Burjo dan Motivator Jalanan

Siang itu mendung menggantung tatkala aku keluar dari kampusku. Waktu itu Ashar belum tiba. Sekitar lima belas menit lagi azan dari masjid kampus berkumandang dan memanggil umat-Nya untuk hadir dalam peribadatan itu. kira-kira sepuluh pegawai Batan dan sekelompok mahasiswa tingkat akhir berseragam biru muda telah membasahi beberapa sudut bagian tubuh mereka dengan wudhu dan selebihnya telah duduk-duduk di dalam masjid. Perutku juga tak kalah heboh waktu itu, ikut berkumandang meminta makan. Aku baru ingat bahwa perut ku baru diisi dengan nasi telur delapan jam yang lalu. Semakin lapar karena hari itu aku dijejali dua ujian praktek UAS. Alhamdulillah untuk praktek yang terakhir aku mendapat nilai tinggi karena aku keluar sebelum pukul 14.30. Dosen tadi mensyaratkan bahwa kalau sudah menyelesaikan ujian praktek dengan benar sebelumpukul 14.30, nilainya akan seratus. Alhamdulillah.

Perut memang tak bisa diajak kompromi. Tergerak hatiku untuk bergabung dengan jamaah shalat yang lain. Tapi aku mengambil keputusan untuk shalat di masjid dekat kos. Sekaligus mengisi perut yang kosong ini. Kulihat di pos jaga,
satpam telah mendahuluiku untuk memberikan senyuman dan sapaan. Berbeda dengan satpam di sekolahku dulu. Aku hanya menggelengkan kepala jika mengingat satpam sekolahku. Kuakui satpam sekolahku memang menerapkan kedisiplinan yang tinggi. Sampai-sampai tata krama pun tak diindahkan demi menegakkan kedisiplinan. Bagaimana kabar pak satpam itu. Aku tak pernah mengetahuinya lagi. Aku melangkah meninggalkan gerbang kampus seiring dengan deru pesawat kecil yang melintas di atas hotel megah samping kampus. Kulihat ada seorang bapak tua yang sedang mencabuti rumput-rumput liar disepanjang pagar samping kantor Batan. Aku pun menyapa dan tersenyum kebapak tua itu. Senyuman itu ajaib. Tentang senyuman, aku iyakan jika senyuman bisa mengubah tampilan wajah seseorang seratus delapan puluh derajat. Teringat ketika aku duduk-duduk di bawah jembatan Ampera, dan dari kejauhan aku melihat seorang pengamen berwajah sangar. Entah kenapa waktu itu aku ingin sekali memetik gitar yang sedang pengamen itu mainkan. Saat pengamen itu mendekatiku, aku memanggilnya dan meminta untuk meminjam gitarnya. Dia tersenyum kepadaku. Wajah sangarnya hilang dan berganti dengan wajah ramah. Hal itupun sama dengan bapak tua yang aku temui ini. Tebersit wajah ramah dibalik topi besarnya itu. Aku berlalu meninggalkan bapak tua yang sibuk dengan clurit dan sapunya. Tak lama kemudian aku kembali membalikkan tubuhku, meneropong kampus kecilku yang ditemani sebuah menara agak tinggi. Aku sempat mengajak seorang temanku untuk menaiki menara tua tersebut. Namun ia tidak mau menuruti usulanku. Aku menyetujui jika ada yang berbicara bahwa kampusku kecil. Ya memang kecil. Kampusku ‘hanya’ mempunyai dua jurusan dan tiga prodi. Sugesti baik muncul dibenakku. Tak apa kampusku kecil, asal jiwa dan semangatku tak ikut menjadi kerdil. Tuk apa kampus besar, jika mimpi tak juga besar. Ya begitulah.

