rapi sesuai tanggal. Baisan pertama bukan file yang dia cari, tapi folder bernamakan “SMA”. Tanpa basa-basi, double click dari telunjuknya menggetarkan layar laptop. Berjejer folder “video”, “rekaman”, “foto-foto”. Double click lagi untuk “video” . sepuluhan video terpampang di layar. Dipilihnya salah satu video. Waiting.... Dan, Jeni terkejut. Wajah teman sekamarnya yang sedang tertawa muncul di video itu.

Tulus. Jeni terus menikmati video itu seraya tersenyum.

Syaraf otaknya berpikir. Dia harus mencari Tulus. Tergesa-gesa dia membuka aplikasi web browser. Facebook, jejaring sosial yang tenar di tahun 12an langsung dia ‘lahap’. Tulus Angkumiharja. Tanpa H. Dia masih teringat hal sepele itu. benar saja, Tulus terpampang di depan wajahnya sekarang. teknologi telah mengubah tata cara berkomunikasi. Alamat email bisa menjadi nomor telephone. Dan tentu, Jeni mencatat alamat email Tulus dari info facebooknya.

“Ikak iye”, gumam Jeni.

Dengan cepat Jeni mengetik alamat email itu di smartphonenya. Calling.... Please wait...
“Hallo, Assalamualaikum”, Sapa Jeni
“Waalaikumsalam. Dengan Tulus Angkumiharja”, terdengar suara dari smartphone itu.
“Oy coh beno berarti. Namek kabar coh?”, seru Jeni ceria.
“.............”

Dengan ketidaksengajaan, akhirnya Jeni membuat satu kisah lamanya kembali terulang. Salah satu sahabatnya, Tulus sedang dalam radar otaknya. Hanya Tulus yang dia ingat. Memang biadab. Apakah dia tak ingat ada mereka yang sedang menunggu Jeni. Mereka yang ...... ah sudahlah. Jeni tidak mengingat itu. Semoga dengan pertemuannya dengan Tulus, Jeni akan kembali teringat dengan Aries, Atok, Catur, Egyd, Galih, Reno, Pije, Yan, dan aku.

---

4 Januari 2022 10.00
Sebuah aula sederhana, pedalaman NTB

Dari jauh terlihat sekelompok orang dewasa berkulit hitam duduk melingkar di aula sederhana beratap rumbia itu. Rambut mereka yang khas menandakan mereka adalah masyarakat daerah bagian timur Indonesia. Di tengah-tengah mereka terdapat beberapa penganan khas daerah tersebut.. Di salah satu sisi, ada dua orang yang berbeda. Dua orang berkulit kuning langsat duduk berdampingan dengan beberapa orang hitam berkumis tebal.

Nembrala. Begitu nama desa itu. Desa terpencil dan terisolir yang terletak di pulau paling selatan Indonesia, pulau Rote. Kedatangan dua orang berbeda itu telah membawa senyum dan tawa dari warga Nembrala. Tiga tahun terakhir, mereka bisa mencukupi kebutuhan pangan dan tempat tinggal yang layak. Sebelumnya, air bersih yang sulit didapat, kebutuhan makanan yang sulit terpenuhi, tempat tinggal yang tak layak huni adalah pemandangan sehari-hari daerah tersebut. Namun, dua orang yang tengah duduk diantara penduduk Nembrala adalah jalan keluar dari masalah yang mereka telah hadapi bertahun-tahun. Dua orang sarjana pertanian suatu perguruan tinggi negeri di Palembang telah membawa perubahan berarti kepada penduduk Nembrala. Ilmu universitas telah mereka terapkan dengan sangat baik di kehidupan nyata. Dan salah satu sarjana tersebut bernama Tulus Angkumiharja.

“Saya mewakili seluruh penduduk desa Nembrala, mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Tulus dan Pak Asri, karena bersedia datang ke sini, karena telah mengubah kehidupan desa kami menjadi sejahtera seperti yang bisa kami rasakan, karena telah membantu kami dalam mengupayakan kehidupan yang lebih layak. Tanpa kedatangan Bapak ke desa kami, akan sulit bagi kami untuk bisa merasakan hidup seperti ini. Sekali lagi terima kasih Pak”, kata seorang bapak dengan logat daerah Nembrala yang khas.

