Korelatif 2 (Part 3)
Keajaiban, cinta sejati, semua terangkum dalam kata
persahabatan....
Ya... persahabatan.....
Juni 2022, 10.00
Sultan Mahmud Badaruddin II Airport
Aku hanya bisa bersyukur karena perjalananku kali ini
selamat. Selama perjalanan udaraku dari Yogyakarta menuju Palembang, hatiku
selalu gelisah. Tepatnya takut. Sudah puluhan kali aku menaiki burung besi itu,
tapi rasa takut itu tak pernah hilang. Aku khawatir jika pesawat yang aku
tumpangi akan menabrak bukit atau gunung-gunung, dan seperti berita-berita yang
sering muncul, korban pesawat jatuh tak pernah selamat. Itu yang aku takutkan.
Jika itu terjadi, mayatku akan sulit ditemukan dibawah rongsokan dan serpihan-serpihan pesawat yang telah hangus terbakar. Aku akan mati dalam keadaan yang hilang. Risiko itu yang aku pikirkan dari pertama aku menginjak lantai pesawat sampai akhirnya menapakkan kaki di lantai airport. Rasa takut itu masih terasa, walau intensitasnya sedikit berkurang. Aku teringat kala aku masih sekolah di Yogya, ketika menyusuri jalan dengan bersepeda atau dengan otot-otot kaki, burung besi selalu melintas di atas kepalaku. Entah itu burung besi besar atau kecil. Pernah juga rombongan helikopter menderu-deru diatas masjid sekolah, mengejutkan orang-orang karena suara baling-balingnya yang menggeram. Pada waktu itu aku ingin sekali menaiki burung-burung itu. Sampai pada akhirnya, ketakutanlah yang menguasaiku. Walaupun aku takut dengan kengerian di atas awan itu, aku tetap memilih jalan itu dibandingkan harus duduk-duduk ria di atas mobil hampir dua hari dua malam dari Yogya ke Palembang.
Jika itu terjadi, mayatku akan sulit ditemukan dibawah rongsokan dan serpihan-serpihan pesawat yang telah hangus terbakar. Aku akan mati dalam keadaan yang hilang. Risiko itu yang aku pikirkan dari pertama aku menginjak lantai pesawat sampai akhirnya menapakkan kaki di lantai airport. Rasa takut itu masih terasa, walau intensitasnya sedikit berkurang. Aku teringat kala aku masih sekolah di Yogya, ketika menyusuri jalan dengan bersepeda atau dengan otot-otot kaki, burung besi selalu melintas di atas kepalaku. Entah itu burung besi besar atau kecil. Pernah juga rombongan helikopter menderu-deru diatas masjid sekolah, mengejutkan orang-orang karena suara baling-balingnya yang menggeram. Pada waktu itu aku ingin sekali menaiki burung-burung itu. Sampai pada akhirnya, ketakutanlah yang menguasaiku. Walaupun aku takut dengan kengerian di atas awan itu, aku tetap memilih jalan itu dibandingkan harus duduk-duduk ria di atas mobil hampir dua hari dua malam dari Yogya ke Palembang.
Begitu megah lapangan udara itu. Palembang sudah
benar-benar maju. Kota ini mengantarkan ku pada New York dan Washington DC era
2010-an, yang sering aku tonton kala aku SMA. Megah dan modern. Di film-film action
itu, seringkali penjahat-penjahat menyelundupkan narkoba dan akhirnya
tertangkap di bandara di New York atau Washington. Ada juga yang melarikan diri
dari sergapan interpol dan penjahat itu menyamar sebagai penumpang pesawat di
bandara-bandara Amerika. Aku masih sedikit ingat tentang itu. Tentang
masa ketika aku rela tidur tengah malam hanya untuk menonton adegan-adegan seru
dari para aktor Amerika. Terkagum-kagum dengan tembakan dan dentuman bom yang
mereka keluarkan, tanpa ku sadari bahwa dulu aku telah dibohongi oleh mereka.
Akhirnya, akupun tak lagi menggubris mereka. Hal yang aneh.
Ku lihat di sekelilingku, jumlah orang asing dan orang
pribumi hampir sama. Kemajuan Palembang telah menarik investor-investor asing
untuk melebarkan sayap perusahaan mereka. Tidak ada lagi sekat pemisah antara
orang pribumi dan orang asing yang entah dari negara mana. Mereka mengobrol
dengan leluasanya. Dunia telah menjadi satu. Dan dunia itu telah mempengaruhi
orang-orang pribumi. Hanya sedikit yang dapat menahan diri dan menyeleksi
gempuran budaya barat yang masuk ke tanah Indonesia. Diantara mereka, banyak
wanita pribumi yang........ ah sudahlah. Cukup untuk mengomentari orang-orang
rapuh disekelilingku.
