Chaniago (Kisah yang Anomali)
Inilah rumahku, Chaniago. Inilah kehidupanku. Entah
mengapa kau memaksaku mengikutkanmu mudik tahun ini. Jangan menyesal telah
memaksaku, Go. Diawal aku sudah berbicara panjang lebar tentang rumahku.
Rumahku buruk. Namun tetap saja kau tidak mengerti. Kau harus tahan hingga
bulan depan.
Ku ceritakan sedikit keadaan rumah dan kampungku.
Di kota telah aku katakan kan? Rumahku tak berkasur
tebal seperti rumahku. Nyamuknya banyak. Berseliweran tiap pagi hingga pagi
lagi. Kelambupun tak ada. Lantai
rumahku tak berkeramik indah, dan berlapis marmer licin, Go. Lihatlah yang kau
duduki sekarang itu.
Rumahku panas. Tak berpendingin seperti di kamarmu. Atap seng, siangnya panas sekali. Oy, iya, awas, bisa hati-hati laptopmu terkena air hujan. Seng rumahku banyak yang bocor. Sekarang sedang musim hujan. Kenapa juga kau membawa laptop. Tak ada tugas pekerjaan disini.
Ah.. Perihal makanan. Makanan disini kuanggap
makanan tersederhana yang pernah ku makan bertahun-tahun, Go. Tak ada steak, tak ada burger, dan tak ada makanan yang seperti biasa kau makan. Kau harus
beradaptasi dengan keadaan keras ini sebulan kedepan. Kenapa juga kau memaksaku
untuk membawa dirimu ke kampung halamanku.
Untuk mandi, kita harus berjalan kira-kira dua
kilometer dari rumah ini. Melewati bukit itu, sungai jernih adanya. Disini tak
ada shower atau bak mandi berbahan ruby, Go, macam di rumahmu. Tak ada
acara untuk memilih air hangat, setengah hangat, atau air bersabun disini. Yang
ada hanya air berbusa. Kau akan melihat air berbusa di sungai nanti.
Tentang listrik, tenang saja. Aku baru dapat kabar
dari ayahku bahwa listrik di kampung ini baru tersambung seminggu yang lalu.
Beruntung kan? Kau bisa mengajari adik-adikku bermain game di laptopmu, atau mengajari ibuku mengetik di laptop. Jangan
khawatir tentang kekurangan daya baterai laptop. Kalau kau rindu orangtuamu,
kau bisa mencari sinyal handphone di
atas bukit itu. disana sinyalnya full.
Dirumah ini sinyalnya minus.
Apa lagi yang kau butuhkan? Kau takut nyamuk kampung
menyerangmu, Go? Tenang saja kawan. Kau bisa bernafas lega. Keluargaku punya
ramuan khusus penolak nyamuk. Gratis pula. Hebatnya, ramuan itu manjur sampai
satu minggu. Hanya saja setelah kau oleskan dua atau tiga olesan di tanganmu,
tangamu itu harus dibasuh dengan campuran air dengan arang. Tenang Go, arang
disini banyak. Gratis pula.
Ayo. Hari semakin sore. Wajahmu juga terlihat lusuh.
Kita bergegas ke sungai sebelum gelap. Kau tak ingin bergelap-gelapan di malam
pertamamu di kampung ini, bukan? Apa kau ingin itu?
Chaniago hanya
menatap ijazah yang tertempel di dinding itu.
Oh. Itu ijazahku, Go. Aku adalah generasi pertama di
keluarga ku yang berhasil memajang ijazah SMA asli di dinding itu. Nanti ku
ceritakan tentang ijazah itu. Di perjalanan ke sungai saja. Nah, Go. Kau
bersiaplah mengikutiku. Dikota boleh jadi kau yang selalu menggiringku. Dan
sekarang, izinkalah keadaan itu berbalik. Hahaha. Kau ikhlaskan, Chaniago anak
kota? Dua kilometer naik turun bukit pasti bisa untukmu, Go.
___________________
Go, aku adalah anak keempat dari tujuh bersaudara.