“Iya Pak, anak-anak kami bisa minum air bersih sekarang. Dulu Pak, kami disini sangat sulit dengan air bersih. Juga pak, beras disini, sulit Pak. Tapi sekarang, karena bapak berdua, kami bisa makan beras dengan mudah. Terima kasih Pak,” tambah bapak bertopi.
“Tanpa kerjasama kita semua, rencana kita sangat sulit untuk dilakukan Pak. Jadi, ini berkat kita semua Pak. Tidak ada pihak yang lebih berperan, tapi kita semua yang berperan di pembangunan desa ini”, kata Tulus lugas seraya tersenyum.
“Pak Tulus, dialog terakhir ini agak dipercepat ya Pak. Kita sudah ditunggu pihak kantor pusat”, bisik Asri, asisten Tulus.

Tulus hanya mengangguk.

“Bapak-bapak sekalian, semoga kerjasama diantara kita tidak terputus sampai disini. Saya serta Pak Asri meminta maaf apabila selama kami berada di desa Nembrala, banyak melakukan kesalahan. Kata-kata kami yang kurang berkenan, kami mohon maaf ya Pak. Semoga desa Nembrala terus maju dan kesejahteraannya terus meningkat. Kami percaya bapak-bapak akan terus berupaya memberikan yang terbaik untuk kehidupan desa. Waktu tugas kami telah berakhir di bulan ini. Sekali lagi kami mohon maaf Pak dan terima kasih telah menerima kami selama tiga tahun ini,” kata Tulus berwibawa seraya berdiri. Setelah itu Tulus menyalami semua orang di aula tersebut. Langkah kakinya diiringi oleh Asri.

Semua warga Nembrala terlihat sedih di acara dialog perpisahan itu.

“Pak, ini ada oleh-oleh dari warga Nembrala,” seorang bapak memberikan dua buah semangka besar di dalam karung putih.
“Oh, Iya Pak. Terima kasih”.

Tulus berjalan beriringan dengan Asri diiringi tatapan sedih warga Nembrala. Dedikasi tinggi yang telah dilakukan Tulus berbuah manis dengan terwujudnya kesejahteraan desa Nembrala. Semua warga Nembrala sangat merasakan kebahagiaan akan kemudahan pangan dan papan dari buah karya Tulus.

Tulus membuka pintu mobil seraya melemparkan senyuman ke warga Nembrala. Tulus merasa bahagia karena dengan ilmunya, dia telah menghadirkan secercah senyuman di wajah warga Nembrala dan seuntai tawa dari anak-anak desa itu.

Sopir mengubah persneling mobil dan lima detik kemudian, mobil silver itu telah melaju lambat. Beberapa anak berlarian mengikuti jejak ban mobil tersebut. Terdengar jelas di telinga Tulus suara anak-anak tersebut, terima kasih pak, terima kasih pak!

Di dalam mobil.

“Doktor Tulus Angkumiharja. Memang dak nian sia-sia Pak, Bapak sekola jau-jau ke Taiwan situ. Hahaha”, Asri membuka obrolan di mobil itu dengan sebuah candaan.
“Alhamdulillah Sri. Kitek pacak mendedikasikan diri untuk bangsa kitek Pak. Kalu bukan bantuan nga kak, pasti susah Sri”, balas Tulus dengan bahasa Sekayu.
“Tapi Pak Tulus yang banyak beperan di sikak. Sukses yek Pak”.
“Cak itulah Sri. Pacak begunek di masyarakat tu senang nian. Tapi jangan muat kitek sombong itulah. Pacak lah urang luo nilai ke kitek. Mun pacak, kitek pacak muat usaha yang lebih baik dari ikak”.
“Ao Pak. Ade rencana nak ngusul proposal pembangunan daerah tertinggal lagi ape pak?”
“Dem, istirahat dulu. Kagek mun ade rencana itu pasti ku calling nga lagi. Dem ikak ngulang ke kantor di Palembang dulu”.

