Kuas dan Air
Mona Lisa dipuja sebagai masterpiece seorang pujangga, tapi dimana kuas yang dipakai untuk
melukis gurat-gurat itu? Lukisan-lukisan mahamahal terpajang tanpa ada kuas
terdamping sebagai instrumen penciptaannya. Kuas, yang sekarang entah telah
dimakan rayap atau malah terlempar ke sudut ruangan, adalah barang berjasa. Kehadirannya
ditampik, dipanggil ke podium untuk sekedar menjadi tontonan pun tidak. Lukisan
itu dikultuskan, dan kuas menjadi pihak yang ter-marginal-kan. Kuas, dia
terlupakan, namun jika dia tak ada, maka tak ada yang berkesempatan menyaksikan
senyum Mona Lisa. Harusnya kuas protes karena intimidasi pengunjung museum,
tapi dia paham makna hidup. Maka dia diam menyukurinya.
Manusia itu bukan kuas, namun juga sebuah kuas.
Sekecil apapun insan, kesempurnaan manusia diciptakan sepaket dengan
kemampuannya untuk bermanfaat. Walau terkadang dibeberapa fenomena, manusia
tidak bisa dipertunjukkan bersama produk yang dihasilkan. Dan produk itu tak
akan pernah bisa tercipta jika tak ada manusia, sekecil apapun peran yang
diambil.
Dia merasa terintimidasi dengan pencapaian orang, tapi
kuas-kuas itu menjelaskan bahwa dia tidak sekecil yang dia duga. Adakah yang
menanyai kehadiran air tatkala bangunan beton telah tegak berdiri? Yang
terlihat adalah relief-relief indah di dinding, tapi para pengambil hikmah tahu
bahwa bangunan besar itu tak akan pernah berdiri jika semen dan pasir tidak
dicampur dengan air. Semen dan pasir akan bercampur, tapi rapuh. Air menyatukan
mereka dalam ikatan kimia. Tapi sekarang, air itu menghilang. Bisa jadi dia
adalah air, tapi dia tidak mengerti.
Sang Maharaya telah memplotkan takdir, bahwa air harus
menjadi pihak yang tertindas agar bangunan dapat berdiri, kuas mesti menahan
rasanya dibuang agar mata manusia-manusia dapat
menikmati indahnya lukisan. Kebahagiaan tak selamanya dicapai melalui
penampilan, kekaguman, fanatisme, cinta buta, sanjungan. Kuas menyenangi
suasana saat dia kembali berkumpul dengan keluarganya : palet, disaat dia telah
menyelesaikan prosesi penampikan oleh tuannya. Air berevaporasi entah kemana,
tapi meninggalkan susunan kuat beton, tempat manusia bernaung dari dinginnya
malam.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi
manusia lain. Dia tidak menambahkan kalimat : dengan peranan yang besar-besar. Tidak.
Peran, mau besar atau kecil, mau dikenal ataupun tidak, mau dikenang, atau
bahkan dibuang, Dia tetap menghitungnya sebagai kebaikan.
Dia, yang terintimidasi tadi, ingin menjadi kuas.
Meski terpinggirkan, bulu-bulunya tetap bermanfaat.
sumber gambar :
Komentar
Posting Komentar
There's Any Comment Guys?