Kau juga tahu, keluargaku adalah keluarga agraris. Keluarga pertanian. Pengaruh
dari keadaan itu adalah ketiga kakakku hanya bisa menamatkan bangku SD. Itupun
hanya sampai kelas empat. Selebihnya ikut ber-agraris ria dengan kedua orangtua
dan puluhan keluarga lainnya. Kakak-kakakku adalah anomali. Entah mengapa saat
semua teman-teman ketiga kakakku itu merantau jauh ke tanah Jawa, kakak-kakakku
itu masih sibuk dengan sawah keluarga. Mereka sangat terobsesi dengan sawah,
mungkin. Namun Go, ke-anomali-an kakak-kakakku membawa pengaruh baik. Dengan
bernas-bernas keringat mereka di sawah, aku bisa tamat SMA. Merekalah yang
menambah modal untuk biaya sekolahku. Dan pada akhirnya, ijazah pertama
dikeluargaku bisa hadir. Ya Go. Ijazahku di dinding yang tadi kau tatap itu.
Tak dinyana, ayahku-lah yang paling berbahagia
dengan keberhasilanku. Padahal, ditengah keluarga-keluarga kaya seantero negeri
ini, termasuk kau, tamat SMA adalah hal yang lumrah bukan? Tapi tidak dengan
keluargaku, khususnya ayahku Go. Ayahku selalu membanggakanku atas persembahan
ijazah dariku. Selepas ijazah itu terpajang di dinding rumah, ayahku menjadi
orang yang paling semangat bersawah. Mungkin ayahku berpikir, dengan ijazah itu
aku bisa menjadi pemutus generasi agraris dikeluargaku.
Ayahku ternyata sama dengan kakak-kakakku. Sama-sama
anomali. Disaat ayah-ayah temanku menyuruh mereka bersawah dan merantau mencari
kerja di tanah orang lain, tapi ayahku menjejak jalan lain. Ayahku bukanlah
orang akademisi. Ayahku hanyalah seorang agraria sejati. Sederhana pula. Tapi
beliau tahu perihal kuliah. Ya, kuliah, Go. Tahukah kau apa yang terjadi
sebulan setelah kehadiran ijazahku? Ayahku menuntutku untuk kuliah, Go.
Kuliahhhh!! Ya. Beliau memang tahu bahwa aku termasuk siswa pandai di kelas.
Guruku selalu bercerita tentang itu sewaktu pengambilan rapot.
Yang lebih parahnya lagi, aku sempat diancam tidak
boleh masuk rumah jika aku tak melanjutkan sekolah. Gila bukan? Aku tak tahu
apakah setan atau malaikat yang merasuki tubuh ayahku. Beliau memarahiku karena
mendengarkan pendirianku untuk tetap membantu pekerjaan bersawah. Itu terjadi
tepat dua bulan sebelum ujian masuk perguruan tinggi, Go. Dan empat bulan
sebelum aku bertemu kau, Chaniago. Niatku baik, dan niat beliau jauh lebih
baik. Ibuku hanya menggeleng tak mengerti.
Permasalahan apakah aku harus menuruti orang tua
atau tidak adalah masalah sepele. Justru yang besar adalah biayanya, Go. Orang
agraria macam keluargaku kecil peluang untuk menyisihkan uang demi kuliah.
Satu-satunya jalan agar aku masih bisa pulang ke rumah adalah menemui wali
kelasku. Kau pasti bertanya kenapa kan, Go?
Guruku pernah bercerita tentang beasiswa. Kuliah
gratis. Tahukah kau, Go? Kata gratis adalah sesuatu yang selalu keluargaku
impikan. Mau makan gratis, biaya sekolah gratis, atau apalah. Yang penting
tidak mempermalukan harga diri keluarga.
Serasa bagai pasien dengan dokter, aku berkonsultasi
dengan wali kelasku. Beliau mengindikasikan ku supaya belajar keras dalam waktu
dua bulan itu (dua bulan terkahir sebelum ujian masuk). Beliau memberiku obat-obat mujarab. Buku kumpulan
soal-soal ujian. Gratis pula. Kau tahu betapa beruntungnya aku, Go.
Aku memanfaatkan
kemiskinan keluargaku demi beasiswa itu. Ya, miskin adalah syarat utama.