Mobil melaju agak kencang melewati jalan kering berdebu membelah pulau Rote. Perjalanan selama enam jam dan berakhir di sebuah pelabuhan kecil. Di satu sudut pelabuhan, terdapat satu kapal agak besar, cukup untuk menampung lima mobil. Mobil silver berplat merah berisikan Tulus, Asri dan seorang sopir masuk ke kapal bertuliskan Menggala itu. setengah jam berlayar, smartphone Tulus berkedip-kedip.

Beep beep beep, smartphone itu bernyanyi berkali-kali.

“Halo, Assalamualaikum”, terdengar suara dari smartphone itu.
“Waalaikumsalam. Dengan Tulus Angkumiharja”, jawab Tulus singkat.
“Oy coh, beno berarti. Namek kabar coh?”
“.................”.

Dan kapal itu terus membelah selat Rote.

---

4 Januari 2022, 22.00
Putussibau, Kalimantan Barat

Pria dengan tubuh berotot dan betis yang besar itu adalah Catur Akbar Tanjung. Dia merupakan lulusan sekolah advokasi di Palembang di bidang teknik kimia. Sangat cocok dengan pekerjaan menantang yang sedang dia lakukan, eksplorasi uranium. Pekerjaan yang benar-benar membutuhkan pemahaman dan pengalaman memadai itu sudah dia lakoni sejak 2018, dua tahun setelah ia lulus. Dia bersama timnya yang dikepalai seorang profesor kimia dari Jepang telah bertahun-tahun keluar masuk hutan belantara Kalimantan untuk menggali potensi uranium di tanah Borneo itu. sudah puluhan kali dia berpindah tempat dan tinggal di rumah-rumah darurat di tengah hutan rimba, dari kaki pegunungan Schwaner hingga pegunungan Muller. Seringkali mereka harus berurusan dengan suku pedalaman Kalimantan dan harus meminta izin ke kepala suku mereka. sempat seseorang dari tim eksplorasi terluka karena terkena panah di tangannya. Itu terjadi di dekat desa Mangamuntatai, di kaki pegunungan Muller. Pun sampai Maret 2022, eksplorasi itu belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Tim eksplorasi itu sedang menginap di rumah kepala desa di dekat Putussibau. Profesor dan rekan Catur yang lain telah terlelap sedari sore. Seperti enggan menghabiskan malam, Catur duduk di teras rumah kepala desa. Walaupun dia ditemani kira-kira sepuluh orang penduduk lokal, Catur tetap duduk menyendiri. Dia tidak mengetahui bahasa daerah tersebut. Penginapan saat itu adalah penginapan terbaik dari seluruh penginapan yang pernah disambangi Catur dan timnya. Penginapan itu membuat dia bisa bernapas bebas dan tidur tanpa ketakutan akan hewan liar dan cuaca dingin yang ekstrem. Dia tidak mendengar auman harimau dan suara-suara jangkrik yang biasa muncul ketika mereka sedang mendekam saat tengah malam di  kegelapan hutan. Juga burung-burung yang membawa kengerian tak muncul malam itu. malam yang istimewa. Catur tak mengetahui sampai kapan mereka akan berada di hutan Kalimantan.

Alat komunikasi yang sangat minim, membuat dia dan rekan-rekannya tak bisa menghubungi keluarga mereka. Catur tak mengetahui apa yang dirasakan keluarganya ‘sepeninggalan’ Catur ke Kalimantan. Juga Catur tak tahu kabar keluarganya. Alat komunikasi mereka hanya sebuah walkie talkie modern yang cuma bisa menghubungi perusahaan pusat. Terlihat Catur sedang memainkan  alat produksi Jepang itu. Andai saja dia seorang pesulap, alat itu akan diubah menjadi handphone. Untuk melepas kerinduan, melepaskan kekhawatiran akan keluarganya, ayah dan ibunya yang ada di Sekayu. Catur belum memiliki tanggungan apa-apa selain ayah dan ibunya. Catur masih sendiri.