Aku berdiri dan bersiap pulang ke Babat, desa
kelahiranku, kampung halamanku. Aku sangat merindukan orang-orang disana,
suasana, dan semuanya. Orang tuaku, wajah mereka, tawa mereka, senyum mereka
dan kata-kata mereka. Juga, aku rindu sahabat lamaku. Aries. Aku yakin hanya
dia yang dapat aku temui dalam waktu dekat ini. Aku tak tahu tentang Atok, tak
tahu kabar Yan, Pije, Egyd, Galih, Reno, Tulus, Jeni, dan Catur. Aku anggap
mereka sudah hilang, tapi bukan berarti mereka tak bisa ditemui. Hanya saja
sangat sulit untuk itu. Mereka orang-orang ambisius yang entah sekarang ada di
belahan bumi mana. Tapi dari semua itu, aku rindu. Rindu itu terus mengiris
daging ku tatkala di awal tahun ini, entah kenapa aku memandangi foto-foto mereka
dengan perasaan yang tak biasa. Tak pernah aku merasakan rasa rindu akan
persahabatan sehebat itu. Sampai air mata itu keluar.
Kebahagiaan yang aku dapatkan dari sebuah kata
persahabatan hampir tak pernah aku rasakan semenjak aku dan mereka tidak berada
di satu sekolah lagi. Awal-awal perpisahan itu memang masih terasa manis. Masih
ada senda gurau khas aku dan mereka walaupun tidak bisa bertatap muka. Waktu
terus berputar, kedewasaan telah merenggut kebahagiaan itu. Lambat laun ada
yang berubah. Mungkin lupa akan cara bercanda. Satu tahun... dua... tiga...
dan akhirnya semua hilang. Sampai-sampai aku malas untuk mengingatnya
lagi. Aku cemburu dengan keadaan yang mengambil kami dari kebiasaan dulu.
Kuakui keadaan memang mengubah kami untuk menjadi lebih baik dan dewasa, namun
bukan berarti mengacuhkan rasa rindu untuk kembali ke kekonyolan-kekonyolan
dulu. Bahkan perubahan itu menghilangkan mereka dari tawa yang aku rindukan.
Cuek, tak peduli atau apalah. Aku tak rela dengan perubahan keadaan yang membuat
kotak tertawaku menyusut, waktu itu. Dan sekarang, sebelum aku melihat mereka
di dinding kamarku tahun baru itu, aku juga tak peduli. Hingga ku akui, aku
tetap rindu. Aku tak tahu apakah mereka merasakan hal yang sama dengan ku.
Mungkin tidak, mungkin juga ya. Hanya butuh keajaiban untuk bisa melihat
mereka. Singkat kata, aku rindu. Dan aku membenci keadaan yang menimbulkan
perubahan itu.
Aku telah beranjak dari kursiku dan melangkahkan kaki
keluar airport. Kulihat beberapa taksi biru berjejer menunggu penumpang.
Bawaanku tidak banyak. Hanya tas ransel berisi laptop dan buku bacaan. Aku tak
ingin menganggu kepulanganku dengan tugas-tugas pekerjaan dan tak ingin
mengurangi kesempatan liburku dengan hal yang memenatkan otak. Aku ingin
merasakan bebas dalam waktu yang singkat ini. Dengan keluargaku di kampung, dan
sahabat lamaku, Aries. Bapa Aries. Si Bijak Aries. Dan Aries Sang
Preman.
Sejenak aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling airport,
aku lihat dua gerbong lokomotif bergaya modern datang menyusuri monorel itu dan
beberapa orang dengan cepat memasuki gerbong. Aku mengalihkan niatku untuk
memakai jasa taksi. Mataku tertarik dengan lokomotif modern itu. Tujuanku
selanjutnya adalah Palembang Station. Aku dengar Palembang telah membuka
jalur kereta api ke beberapa daerah di Sumatera Selatan, termasuk Sekayu. Namun
aku tak tahu jika kereta api yang dimaksud adalah lokomotif modern seperti yang
baru saja aku lihat. Aku yakin sistem lokomotif itu memakai teknologi medan
magnet. Tanpa ada gesekan dengan rel sehingga hanya menimbulkan suara yang
tidak bising. Kecepatannya juga akan bertambah signifikan. Mungkin kalau mau
dipacu secepat-cepatnya, akan mencapai kecepatan tiga ratus kilometer per jam.
Berarti hanya butuh waktu setengah jam bagiku untuk tiba ke Sekayu.
Aku mendekati petugas pelayan transportasi itu.
Setelan yang dia pakai seperti polisi. Berpangkat dan bertopi seperti polisi.