Kadangkala aku harus bersyukur dengan kemiskinan itu. Itu membuatku sangat
menghargai benda yang disebut uang. Uang juga yang mengharuskan aku berjuang
membalas ke-anomali-an ayah dan kakak-kakakku. Mereka telah berjuang di bawah
sengatan matahari, dan aku berjuang meneduhkan mereka.
Chaniago hanya
terdiam mendengar ceritaku
Ahhh. Sudahlah kawan. Kau sudah membaca alur
ceritaku. Aku berjuang terus selama dua bulan itu. Aku mendapat kamar penginapan di rumah wali kelas ku
di kota. Dan aku lulus. Hingga aku bisa bertemu denganmu, Go. Kau pasti tahu
itu. Tapi, ada satu yang menjadi kesesakan di hidupku selama alur perjalanan
itu, Go. Kau dengar ya.
Sekembali dari pengumuman ujian tersebut, aku pulang
menggapai rumah. Aku ingin berterima kasih dengan ke-anomali-an ayah dan
kakak-kakakku. Dalam perjalanan pulang, aku telah merangkai kata-kata terima
kasih ke ayah dan kakak-kakakku. Indah sekali, Go. Aku telah membayangkan
senyuman mereka merekah. Terimajinasi di balik kaca mobil, aku tengah memeluk
dan menangis haru di tengah pelukan mereka. Aku bisa kuliah. Gratis pula. Dan tentu,
merekalah dalang dibalik semuanya. Dalang yang sangat baik.
Tahukah kau apa yang terjadi selanjutnya?
Aku berdiri kira-kira setengah kilometer dari
rumahku. Hari itu aku melihat rumahku dipenuhi tetangga-tetangga. Aku berpikir
bahwa mereka sudah mengetahui kelulusanku. Dan aku juga berpikir bahwa mereka
akan menyambut sang calon sarjana desa (diriku). Aku tersenyum sumringah, Go.
500 meter. 250 meter. 100 meter terlampaui. Semakin dekat dengan teras rumahku.
Namun, dada ku terasa sesak. Aku merasa aneh. Aku melihat ibu dan ayah terduduk
lemas di lantai teras. Dikerumuni beberapa tetangga, tapi masih ada cukup celah
bagiku untuk melihatnya. Tangan-tangan ayah dan ibuku saling berpegangan. Dan jelas,
Go. Sangat jelas. Aku melihat orang tuaku menangis. Menangis terharu? Bukan Go.
Itu adalah tangis kesengsaraan.
Aku terus mendekat dengan setengah berlari. Aku tahu
ada sesuatu yang terjadi di dalam rumah. Aku terus berlari-menerobos-menabrak. Sampai
akhirnya aku terpana. Tubuhku tergugu. Tahukah kau apa yang kulihat Go? Kedua
kakakku tergeletak dengan tubuh bagian bawah bersimbah darah. Kaki-kaki mereka
bermerah-merahan. Aku tak tahu apa penyebabnya. Tapi yang aku tahu, mereka sedang
sekarat. Nafas mereka masih ada, tapi sangat cepat. Belum meninggal, Go.
Jika kau berpikir tetanggaku adalah bangsat, kau
benar Go. Tak ada yang berniat membawa kakak-kakakku ke pusat kesehatan atau ke
dukun kampung. Mereka hanya melongo. Sampai akhirnya aku yang berteriak, Go.
Aku berteriak-teriak, meminta mereka menggotong kakak-kakakku ke tempat
perawatan. Aku tahu rumah sakit jauh dari kampungku. Tapi sungguh bangsat jika
tak ada sedikit usaha untuk menyelamatkan nyawa manusia sekarat macam nyawa kakak-kakakku
waktu itu.
Tahukah kau Go, salah satu fakta yang terjadi adalah
pupusnya acara berterima kasih ke
ayah dan kakak-kakakku. Itu ironis. Itu miris.
Maukah kau mendengarkan cerita ku selanjutnya,
Chaniago? Biarkan aku mengingat beberapa kejadian malang itu.
bersambung.....
Komentar
Posting Komentar
There's Any Comment Guys?