Catur memutar pandangannya ke sebagian sudut rumah itu. Dia bingung mendeskripsikan bentuk rumah yang sedang ia tempati. Ribuan kayu tipis berjejer membentuk dinding rumah dengan tidak ada sekat antara satu ruang dengan ruangan lain. Hanya seperti barak pengungsian, tapi rumah itulah rumah terbaik di desa tersebut. Di beberapa ruas dinding, terdapat bermacam-macam motif yang dipahat melingkar-lingkar membuat suasana rumah itu sedikit lebih indah. Catur masih mengamati rumah itu. Hanya empat jendela. Ia akui suasana di rumah itu sejuk. Bukan dingin menusuk tulang seperti yang biasa dia rasakan. Dia ingat, pertama kali dia datang ke pekarangan rumah itu, tiang-tiang kurus tapi kuat menopang papan-papan pembaringan. Sama seperti tiang-tiang rumah di daerah asalnya, Sekayu. Dia ingat. Berjejer rumah serupa di pinggiran sungai Musi, menyejajarkan dengan aliran airnya, dan mengikuti jalan Merdeka sampai ke pertigaan tugu adipura. Dia tidak yakin jika keadaan itu tidak berubah. Pasti berubah. Lingkungan, keadaan,rumah-rumah, dan raut muka orang tuanya juga pasti berubah. Seiring dengan waktu, dan tak ada tatapan mata dari Catur. Dan juga dari orangtuanya. Catur jadi melankolis akibat suasana rumah itu. Tiang-tiang itu mengantarkan ingatannya jauh dari pedalaman Kalimantan, menyeberangi laut dan sampai ke rumahnya, di Sekayu. Orangtuanya dan Sekayu.

“Kapan pekerjaanku ini berakhir?”, hati Catur mengeluh. Tepatnya,  semangat untuk terus bertahan sudah luntur. Seminggupun cukup baginya untuk melepaskan hawa rindu ke orangtuanya. Bukan orang lain, bukan siapa-siapa, tapi orang yang telah membesarkannya. Tubuh kekar dengan otot-otot tangan yang menonjol hendak keluar dari dagingnya itu, luluh dan berubah dramatis. Hanya satu yang bisa dia lakukan untuk menghubungkan dirinya dengan batin orangtuanya. Doa. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Dia percaya doa orangtuanya telah menguatkan hati dan tubuhnya di hutan belantara itu. Catur berharap, kerinduan yang amat sangat tidak membuat tubuhnya kurus dan sakit-sakitan.

Catur menggeser tubuhnya dan mengambil dompet yang tertindih. Dibukanya dan diambilnya foto dua orang itu. Foto orangtuanya.

Kata-kata kerinduan meluncur dari hatinya namun hanya dia yang mampu mendengar dan merasakan itu.

“Buk Yah. Doa ke aku spyo pacak cepat balek.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, tapi tidak dengan apa yang dia rasakan. Jauh lebih kompleks dari beberapa kata yang dia ucapkan.

Takdir yang mampu mengubah keadaan Catur. Dan dia berharap, takdir itu akan mengantarkannya ke Sekayu, dengan membawa segala kerinduan yang telah menggunung. Dia mempercayai itu.

---

Kesebelas orang ini, termasuk aku, tidak mengetahui apa yang akan terjadi. tentang pertemuan, tentang keajaiban, yang akan mempertemukan aku dan mereka. Keajaiban itu akan terjadi, pasti.....

to be continued to Korelatif 2 Part 2...
tentang pertemuan

Komentar

  1. maafkanlah atas kbiadabanku... Oh ya, bwat tmanku Rio tenang aku pasti kmbali lgi kekota ini untk melepas krinduan dgn suasanany dan untuk mengunjungimu srta risetmu akan nuclear for peace...

    BalasHapus

Posting Komentar

There's Any Comment Guys?

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)