Mona Lisa dipuja sebagai masterpiece seorang pujangga, tapi dimana kuas yang dipakai untuk melukis gurat-gurat itu? Lukisan-lukisan mahamahal terpajang tanpa ada kuas terdamping sebagai instrumen penciptaannya. Kuas, yang sekarang entah telah dimakan rayap atau malah terlempar ke sudut ruangan, adalah barang berjasa. Kehadirannya ditampik, dipanggil ke podium untuk sekedar menjadi tontonan pun tidak. Lukisan itu dikultuskan, dan kuas menjadi pihak yang ter-marginal-kan. Kuas, dia terlupakan, namun jika dia tak ada, maka tak ada yang berkesempatan menyaksikan senyum Mona Lisa. Harusnya kuas protes karena intimidasi pengunjung museum, tapi dia paham makna hidup. Maka dia diam menyukurinya.