Aku terus berjalan menyusuri keramaian jalan Babarsari. Kulihat beberapa pengendara motor telah memasangkan mantel hujan ke sekujur tubuhnya. Memang arak-arakan mendung telah tiba diatas kawasan itu. Aku berhenti didepan sebuah toko buku. Tiap pagi aku memang berhenti di tempat tersebut untuk melihat awan-awan putih tipis menyelimuti  Merapi. Kalau kata orang Jawa, apik tenan. Jika waktu itu tidak mendung, pastilah pucuk Merapi telah terlihat dari tempat ku berdiri. Tapi sayangnya, mendung memenangi pertarungannya dengan angin. Yang tampak hanyalah awan hitam jelmaan air laut. Aku bergegas pulang karena rintik-rintik hujan telah turun dan perutku semakin kosong. Aku sudah lupa tentang niatku untuk shalat Ashar setiba di kos.

Aku lapar dan aku ingin makan. Aku tengah duduk disebuah burjo (semacam warteg tapi menyediakan makanan-makanan ringan, seperti nasi goreng, magelangan, mie goreng, dsb). Belum beberapa menit aku duduk diburjo itu, seseorang pria paruh baya yang tak asing bagiku memasuki burjo itu. Yang aku tahu tentang orang tersebut adalah ia seorang penjual koran. Tak asing bagiku karena orang tersebut sering duduk diburjo tersebut. Kulihat dia memakai baju batik dan topi hitam. Ada tulisan berwarna kuning di topinya. Jahitan benang kuning itu membentuk kata MI. Dibawahnya tertera Motivator Indonesia. Aku cuma menganggapnya sebagai topi biasa. Dia duduk di depanku. Dia melihatku seraya tersenyum. Aku ingin tertawa melihat kumisnya yang panjang, seperti kumis pak Raden.

Dari itulah obrolan tersebut dimulai.

“Ah, Indonesia sekarang sudah mau hancur. Sudah banyak yang merusak. Ibaratnya, seribu orang jahat dan satu orang baik. Kalau pemimpinnya ada pulung, pasti dia bisa mengangkat bangsa ini. Tapi sekarang, pemimpin Indonesia tidak punya pulung”. Orang itu menyerocos di hadapanku menanggapi bencana-bencana alam di Indonesia yang disiarkan di acara televisi itu. Aku bingung dengan kata pulung yang dia ucapkan.

“Aku punya banyak teman mas di STIKS, tentunya teman cewek. Sekarang mereka sudah tamat. Mungkin sudah menjadi dokter”, tanpa basa-basi dia berbicara ke arahku. Dia mengira aku kuliah di STIKS karena melihat seragam yang aku pakai. Baru kali ini aku mendengar tamatan STIKS bisa jadi dokter.

“Maaf mas, aku gak kuliah di STIKS, aku kuliah di STTN”, jawabku.

“STTN?”, jawabnya meragukan keberadaan kampusku. Aku tidak ingat ini kali berapa orang meragukan keberadaan kampusku.

“Iya mas, STTN. Batan Batan”.

“Oh, Batan. Yang kampusnya disana?” serunya sambil menunjuk ke arah kantor Batan.

“Iya mas”, jawabku singkat.

Aku tidak mengira nada bicaranya seceria itu. Tidak seperti orang separuh baya. Tapi seperti pemuda dua puluhan. Aku mencoba menebak bahwa umurnya telah mencapai empat puluh tahun.
Dia mulai berbicara lagi sambil memandangi langit-langit burjo. Seakan mengingat-ingat suatu kejadian yang telah dia alami. Tebersit dari wajahnya.

“Mas, mas bersyukur bisa sekolah. Mas punya memori. Mas punya otak yang cerdas, misalnya. Orangtua mas mampu membiayai mas sekolah. Orangtua mas punya materi. Mas harus semangat dan sungguh-sungguh sekolah”.

Aku terkejut dengan omongan orang itu. Aku lagi-lagi tak mengira dia berbicara seperti itu.

“Dulu mas, meskipun saya ada memori, ada otak cerdas, kalau tak ada ini, tak bisa sekolah”, dia menjentikkan jarinya ketika mengucapkan kata ini. Aku hanya mendengarnya.

“Sekarang itu, memori tak perlu. Yang perlu itu ini mas”. Lagi-lagi dia menjetikkan jari-jarinya. “Kalau ada ini, meski tak punya memori, tak punya otak, bisa sekolah”.