Aku pikir dia adalah lulusan polisi transportasi, yang ditempatkan di semua
pelayanan transportasi di seluruh Indonesia. Mungkin....
“Pak, lokomotifnya datang kapan, pak?”
“Sepuluh menit sekali, mag-train singgah
disini. Tunggu saja sebentar”
Mendengar kata mag-train, aku menjadi malu.
Kata lokomotif hanya dipakai untuk kereta api era 2000-an. Dan tak lagi dipakai
untuk zaman ini. Aku menduga, mag-train berarti magnetic train.
Kereta api magnetik.
“Oh, terima kasih pak.”
---
Juni 2022, 10.30
Palembang Station
Pria besar itu keluar dari mag-train panjang dengan
tas ransel menggantung di punggungnya. Dia menggerakkan punggungnya, melepas
letih yang menguasai tubuhnya selama dua jam. Perjalanan dari Lampung dan
berakhir di Palembang Station itu membawa letih yang hebat, namun tak
lama lagi, letih itu akan hilang. Kerinduan akan orangtua dan kampung
halamannya mengalahkan rasa letih yang dia rasakan. Empat tahun lamanya dia
merantau dan selama itu dia merasa bahwa dia adalah anak yang jahat. Pekerjaan
yang dia geluti membuat dia hanya sesekali menghubungi orangtuanya. Kondisi
pekerjaannya yang begitu ekstrem dan terisolasi, membuat dia harus melakukan
itu. Itu pilihannya dan dia harus menjalani hidup sesuai pilihannya. Sudah
terlalu lama baginya untuk tidak menatap satu-persatu wajah orang-orang yang
dia cintai. Empat tahun tanpa pernah pulang sekali pun. Pilihan hidup yang
salah bagi orang-orang yang mencintai keluarganya. Namun akhirnya dia
mengakhiri waktu tersebut dan rumahnya telah terimajinasi di otaknya. Dia tidak
membawa sesuatu yang istimewa, tapi dia yakin, keistimewaan bagi orangtuanya
adalah dirinya sendiri. Orangtua adalah kesederhanaan. Dia datang dengan
kesederhanaan dan orangtuanya akan merasa istimewa dari sebuah kesederhanaan
itu.
Catur mencari tempat untuk merebahkan tubuhnya,
merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Dilihatnya deretan kursi panjang di
seberang tempat dia berdiri. Kursi itu menghadap ke utara. Dia bersegera,
menyeberangi monorel mag-train dan langsung melemparkan tas nya di kursi
itu. Catur belum berniat untuk langsung melanjutkan perjalanan, meski dia tak
sabar untuk bertemu. Rasa haus membuat Catur beberapa kali meneguk air
lehernya. Beruntung, tak jauh dari tempat dia merebahkan tubuhnya, terlihat
berbagai macam jenis minuman berdiri di dalam mesin besar. Robot mesin itu
langsung mengeluarkan sebotol minuman sesaat setelah Catur menggesekan kartu
uangnya. Sepuluh detik kemudian, isi botol berwarna kuning itu habis,
tinggal beberapa tetes air.
Catur kembali tenang dengan kerongkongan yang agak
licin. Catur meraih dompet di saku belakang celana dan memandangi foto
orangtuanya. Dia ingat saat pertama kali harus memulai perpisahan panjang itu.
Dia dihadapkan pada dua orang yang amat dia hormati dan sayangi. Ibunya memeluk
Catur dengan erat tatkala Catur mengutarakan tentang risiko pekerjaannya.
Risiko untuk tidak dapat bertemu dalam waktu lama. Dia pamit dengan modal restu
orangtuanya. Ayahnya hanya berdiri namun Catur tahu bahwa rasa yang sama dengan
ibunya muncul di benak ayahnya waktu itu. Catur dapat saja menangis, namun dia
tahu keadaannya sebagai seorang anak laki-laki. Harus kuat dalam mengarungi
hidup. Sekalipun berpisah dengan orang tuanya. Meski memang dia akui itu harus
terjadi. Tidak selamanya Catur harus hidup berdekatan dengan orangtuanya. Catur
lunglai. Dan Catur hanya terduduk merenung di kursi itu, tak tahu kapan dia
akan beranjak.
---
Semangatku untuk pulang melejit tatkala mag-train
yang aku tumpangi telah tiba di Palembang Station, tempat pemberangkatan
terakhir ke Sekayu. Lima menit aku duduk di mag-train itu dengan
ketidaksabaran untuk tiba di rumah. Tak ada lagi yang menghalangiku untuk
kembali.
Ku edarkan pandangan ke seluruh sudut stasiun, mencari
petugas mirip polisi untuk menanyakan pemberangkatan ke Sekayu. Sepertinya
petugas stasiun sedang libur hari itu. Aku tidak menemukan petugas seperti yang
ada di bandara. Aku terus berjalan dan aku menemukan LCD besar terpampang.
