Negeri Khayalan 1
fantasy stories about proposing changes to the world of living systems.......
Remember, just a mirage.......
Sore
itu, Arga dan Sula menyingkir dari keriuhan desa. Desa Pulau sedang dalam masa
keramaian. Hampir semua warga berkumpul di pinggir lapangan desa. Ada
pertandingan final RT Cup. Kebanyakan dari pemuda berbondong-bondong membawa
bendera kebangsaannya. Ada yang membawa pasukan sekompi, lengkap dengan
seruan-seruan berkorban. Hari itu diadakan pertandingan terakbar desa Palang
Pintu, desa yang RT-nya hanya tujuh. Finalnya adalah RT Timur melawan RT Barat.
Namun,
Arga dan Sula tidak tertarik dengan keriuhan itu. Mereka memilih menyendiri di
pinggir sungai Pengaruh. Ada tugas berkhayal dari pak Guru mereka, Pak Karmin. Sekarang,
Arga dan Sula telah bersiap-siap berkhayal. Mereka telah menempati
dudukan-dudukan nyaman. Ditiupi semilir angin sungai, khayalan pun dimulai.
“Arga,
kau tahu apa yang sedang aku pikirkan? Aku sekarang berimajinasi bahwa aku
tengah duduk, ikut sebuah rapat paripurna. Gedungnya serba putih, dengan
tirai-tirai abu-abu di jendela-jendela.”
“Rapat paripurna apa yang kau khayalkan, Sula?”
Ada-ada saja khayalanmu.”
“Aku
mengikuti rapat paripurna yang diadakan oleh (t)uhan. Aku diundangnya.
Agendanya adalah membahas pembaharuan sistem kehidupan dunia, Ga. Lihatlah,
banyak malaikat dan setan-setan di setiap pinggir meja ini!”
“(t)uhan
apapulah La? Malaikat dan setan apapula? Kau gila. Kau telah dirasuki
pikiran-pikiran aneh. Sudahlah, imajinasikan saja apa yang disuruh pak Guru.
Pak Guru Karmin menugaskan untuk mengkhayal tentang pembaharuan teknologi untuk
dilombakan. Bukan pembaharuan sistem kehidupan macam kau terangkan itu.”
“Biar
saja Ga. Nanti, besok-besok aku tak diundang (t)uhan dalam rapat paripurnanya.
Dengarkan (t)uhan menyampaikan kata sambutannya. Tahukah kau teman, aku sudah
punya gambaran tentang kehidupan yang baru. Biarkan aku menyampaikannya jika
(t)uhan telah menunjukkan untuk berbicara nanti. Haaaa.”
“Kadang
kepintaranmu berlogika membuatmu gila, La. Ini mungkin klimaksnya. Rapat dengan
tuhan. Dengan malaikat, setan. Lama-lama kau yang jadi setan sungguhan”
“(t)uhan
Ga. Bukan tuhan.”
“Sama
saja.”
“Beda
Ga. Oh. Tunggu dulu. Dengarkan setan itu bicara. Giliran setan itu yang angkat
mulut. Dia mengusulkan bahwa umat manusia harus..... Waduh... Pembicaraannya
disensor Ga. Tinggallah mulutnya yang komat-kamit tanpa ada suara yang keluar.
Ini kali ke 6 pembicaraannya disensor. Aku tidak tahu mengapa disensor. Mungkin
itu pertanda bahwa usulannya tidak diterima. Tapi mengapa peserta rapat lain
mengangguk-anggukkan kepala? Ada juga yang menggeleng-geleng. Eh. Hanya
setan-setan yang mengangguk-angguk. Malaikat-malaikat semuanya
menggeleng-geleng. (t)uhan mengangguk-angguk, Ga. Sedangkan aku hanya ternganga
tak mengerti. Mungkin telingaku yang disensor untuk tidak mendengarkan
perkataan setan itu. Mungkin karena aku tak termasuk golongan mereka. Aku hanya
manusia.”