“Dulu orangtua saya tak bisa biayai sekolah saya mas, jadi gini keadaan saya sekarang. Semua hal sudah saya lakuin mas. Jual koran, jual kain, jual roti. Wahhh, pokoknya sudah banyak mas. Aku pernah ikut seorang manajer perusahaan mas. Perusahaan Abaro. Tau gak mas?”

“Tau mas, perusahaan tambang itu”, jawabku.

“Iya mas, setelah itu saya ikut seorang kolonel. Kolonel angkatan darat. Mas, kalau gak punya apa-apa, kita harus bisa bersosisasali”.

“Bersosialisasi mas”, sambarku.

“Nah, itu. Apa? Bersosialisasi. Bersosialisasi dengan masyarakat”, katanya sambil mengeja dan tertawa.

“Saya belajar secara langsung mas, belajar dengan alam. Ya belajar dengan berhadapan langsung. Jual koran sudah, jual kain sudah, jual roti sudah. Tapi gagal terus mas. tapi kita jangan menyerah mas. Terus berusaha. Terus semangat. Yang paling sukses itu jual roti mas. karena jual roti saya bisa renovasi rumah”, katanya penuh semangat.

Air mukaku berubah ikut ceria dengan obrolan ringan itu.

“Orang tua sudah membiayai, mas harus sungguh-sungguh belajar. Belajar dengan semangat. Kalau sudah jadi pegawai bank kan enak mas. Mas itu kalau sudah tamat jadi apa mas?”

“Calon pilot mas, hahaha”, celetuk abang pemilik burjo.

“Haha, bukan mas, jadi teknisi”. Jawabku

“Teknisi itu apa mas?”

“Bekerja di pembangkitan listrik mas”, jawabku singkat. Aku bingung menjelaskan jurusanku karena takut menambahkan hal-hal asing yang tidak dia ketahui.

“Nah, pokoknya gitu ya mas. Mas, kita itu harus punya cita-cita, punya mimpi. Kalau kita belajar tapi tidak ada mimpi, ya hilang sudah. Sebenarnya aku ada mimpi mas. Mimpi yang besar. Tapi mimpi itu hilang karena saya tak punya ini mas”, lagi-lagi dia menjentikkan jarinya ketika mengatakan kata ini. Aku paham itu. 

“Memori ada tapi tidak ada ini, ya hilang juga”. Aku hanya mengangguk.

“Belajar itu sungguh-sungguh mas. Semangat. Fokus”, dia mengulangi kata-kata itu.

“Mas, kalau mau melihat saya, cari di Youtube, namanya ****** Konser. Ada saya di sana mas. ini kartu nama saya mas”, dia memberikan secarik kertas bertuliskan namanya dan profesinya sekarang, tukang pijat. 

Diapun berlalu meninggalkanku dan sepiring nasi telor kuah pesananku.

Tukang pijat yang berbeda, benakku berbicara. Kira-kira, hal besar apa yang dia impikan. Mungkin ingin menjadi pemimpin Indonesia yang punya pulung, jadi bisa mengangkat bangsa Indonesia.

Benar juga ternyata. Benang kuning di topinya yang membentuk kata Motivator Indonesia itu benar. Dia seorang Motivator. Aku beruntung mendapat motivasi sedikit dari motivator jalanan itu, motivator yang berprofesi sebagai tukang pijat.

Akupun langsung menyantap hidangan sederhana didepanku, sambil melihat keadaan Jakarta digenangi air. Tak lama kemudian, aku berlalu dan kembali ke niatku, shalat Ashar.


Kisah Nyata
Disadur dari narasumber
RIO ISMAN

Komentar

  1. Tidak ada harga yang pas untuk membeli mimpi,. dan terbentuknya orang hebat tak hanya dari mimpi,tapi dari dorongan semangat,dan ketulusan orang-orang luar biasa yang dikirimkan Allah untuk meneguhkannya mewujudkan impian..
    Coretan tangan yang ringan,tapi mampu membuatku tersenyum dan berfkir sejenak.. :) thanks for tag me.. DS

    BalasHapus

Posting Komentar

There's Any Comment Guys?

Postingan populer dari blog ini

Air Adalah Hidup Sederhana

Cahaya Kecil

Korelatif 2 (Part 2)