Rupanya pemberangkatan ke Sekayu jam 11.30. Aku mengetahui itu dari teks
berjalan di LCD tersebut. Aku langsung mendekati mesin e-ticket
di dekat tempat ku berdiri. Ckckckck... Tiketku keluar sesaat setelah ku gesek
kan kartu ATM. Tiket sudah berada di tangan dan satu jam lagi aku berangkat.
Aku mencari-cari tempat yang dapat dijadikan camp
sementara untuk menunggu pemberangkatan. Beberapa pedagang asongan
menghampiriku dan menawarkan dagangan-dagangan mereka. Mereka tetap eksis
ditengah kemajuan teknologi yang berkembang dengan sangat wah. Aku
acuhkan mereka dan hanya berlalu mencari tempat duduk yang nyaman. Dan akhirnya
kulihat di seberang tempat aku berdiri, deretan kursi panjang itu serasa
memanggilku. Aku memilih kursi yang paling ujung karena lebih dekat dengan
pohon besar di taman. Lebih sejuk dan sedikit terhindar dari asap rokok
orang-orang itu.
Aku berjalan melewati deretan kursi menuju arah kursi
yang telah ku pilih. Posisi deretan kursi itu membelakangiku, hingga wajah
mereka tak tampak dari arahku. Akhirnya kurebahkan badan dengan kaki yang
kuluruskan. Menikmati aliran waktu yang sebentar lagi akan mencapai kebahagiaan.
Awalnya keraguan akan keadaan datang pada ku di saat pertama kali aku jauh dari
orang tua. Khawatir tentang masa depan adalah hal selalu aku rasakan sebelum
apa yang sekarang aku dapatkan. Aku membawa bukti bahwa doa orang-orang yang
aku sayangi memang nyata terjadi.
Pikiran ku beralih ke sahabat lamaku. Aries. Ibuku
pernah bilang bahwa Aries pernah datang ke rumah membawa sepucuk surat
undangan. Terlalu kuat ingatan ibuku jika ibu mengingat sahabatku itu. Ya.. Ibu
tak tahu dengan Aries meski aku telah jelaskan semuanya kepada ibu. Aries
benar-benar membuatku merasakan rindu, rindu tentang apa yang pernah kami
jalani. Tentang dirinya dan sahabat-sahabat ku yang lain. Ah... sahabat yang
lain. Sahabat yang pura-pura menghilang, atau memang benar-benar menghilang di
telan perubahan.
Hanya kau, Aries...
Aku tahu kau ada dimana dan aku akan menghampirimu.
---
Setengah jam berlalu, mag-train yang Catur
tunggu sedari tadi akhirnya tiba. Siap membawanya ke tanah kelahirannya.
Membawa seluruh rasa rindu yang sudah tak lagi tertahankan hingga dia merasa
bersalah atas rasa rindu itu. Rasa salah yang harus menyiksa batin orangtuanya
karena tak ada pertemuan antara mereka. Dan Catur tersenyum. Sebentar lagi
semua itu akan berakhir. Berganti menjadi suasana kebahagiaan dan kehangatan
keluarga.
Catur menyiapkan ransel dan beranjak menuju mag-train.
Bersamaan dengan penumpang lain, dia memberikan tiket ke petugas mirip polisi
itu. Pintu tiga menjadi pilihannya karena lebih dekat dari tempat dia berdiri.
Kali ini tidak ada pedagang asongan di dalam mag-train, lain halnya
dengan apa yang dia alami di mag-train dari Lampung. Pedagang asongan di
Lampung menawarkan benda yang aneh-aneh. Tidak sesuai dengan keadaan. Kacamata,
tas anak-anak, boneka, gantungan kunci. Sampai-sampai Catur terpaksa membeli
ikat pinggang karena tidak tahan terlalu lama di tawari oleh pedagang-pedagang
asongan.
13, nomor itu tertera di tiketnya. Itu menyebabkan
Catur harus masuk dari pintu dua. Tas berat dipunggungnya membuat Catur malas
berpindah. Namun rasa rindunya membuat tas itu ringan sehingga dia langsung
keluar dari pintu tiga itu.
Catur duduk di samping kaca. Menunggu waktu untuk
memindahkan dirinya ke Sekayu.
---
Agaknya aku terlambat. Tinggal beberapa penumpang yang
bersiap masuk. Aku bergegas ke pintu dua, seraya menyapa petugas tiket dengan
senyuman seramah mungkin. Hal itu aku dapatkan dari Yogya karena kata seorang
tetanggaku, senyuman itu dapat mengubah penampilan seseorang seratus delapan
puluh derajat. Sayangnya petugas itu terlalu sibuk dengan puluhan tiket
ditangannya. Senyumanku diacuhkan. Aku hanya disuruh masuk dan mencari kursi
sesuai dengan nomor di tiket. 9.
