Pada Pengamen Kecil 2
Epen.... Begitulah nama anak kecil si pengamen ini.
Sempat aku memrotes kenapa namanya diubah sedemikian jauh dari nama aslinya. Ilmiansyah
Khadafi Amrulah. Seperti itulah abjad indah yang tertera diakte kelahiran,
katanya. Bagai seorang berandal pengedar narkoba atau teroris pengirim bom
buku, nama yang sebegitu indah diubah jadi Epen. Macam bunyi klakson Fuso,
pennnnn.... pennnn!!!
Di diskusi sore itu, aku berinisiatif memanggilnya
Ilmi. Agak terdengar ke-perempuan-perempuanan, tapi makna ‘ilmi’ sendiri begitu
melekat di Ilmi. Anak ini rupanya berilmu. Ya berilmu jika mau dibandingkan
dengan petualangannya sebagai seorang ksatria gitar kecil pengais rezeki di warung-warung
makan tepi jalan.
Jika dipoles sedikit, diberi penghidupan yang layak,
dibiayai sekolah di sekolah unggulan, diberi makan dan minum cukup, disuguhi
tempat tinggal yang baik, sungguh dia bisa mencapai cita-citanya sebagai
seorang petualang dunia. Hanya saja, lihatlah dia sekarang. Garis mukanya yang
keras namun berwibawa untuk ukuran anak SMP menampakkan fakta hidup yang tidak
mudah diarungi. Tapi pandanglah kalau dia tersenyum! Blesss. Tampang
menderitanya hilang. Sama seperti ketika dia menyerocos bertanya tentang
psikologi kepadaku sore ini. Tersenyum dan penuh antusias.
“Psikologi kontemporer? Itu jenis psikologi apa Mas?
Guru seni berbicara bahwa kontemporer itu artinya bebas. Apa hubungannya dengan
psikologi?” Kening Ilmi alias Epen berlipat mendengar kata psikologi
kontemporer. Benar saja, bebas. Tapi bebas saja tidak cukup untuk menjelaskan
arti psikologi kontemporer. Aku gali kembali ilmu yang aku dapat di semester 4.
Dan dapat..... Aku tak ragu menjelaskan kata yang rumit kepada Ilmi. Pasti dia
cepat mencernanya. Lihat, dia mengangguk-ngangguk mantap tatkala aku mengatakan
psikoanalisa dan sosiokultura. Pasti dia paham.
Aku mendedikasikan diri disuatu komunitas peduli
anak jalanan. Selama dua tahun aku hidup ditengah para pengamen kecil dan pemulung
kecil, aku tak pernah menemukan anak secerdas Ilmi. Bahkan, kami para mentor
pening berkusut-kusutan menjelaskan kata-kata yang sekalipun sangat sederhana.
Dahi berkedut saling pandang, bingung bagaimana cara menjelaskan pengertian
budaya sesederhana mungkin. Sampai ada temanku yang marah-marah. Hasyim. Ya,
Hasyim tak tahan dengan sebegitu butanya anak-anak pengamen terhadap dunia.
Bahkan untuk kata budaya sekalipun.
Tapi Ilmi lain. Santapan paginya selalu koran-koran
kota. Headline yang berat sampai ke gaya hidup artis ternama dimakan semua.
Tepat saja jika Ilmi sangat kritis terhadap suatu berita. Hari ini juga.
Pikirannya kritis menanggapi pengaruh psikologi seperti yang tercetak di harian
kota. Untuk anak seusianya, dia sangat kritis.
“Ohh. Jadi karena mungkin ada gangguan psikologis di
tersangka itu, bisa saja dia melakukan tindakan kriminal. Psikoanalisa..... Oh
ya ya. Mas, teman-temanku banyak yang menghirup lem dan bensin. Kata mereka
bisa melupakan sejenak penderitaan hidup. Supaya tidur nyenyak di kolong
jembatan. Itu bisa dikatakan kriminal tidak mas?”
Aku berdehem beberapa kali. Sembari menutup hidung
menghindari karbon monoksida keluar dari knalpot motor itu, aku berpikir. Lem
aibon-zat adiktif-mempengaruhi organ tubuh-perubahan psikologi ke arah yang
tidak baik-dan ahhh......... Aku mendapat penerangan dari botol bir yang
terbaring di dekat dudukan keramik. Tidak menunggu matahari terbenam, aku
langsung menyerocos menjawab pertanyaan kritis dari Ilmi alias Epen. Kali ini
dia sangat antusias karena aku menjelaskannya dengan kandungan kata-kata asing
dan sulit yang nihil.