“Lihainya
kau berkhayal. Sampai-sampai jadi gila. Sudah
benar-benar tak waras temanku ini. Khayalanku tak muncul-muncul dari tadi
gara-gara khayalan gilamu, La. Cukup teman, biarkan aku untuk sedikit saja
berkhayal.”
“Ah.
Masih lama ternyata giliranku berbicara. Kira-kira ada seratus peserta rapat.
Nah, yang baru berbicara ada tujuh. Minimal sembilan puluh tujuh orang lagi
sebelumku. Ini akan menjadi rapat khayalan terbosan, Ga. Oh. Untunglah. Ada
seorang robot mengantarkan makanan ke meja-meja. Amboi, satu peserta dapat satu
dus mie instan. Tapi... Loh. Kok setan beda. Kok mereka dapat sepeti emas? Ini
tidak adil Ga.”
“Makanlah
ketidakadilan yang disuguhkan. Eh. Bukankah itu justru adil La. Mie instan bisa
dimakan. Memangnya emas bisa dimakan? Tidakkan.”
“Kau
tidak berpikir jauh. Memang emas tidak bisa dimakan. Tapi bisa dijual dengan
harga mahal, dan kemudian uangnya dibelikan makanan berlimpah. Mungkin juga
bisa digunakan setan-setan itu berlibur, Ga. Bisa membeli rumah mewah, mobil
mewah. Dengan mie instan tidak akan bisa.”
“Terserahlah.
Itu pun hanya sebatas khayalanmu, La.”
Sementara
itu lapangan desa tengah dalam puncak-puncaknya. Ada pemain yang berkelahi.
Saling baku hantam dengan pihak wasit. Oalah. Rupanya ada provokator di atas
pohon itu. Pantas saja berkelahi. Warga desa Palang Pintu kan mudah
diprovokasi.
Pernah
sekali RT Selatan dan Utara bentrok gara-gara ayam milik seorang warga RT
Selatan dicabuli ayam miliki warga Utara. Padahal tidak ada yang tahu apakah
kedua ayam tersebut saling mencintai atau tidak. Memang, ada yang
memprovokasinya dari atas pohon kelapa. Selanjutnya, bentrok terjadi. Kandang-kandang
ayam semuanya dibakar. Saling bakar-membakar. Asap mengepul ke langit desa. Ayam-ayam
hanya bersedih. Kata ayam, ‘Hah, bodoh. Mudah sekali terprovokasi’. Si
provokator menyeringai puas seraya berlalu.
Provokator
hadir lagi di pertandingan final. Ceritanya tentang offside atau onside. Wasit
mengangkat bendera dan menyatakan bahwa itu offside. Ya karena ulah provokator
di atas pohon berteriak-teriak memprovokasi, bentrok tak terelakkan. Lihatlah
sekarang. Lapangan sedang berada dipuncak-puncaknya. Puncak untuk didatangi
petugas pelerai bentrok dari Kelurahan. Amboi, tiang gawang seukuran paha gajah
bengkok. Kuatnya orang-orang Desa. Dan juga, kuatnya jiwa mudah terprovokasi
warga desa.
Seperti
biasa, si provokator menyeringai puas seraya berlalu.
Arga
dan Sula masih di pinggiran sungai Pengaruh. Sula bersila bak petapa. Arga terlentang
berbantalkan lipatan tangan, dengan kaki kanan tertekuk, kaki kiri menindihnya.
Arga bak pujangga kenamaan. Sula masih sibuk dengan khayalannya. Dan Arga, juga
sibuk dengan khayalan Sula.
bersambung..........
mencak sinetron laju blog nga coh. haha
BalasHapussiiip coh, agek ku muat blog pulek ah :D
BalasHapusKalu bae ade yg kpincut menyinetron k isi tlsan2 ikak coh
BalasHapussip coh
bagus mas, ceritanya.Salam Mie Instan mas.
BalasHapus