Ini bis atau kereta api?
Posisinya berbeda seperti yang aku naiki di bandara.
Kali ini persis seperti bis. Saling membelakangi. Mataku langsung tertuju pada
angka 9 di kursi itu. Itu dia...
Kali ini kaca akan menemaniku. Pikiranku dapat dengan
leluasa melayangkan imajinasi menembus kaca mag-train ini. Dari dulu aku
menyukai perjalanan dari samping kaca. Hamparan sawah, rumah-rumah, sungai,
pantai, dan apapun yang dapat aku lihat dari balik kaca. Terlebih ketika
merasakan dinginnya angin laut selama empat jam di atas kapal di selat Sunda.
Aku lebih menyukai perjalanannya daripada tempat yang aku tuju.
Semua penumpang larut dalam diamnya. Kereta api ini
benar-benar tidak bersuara, batin ku bergumam. Sampai-sampai aku bisa
mendengar suara musik dari headphone salah satu penumpang dibelakangku.
Meski itu hanya terdengar gemerisik. Aku memutar kepala dan melihat penumpang
itu. Headphoneditelinga dengan mata dan hidung yang tertutup slayer.
Hanya mulutnya yang nampak. Sepertinya benar-benar tak ingin diganggu.
Kereta api modern itu membawaku ke persinggahan
terakhir sebelum aku benar-benar tiba di rumahhku. Setengah jam lebih mataku
tertutup, tertidur di kursi empuk itu.
---
Catur terbangun kala petugas peron membangunkan
penumpang disampingnya. Catur tak sadar bahwa dia telah tertidur dengan headphone
masih melekat di telinga dengan slayer yang menutupi muka. Sebagian penumpang
sudah keluar dari gerbong mag-train. Hanya beberapa yang tersisa. Catur
membereskan tasnya yang tergeletak di bawah kursi. Dengan mata yang masih
berkunang-kunang, Catur tampak kesulitan mengeluarkan tas besarnya itu. Jarum
jam ditangannya menunjuk ke angka 12.15. Perjalanan yang singkat, Catur
menggumam.
Tatkala Catur melewati kursi didepannya, dia melihatku
sedang terlelap tidur. Wajahku yang kubenamkan ke bantal dan mengarah ke kaca
membuat Catur tak mengenaliku. Penumpang disampingku tak membangunkanku hingga
aku masih tak sadar dari tidur. Catur berinisiatif membangunkanku.
“Pak.. pak.. La di Sekayu.”
Tangan Catur sedikit menggoyangkan bahuku. Aku sedikit
terbangun. Kulihat beberapa pedagang asongan melihatku dari balik kaca. Dan
bangunan didepanku tidak bergerak lagi. Mataku sayup-sayup terbuka.
“Pak.. bangun pak... la sampai...”
Aku tersentak. Pendengaranku kembali berjalan normal.
Suara yang membangunkanku terdengar akrab ditelingaku. Wajahku beranjak dari
arah kaca. Kulihat orang yang sangat aku kenal tengah berdiri di jarak setengah
meter dari tubuhku. Tanganku beberapa kali menggosok-gosokan mata. Dan
ingatanku yakin, bahwa orang yang didepanku adalah Catur. Tapi mulutku masih
tetap tertutup.
---
Catur sedikit tak percaya ketika melihat wajahku
muncul dari balik bantal. Aku yang perlahan memindahkan bantal dari wajahku
membuat Catur tergagap.
“Yooo... Rio?!!” Catur sedikit berteriak melihatku.
Tangan kanannya menunjuk-nunjuk wajahku. Dari nada suaranya, aku tahu dia masih
berusaha meyakinkan dirinya sendiri tentang aku yang berada di depannya.
“Caturr....!!. Tur!. Ao cohh.. aku Rio coh!!....” Aku
berdiri. Rasa nyamanku sisa-sisa tidur seketika hilang, erganti menjadi
ketegangan yang indah. Tangan ini tanpa diperintah menepuk pundak Catur
sekuat-kuatnya. Catur membalas pukulanku dengan pelukan erat. Pelukan sahabat
yang baru bertemu. Petugas peron hanya memandangi kami berdua dengan wajah
bingung. Hingga akhirnya kami disuruh keluar dari peron.
Aku dan Catur akhirnya duduk di salah satu warung
bakso.
“Jadi nga yang makai headphone ngen slayer
tu? Aku dak tau mun itu nga. Mulut nga yang cuma tejingok.”
“Ao Yo. La dak kade nga dak ingat ngen bentuk mulutku
coh.”