“Aku selalu berbicara sedikit sama dengan apa yang
Mas bilang. Tapi teman-teman selalu tak percaya Mas. Kata mereka aku hanya
mengada-ngada. Waktu itu memang mengada-ngada, tapi setelah mendengar
penjelasan Mas yang kuliah di psikologi, aku pikir aku tak mengada-ngada lagi.
Mungkin kalau Mas yang berbicara kepada mereka, mereka akan sedikit berubah
mas. Teman-teman itu anak baik. Hanya saja kehadiran lem itu membuat mereka
tidak baik Mas.”
Aku terhenyak mendengar tutur Ilmi. Pikiranku
langsung melambung ke komunitas yang aku dan teman-teman jalani. Kenapa aku
tidak memasukkan mereka ke komunitasku saja? Belum lagi sang ksatria gitar
kecil, Ilmi alias Epen. Si anak cerdas. Bodoh bodoh. Kenapa baru terpikir
sekarang. Sebaiknya ku ceritakan tentang niat ku dan tentang komunitasku.
Bertaruh saja, Ilmi pasti menerima dengan sepenuh hati.
“Komunitas? Perkumpulan Mas? Maaf Mas, tapi dari
sana, aku dan teman-teman bisa mendapatkan biaya untuk sekolah tidak? Bukan
apa-apa. Tapi, sebelum sekolah, kami berpencar mengelilingi kompleks perumahan
mengantarkan koran dan sepulang sekolah, kami mengamen hingga Isya. Tidak ada
waktu lagi bagi kami untuk ikut komunitas itu. Belum lagi aku yang anak sulung.
Adik-adikku ada tiga. Kecil-kecil. Koran dan mengamen itu mata pencarianku Mas.”
Ilmi lirih menjelaskan cerita singkat tentang dia dan teman-temannya. Tidak
menyangka aku kalah taruhan dengan musuh mayaku.
Memang, kebanyakan dari anak-anak komunitasku adalah
mereka yang putus sekolah. Jadi aku dan teman-teman mengambil suasana sekolah
dan menyekolahkan mereka di komunitas. Aku bersimpati kepada Ilmi dan
kehidupannya.
Hasyim bergerak-gerak lincah mengikuti gerakan
penari. Sangat marah rupanya dia dengan dosen itu. Kekesalannya ditumpahkan ke
pertunjukkan tari. Takut-takut dia yang ikut memakai kostum tarian itu. Jangan
saja dia memanggilku.
Hari semakin sore. Lima belas menit lagi adzan
Maghrib berkumandang. Sore yang sejuk ditambah dengan kehadiran Ilmi alias
Epen.
“Oh, iya Mas. Semoga komunitas Mas dan teman-teman
Mas terus berkembang. Jika ada waktu, aku mungkin bisa mengamen di komunitas
Mas. Sekalian melihat mungkin ada teman-temanku di sana. Tinggal naik TransBis,
gratis pula. Pengamen dikota ini diistimewakan Mas. Kemana-mana asal tidak
keluar kota gratis. Bisa saja Mas gratis sampai ke Semarang atau Solo, asal
saja tahan bernyanyi berjam-jam sambil berdiri dengan tangan yang mengocok
senar gitar. Hahaha........ Sudah ya Mas Imral. Aku pulang dulu. Sudah lekas
Maghrib. Cawwww Mas.”
Ilmi berlarian mengarah ke Malioboro. Aku terus
mengikuti jejak alir kakinya. Sampai dia menghilang di gang samping toko batik.
Cerdas. Seharusnya si pengamen kecil itu bersekolah tinggi-tinggi, jangan ke
bawah lagi.
Volume kendaraan menyusut seiring menggemanya adzan
Maghrib di langit Vredeburg. Titik nol kilometer agak sedikit lengang. Hasyim
terlihat puas seraya melangkah ke arahku.
“Aku dikasih maket rumah adat Irian Jaya, Ral.
Alasan penari memberikannya kepadaku karena aku ikut menari di barisan
penonton. Mereka bahkan bertambah semangat karena gerakan-gerakanku.”
Hasyim tak kalah terkejut mendengar kisah Epen. Matanya
terbelalak mendengar nama asli Epen adalah Ilmiansyah Khadafi Amrulah. Kisah
yang tak sengaja aku temui sore itu. anak bangsa memang cerdas-cerdas. Dan
keajaiban kecerdasan itu langsung menemuiku sore itu. Dan Ilmi-lah sosok
cerdasnya.
Sang pengamen dengan gitar kecil ditangannya. Semoga
saja dia mendapat gitar yang besar. Bahkan lebih besar dari halte bus. Semoga.
Dan HAAA... Aku dan Hasyim hampir di tabrak bus
karena bercanda soal maket rumah.
HABIS
Komentar
Posting Komentar
There's Any Comment Guys?