Negeri Khayalan 3
Sementara
itu di pengadilan kelurahan.
Pak
Wasit dan Pak Penanggungjawab masih berseberangan meja. Juga berseberangan
pemikiran. Upaya-upaya perdamaian belum mencapai titik terang. Pak Pengacara
pembela pak Penanggungjawab dan pak Keamanan. Pak Keamanan belum datang ke
lokasi.
“Saya
mau minta ganti rugi. Lihatlah, tubuh saya hampir punah dihajar para pemain tak
berpengetahuan tentang offside itu. Minimal bayarkan tagihan rumah sakit
nanti.”
“Hahaha.
Enak saja Anda, Pak Wasit. Surat ini buktinya. Bukti bahwa Anda siap menghadapi
segala kemungkinan. Tanda tangan Anda jelas tercetak di kertas ini. Ini nah. Lihatlah
sendiri.”
“Bahh.
Anda baca lampiran-lampiran dibelakangnya. Coba baca keras-keras salah satu
poinnya. Yang untuk kewajiban Penanggungjawab pertandingan itu. Disana tertera
kurang lebih, ’Penanggungjawab bertanggungjawab penuh atas kejadian yang tidak
diinginkan selama turnamen berlangsung’. Nah, kalimat pertamanya saja sudah sangat-sangat
jelas. Anda harus bertanggungjawab atas peristiwa pengeroyokan ini. Ya tidak
usah jauh-jauh sampai mengadili pemain. Hanya membayar tagihan rumah sakit
sudah cukup bagiku.”
Pak
Pelatih memasuki ruang pengadilan Kelurahan.
“Pak
Wasit. Apa maksud Anda mengatakan bahwa saya harus bertanggungjawab atas
pengeroyokan tadi?”
“Lah
iyah Pak Pelatih. Jelas-jelas tadi posisi pemain Anda dalam keadaan offside.
Mereka tiba-tiba memprotes bahwa itu onside. Penonton saja banyak yang
berbicara senada dengan saya. Memangnya mereka belum dapat pelajaran
ke-offside-an?”
“Wah.
Ini namanya Anda telah bertindak kriminal. Telah mencemari nama baik saya
sebagai Pelatih Sepakbola Kelurahan. Anda telah melanggar Undang-Undang
Kelurahan tentang Pencemaran Nama Baik, Pak Wasit.”
“Ini
juga. Datang terakhir kali, tapi langsung memvonis saya bersalah. Jangan-jangan
kalian telah bersekongkol untuk menjatuhkan saya sebagai wasit terbaik
Kelurahan.”
Dan
sekarang, lawan politik pak Wasit bertambah satu, pak Pelatih.
Kejadian
di ruang pengadilan semakin runyam. Semakin seperti benang kusut dipuntal
dengan rerambutan panjang. Tak ada yang mau mengalah. Tak ada yang berpikir
jernih diluar undang-undang. Tidak ada yang mau memulai bermusyawarah dengan
pikiran cemerlang. Kedua belah pihak yang bersengketa saling unjuk birokrasi.
Undang-undang pertanggungjawaban-lah, undang-undang tentang pencemaran nama
baik-lah. Semua lempar tanggungjawab. Semua pasal undang-undang ditandingkan.
Semua dipertunjukkan untuk membenarkan diri sendiri. Bahkan, bisa jadi
undang-undang tersebut menyalahkan pihak yang benar dan membenarkan pihak yang
salah.
Pak
Keamanan datang dengan para bodyguardnya. Bodyguardnya besar-besar, tapi
kelihatan bodoh. Tampang idiot macam Troll.
“Ini
yang saya tunggu-tunggu dari tadi. Hai para pemilik otot yang besar-besar.
Hampir mati saya dikeroyok. Kemana kalian saat itu? Keamanan tapi tak becus
mengamankan! Makan gaji buta saja.”
“Mereka
saat itu sedang mengamankan lokasi tribun tempat Pak Camat duduk, pak Wasit.
Anda dikeroyok disudut jauh dari posisi bodyguard saat itu. Jadi, terima saja.”
“Terima
saja? Enak saja. Kenapa pula pak Camat yang harus dilindungi? Hanya karena dia
seorang Camat? Hanya karena dia berkedudukan lebih tinggi dari saya? Hanya
karena dia yang menggaji kalian dengan mahal-mahalnya? Hanya karena itu dia
lebih dilindungi? Amboi... Tak ada Camat pun pertandingan masih bisa
berlangsung. Jika tak ada saya sebagai wasit, bagaimana? Jika tak ada wasit?
Setinggi-tingginya kedudukan Camat, dipertandingan sepakbola ini dia tidak ada
artinya. Anda juga pak Keamanan, apakah Anda tidak mengkoordinir
anggota-anggota Anda ini? Sepertinya banyak pihak yang harus bertanggungjawab
atas kejadian ini!”
Pak
Keamanan, Pak Penanggungjawab, dan Pak Pelatih bertatap muka. Maksud muka
mereka adalah, “Sepertinya kita butuh Pak Camat disini. Pak Camat memiliki
kekuasaan tertinggi. Dia bisa menolong Kita. Dengan adanya Pak Camat, si Wasit
itu bisa kita diamkan. Bahkan bisa kita mintai ganti rugi karena pencemaran
nama baik. Ya. Kita harus mintai tolong dengan Pak Camat.”
Ketiga
Pak itu tahu bahwa dengan kekuasaan, mereka bisa menyumpal mulut para pembenar.
Membenarkan yang salah, dan bisa memutarbalikkan fakta. Dengan kekuasaan, semua
bisa dilakukan. Bejat jadi baik, dan baik jadi bejatpun tak apa asal diri
mereka bergelimang harta.
Sementara
itu, di tengah rapat, si Sula sedang dipelototi para setan. Sula meringkuk
dibalik kursi. Usulannya ditolak mentah-mentah oleh setan. Juga oleh (t)uhan.
Pendapatnya tentang ‘hidup apa adanya dan hidup berkecukupan’ hanya dicibir
oleh setan. Karena setan tahu, jika usulan tersebut diterima, setan tak dapat
lagi memperkaya diri.
IfYouKnowWhatIMean
Habis
Komentar
Posting Komentar
There's Any Comment Guys?