“La laen lah mulut nga dulu dengen mulut nga mikak.
Dulu tu nga dak bekomis. Ikak jingok, mane bejenggot sampai telinga, kumis
tebal pulek. Payo cokor Tur.”
“Hahahai, Babat Babat.... La lame nia ku dak nyingok
nga Yo. Namek kabar nga mikak?”
“Alhamdulillah coh. Baek... Cak mane nga? Nga mudik
dari mane? Begawe mane?”
“Aku la lame Yo dak balek. Caye dak nga kalu ku la 4
tahun dak ngulang ke Sekayu?”
“Nga ikak gile Tur. Empat tahun dak balek. Ape dak
indu ngen wang tue!”
“Aku begawe di Kalimantan coh. Eksplorasi uranium. Di
tengah utan dak tau daerah mane setu. Kerne ku merasek itu lah, jadi aku
balek,” kata Catur lirih. “Nga dewek dimane?”
“O.. Aku di jogja tulah. Keterime jadi pegawai
pengajar. Dem ku netap di situ. Tapi aku dak cak nga coh. Lebaran aku balek
terus. Hahah.”
“Ao nga pacak tawe, aku tiap malam nengo monyet tawe.
Persis suare e cak suare nga.”
“Hahah... Masih pacak ngate tulah meski lame idop ngen
monyet. Dapat kule monyet betine dak?”
“Bukan monyet Yo, tapi labi.... Nga nak dak?”
“Aku mesan sikok ek, tapi yang seksi.”
...........
“Hahah. Aku dak nyangko betemu ngen budak Babat lagi.
Yo Yo....”
“Untung ku tetidok. Mun dak tu dak pacak nyingok kule
Sema lagi.”
“Ya Allah. Masih ingat reti e. Eitt, namek kabar budak
lumpaton tu? Nambah langgeng kalu.”
“Kubuu... Jangan salah Tur. Anak sultan Jogja kule ku
mikak. Jadi nga jangan macam-macam.”
“Anak sultan Jogja?.... Bekule ngen anak sultan Jogja
tu naek helikopter, dak e naek kereta api.”
“Masalah e kak kami dangbreak. Jadi belum
komunikasi dulu. Aku dak galak die nganggu ku. Banyak gawe coh.”
“Dem dem dem.. Pembong pembong.”
............
Kami bersenda gurau hingga lupa akan tujuan semula,
pulang ke rumah. Kami mengulang masa-masa dulu, dan bahkan aku tidak melihat
perubahan dalam diri Catur. Tetap seperti dulu. ternyata anggapanku salah
tentang mereka. Catur yang aku anggap mewakili semua sahabatku masih menyimpan
karakter dia dan teman-teman sedari kami berkenalan untuk pertama kali. Aku
merasakan semua sahabatku semakin dekat. Atau setidaknya, aku dapat bertemu dua
dari sepuluh sahabatku, Aries dan Catur.
“Oy ao Tur. Sampai kapan nga di Sekayu? Payo kitek
nyingok Ries.”
“Payo. Aku dak tau kapan ku ngulang lagi. Tapi aku
belum tepeker tentang etu. Yang penting aku nak betemu ngen bekompol ngen
keluarga dulu ku coh.”
“Anak yang baik....Sip lah. Gek ku ngabar ke bae kapan
nak nyingok e.”
“Nga nak langsung ke Babat? Ke umah ku dulu bae coh.
La lame kan nga ke sekayu. Sekaligus nyingok sma kitek dulu.”
“Hmmmm. Kire-kire somay depan umah sakit masih ade
dak?”
“Masih ade coh. Tapi dak lagi depan umah sakit, mikak
la di bawah umah sakit.”
“hhh... siplah. Aku miluk nga.”
“Dem payo...”
“Ojek?”
“Angkot-angkot.”
..........
Dengan sebuah ketidaksengajaan, aku bertemu dengan
salah satu sahabat lamaku, Catur. Bukan ketidaksengajaan, tapi sebuah
keajaiban. Indahnya hidup jika dilalui dengan orang-orang yang dicintai.
Keluarga dan sahabat adalah bagian hidupku yang selalu memberikan warna indah.
Mereka yang mengalir di setiap volume darah, memberikan kesejukan di bawah
terik matahari, menyuguhkan kenyaman di sela-sela kesibukan, menawarkan air di
tengah keringnya kerongkongan, memberikan nafas ceria di balik hawa panas....
Itulah keluarga... Itulah sahabat...
---
Juli 2022, Sabtu sore, 16.30
Gedung SMAN 2 Sekayu
Sore itu, keadaan di lingkungan sekolah terlihat sepi.
Hanya nampak beberapa anak yang duduk di dekat tiang basket. Juga beberapa cleaning
service masih sibuk dengan bunga dan tetanaman di dekat laboratorium kimia.
Keadaan itu telah menjadi kebiasaan. Sabtu sore biasanya digunakan warga
sekolah untuk pulang kampung atau melepas penat dengan beristirahat di rumah.
Lain halnya dengan sore hari saat Senin sampai Jumat, yang sering digunakan
warga sekolah untuk berolahraga atau sekedar nongkrong-nongkrong di
koridor sekolah.
Tiga pria itu tengah berdiri di lantai tertinggi.
Tempat itu semacam lantai untuk meletakkan bak-bak air. Pandangan mereka
seragam, jauh melampaui hutan-hutan di seberang Musi. Mulut mereka terkatup
saling diam satu sama lain. Nafas yang panjang terhirup dan terhembus
dari hidung, menyebar ke dalam darah melalui alveoli-alveoli. Dari udara-udara
di sekeliling tubuh mereka, ketiganya kembali merasakan hawa yang pernah
dihirup dua puluh tiga tahun yang lalu. Satu diantaranya memejamkan mata.
Dan.....
“Aaaaaaaaaaa.....!!!!!!!”
Huruf A yang keluar spontan dari mulut Reno
menyadarkan dua rekannya dari lamunan jauh itu. Kejutan singkat dari Reno hanya
berpengaruh sebentar bagi Galih dan Egyd. Keduanya kembali terlihat merenung,
menikmati arak-arakan awan dan satu burung yang terbang bebas bersama beberapa
sahabatnya. Reno menundukkan kepala dengan tangannya berpegang erat ke besi
pembatas.
“It has been very long time I was not here...”
“Same coh.”
“Hmmmm.”
“Sebuah kenangan telah kita buat di tanah ini. Di
ranah yang kita pijak ini. Itu tak akan bisa terganti dengan apapun.
Kecuali...”
“Kecuali.... sahabat-sahabat yang lain juga ada
disini, sekarang,” sambung Reno menyambar puisi singkat dari Egyd.
“Kecuali mereka juga merasakan apa yang sedang kita
rasakan, sekarang.....”
“Merasakan kerinduan yang sama, hanya saja berbeda
tempat dan suasana. Kali waktu kita akan berdiri di waktu yang sama.”
Mereka bertiga berpuisi sesuai pikiran yang mereka
rasakan. Suara mereka larut di tenang keadaan yang bersahabat. Situasi yang
berbeda dengan Reno rasakan selama ini. Atmosfer pertemanan yang sangat indah
dirasakan Galih. Dan udara persahabatan yang kembali memenuhi kotak kenangan
Egyd. Namun, masih ada yang kurang. Masih banyak.
“Mungkin banyak ughang yang lebih jauh berkelana ke
belahan dunia lebih dari kitek. Ke Amerika.... Rusia.... Australia.... Tapi aku
merasek, aku... mungkin kamu pulek merasek... lebih jauh pegi... karene
pegi ninggalke kawan-kawan. Merasek keilangan yang panjang.”
“Hahaha. Cak kak na coh. Betemu dengan kamu, muat aku
merasek aku bukan siape-siape lagi. Aku, aku, aku cuma Egyd. Bukan ughang yang
sukses atau ape ape. Aku merasek... aku merasek... segalek e tu ilang pas
betemu dengan kamu.”
“Betul coh. Aku pulek cak tu. Sikok kate. Sederhana.
Jela dak?” Galih menimpali.
“Mantap... Kalu kitak pacak betemu galek, aku jamin
ikak kak refreshing ku paling sip selame ku begawe.”
“Sip. Aku nak jauh-jauh dulu dari gawe. Kalu pacak,
lali galek carek begawe. Jadi betul-betul refresh. Hahah.”
“Aku belum tepikir nak begawe coh. Ku nak merelaksasi
otakku. Di Sekayu. Tapi sayang.. di Sekayu suek pantai. Jadi kurang gress.”
“Dari nenek anang ku bujang, Sekayu suek pantai coh.
Men nak ke pantai, nah ajak Reno ke.... Kemane No?”
“Kemane coh?”
“Nga meraga lali. Siape No hek cerita lama tu?”
“Dedulu kubu. Masih ingat bae congkoh-congkoh ikak.
Lupakan coh.. Lupakan.”
“Hahaha. Do do makkk. Aku masih ingat tapi ku enggan
bae nyebut e. Kela Reno.”
“Kagek. Mun betemu Yan. Nak tanyeku nia. Aku masih
ingat pulek hek Yan. Guattttiikkk!!”
“Hahhhhaa. Dem dem dem. Same bae kamu bedue tu coh.”
“Mentanglah kamu bedue ikak benasib baek pas SMA.”
“Jadi secare dak langsung, naseb nga tu jat No. Etu tu
bukan naseb jat No. Etu tu anugrah terindah yang pernah kau miliki, dan akan
kau miliki, No. Jangan dipungkiri lah.”
“Etu tu gara-gara nga, Lih.”
“Bukan gara-gara ku coh. Etu tu la di gariske Tuhan. Garis
takdir nga di dibuat. Dan, dia itu tercipta dari tulang rusukmu No. Aku cak
nolong mun nak ke situ.”
“La ngape raga serius ikak coh?”
“Untuk kebaikan nga. Nga bahagia, kami bahagia No. Nga
kan la mapan mikak. La begawe tetap, la begaji. Hukum e jatuh wajib No nga tu.
Jadi, jangan nunggu lame-lame. She is yours, Reno. Ambil dan gapailah.
Hahahah.”
“Nga kan single. Atau dalam kate laen, jomblo
lah. Inilah saatnya menuntaskan ke-jombloan nga tu No.”
“Dem payo balek bae. Raga nengo cawa kamu kak, aku nak
terjun dari sikak.”
“La men nga terjun, nga sekarat, mati. Terjadilah
kehilangan yang besar bagi dia No. Cinta sejatimu akan hilang No. Hahaha.....”
“Haha... Di semua tempat, kita bisa menemukan cinta.
Tapi tidak untuk cinta sejati. Karena cinta sejati berada di satu tempat, yang
justru akan mengambil kita, mengarahkan langkah kita untuk menjemputnya,
sekalipun kita tidak menyadari itu.”
“Sama seperti sahabat. Kehadiran sahabat-sahabat
adalah cinta sejati. Tapi dalam konteks yang lain.”
“Hmm. Boleh boleh... salah satu bukti e, cinta sejati
la nemuke kitek waktu tu di Jogja. Tapi, asek ku, nengonye cak homo homo ek.
Cinta sejati antara pria dengan pria.”
“Memang kalu nak diomongke, tedengo cak homo. Tapi,
sebenok nye, memang cinta sejati yang ade di situ. Nah, dari zaman batu sampai
mikak, dak suek tedengo cinta sejati antare lanang dengan lanang. Jadinye agak
tabu.”
“Dengen pulek, itu tu bukan rasa cinta yang menjijik
ke. Memang ade cinta sejati antare sahabat-sahabat, tapi ku enggan domongke mun
ku cinta ngen nga Gyd, atau ngen nga No. Itu tu yang beno-beno homo. Hahaha...”
“Jela coh. Cinta sejati dak selamenye identik dengan
betine lanang. Tapi siape bae yang muat kitek merasek kitek ade untuk die.
Contohnye tadi, cinta sejati sahabat. Nah yang lebih lame lagi, yang la kitek
rase ke dari kitek lahir sampai kitek mikak. Cinta sejati orang tua, ngen
keluarga.”
“Beno nia coh. Tapi sebenoknye lagi, ade cinta sejati
yang lebih dari itu galek. Tau dak kamu?”
“Aku tau Gyd. Cinta yang di pucuk,” Galih menunjuk ke
atas seraya tersenyum.
“Subhanallah,” ucap mereka bersamaan.
“Hahahhhhaaa....”
Mereka bertiga tertawa lepas setelah menyadari bahwa
mereka hidup selalu dikelilingi oleh cinta. Cinta apapun itu. dan mereka tau,
cinta sejati akan bisa membawa mereka kembali ke kenangan-kenangan nyata yang
sempat hilang.
Egyd melihat seseorang berpakaian security berjalan
kearah mereka. Egyd tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu.
“Coh, cak nye tu kitek la di usir. Tu nah, ade satpam
bejalan ke sikak. Payo turun.”
“Oke. Kita cukupkan untuk hari ini. Payo berenggot.
Masih ingat dak dulu, betapa bengis dan sangarnya satpam sekolah ini?”
“Masihlah. Aku la dem kate e ****. Hahah.”
Setelah itu terdengar tepukan dari bawah. Mereka
bertiga hanya saling memandangi.
“Nah kan.”
Sore itu Reno, Egyd dan Galih bernostalgia dengan
arak-arakan awan dan beberapa burung terbang di sekitaran mereka.
Tatkala azan maghrib berkumandang, mereka telah berada
di masjid kecil samping rumah Egyd. Menunaikan perintah-Nya dengan segala
kesadaran diri akan cinta sejati-Nya. Hari itu mereka tahu bahwa cinta sejati
tidak hanya untuk pria dengan wanita atau sebaliknya. Cinta sejati juga untuk
pria dengan pria. Dan lebih tepatnya, cinta sejati ke sahabat-sahabat mereka.
to be continued ..........
Komentar
Posting Komentar
There's Any Comment Guys?