Korelatif 2 (Part 4)
Aku dan Catur telah bertemu
Begitu juga Egyd, Galih, dan Reno. Bahkan telah lebih lama
Tulus dan Jeni masih dalam pencarian
tiga titik itu telah bertemu
tapi masih terpisah
---
Juli
2022, Senin pagi
Ruang
tunggu, sebuah bank di kompleks pasar Sekayu.
Wajah
Atok terlihat lusuh, menandakan dia sudah tak betah di bank tersebut. Duduk
sedari jam 7 hingga jam 11, hanya menunggu namanya dipanggil untuk
menyelesaikan sesuatu hal tentang keberangkatannya ke Brazil. Dia lupa mengurus
hal itu di kantor pusat tempat dia bekerja. Atok tahu urusan tersebut adalah
urusan yang berbelit-belit, hingga dia benar-benar menyesali kelupaannya itu. Hasilnya,
Atok harus berlama-lama terduduk di bank.Gadget
hitam ditangannya tidak mampu mengusir rasa kebosanan yang ia rasakan.
93,
angka yang tertera di nomor antriannya. Hidungnya mendengus cepat seraya
melihat nomor antrian di LCD komputer yang masih menunjukkan nomor 69. Sepertinya akan menjadi hari yang panjang
dan membosankan, batinnya menggumam. Tak ayal, dia harus menunggu hingga
sore sampai namanya dipanggil. Empat jam lagi dia sudah harus dipanggil karena
selama dia duduk, dia menghitung rata-rata waktu untuk satu pelanggan, 10
menit. Coba saja ada teman-temanku disini,
tentu takkan sebosan ini, batinnya kembali bergumam.
Tangannya
meraih koran nasional yang tertata apik di meja kaca itu. Bermaksud mengusir
kejenuhan, mata Atok teratur mengikuti kalimat-kalimat di kolom-kolom koran.
Mulutnya sedikit terbuka tertutup seiring dengan konsentrasi pikirannya yang
muncul tentang hal yang ia baca di lembaran-lembaran kertas itu. Matanya
tertuju tentang peresmian jembatan Selat Sunda oleh presiden di Bakauheni.
Terakhir waktu dia mengetahui tentang itu ketika dia baru lulus kuliah. Saat
itu pemerintah benar-benar berkomitmen untuk menggunakan tenaga-tenaga anak
bangsa sendiri.Pun akhirnya Indonesia bisa. Indonesia tidak menggandeng negara
manapun dalam proyek besar itu. Memang rakyat berkeyakinan proyek tersebut akan
dilakukan mengingat beberapa tahun terakhir, tanah air menjadi negara termaju
di Asia Tenggara di bidang kelautan dan teknologi. Tak heran jika anak-anak
bangsa dapat mempekerjakan otot-otot mereka sendiri untuk kemajuan negeri. Bukan
untuk memeras keringat demi kekayaan negara lain.
“Kita
bangga dengan anak bangsa. Dengan semangat mereka, kita dapat merasakan
kemudahan-kemudahan. Khususnya untuk jembatan penyeberangan Jawa Sumatera. Kita
patut berterima kasih dengan pemuda-pemuda bangsa kita, bangsa Indonesia.” Itu
kutipan pidato presiden yang dibaca Atok di headline
news koran itu. Hatinya terketuk. Penggalan pidato itu serasa menyinggung
dirinya. Menyinggung dirinya yang tengah bekerja untuk negara lain, bukan untuk
bangsanya sendiri. Tak ada yang memungkiri pilihan Atok untuk bekerja di tanah
orang. Bahkan, tak ada yang memaksa Atok untuk mau bekerja di tanah air. Itu
hak dan pilihannya sendiri. Tinggal, dirinyalah yang berhak bersuara. Apakah
ingin menyejahterakan penduduk negara luar atau ikut dalam pembangunan negeri
sendiri?
Disisi
lain, dia benar-benar ingin menjejak tanah lain. Tapi, bacaan ringan itu
mengingatkan akan banyak hal tentang negerinya. Negeri yang telah memberinya
hidup hingga dia bisa seperti setinggi ini. Atok terlihat memejamkan mata dan
menundukkan kepala.
“Jika
seandainya aku ingin mengabdi ke negeri ini, jalan apa yang harus aku tempuh?”
terjadi debat kecil dihatinya.
Atok
lupa tentang kertas bertuliskan angka 93 ditangan kirinya. Dia tengah hanyut
dengan tengah aliran bayangan idealismenya yang kuat. Orasi-orasi yang pernah
dia keluarkan dari mulut berlapis kain merah seakan kembali terdengar. Teringat
kala waktu dia berjibaku dengan teman-teman mahasiswanya di tengah gas air mata
yang disemprotkan petugas keamanan negara Berjibaku demi kebaikan bangsa. Saat
itu dia dan teman-temannya berteriak-teriak kepada
petinggi negara untuk melepaskan hubungan di segala bidang dengan Amerika
Serikat. Amerika Serikat dengan kedigdayaannya berkonspirasi untuk
menenggelamkan Indonesia yang saat itu menjadi poros perdagangan dunia Timur.
Atok
teringat jelas saat dia dan teman-temannya tampil sebagai kekuatan dari pihak
pemuda. Melukiskan urat-urat leher dengan suara lantang yang diserukan ke
pemerintah sebagai perwakilan aspirasi masyarakat. Tentang pemerintah yang
korupsi, sistem pajak yang memberatkan masyarakat bahwa, serta berbagai macam
permasalahan negara menjadi sorotan mahasiswa Indonesia waktu itu, termasuk
Atok.
Sekarang
waktu itu sudah habis dan berganti dengan pengabdian melalui cara lain. Cara
yang lebih halus dan tidak berkoar-koar di tengah jalan. Namun, Atok berjalan
dengan cara lain. Mungkin suatu saat, dengan idealismenya yang masih tinggi,
dia dapat memberikan sesuatu ke negaranya. Setidaknya masyarakat kecil bisa
merasakan ilmu yang telah ia dapatkan. Banyak jalan untuk mengabdikan diri ke tanah yang sedang
menunggu pengabdian anak bangsanya ini.
Atok
termenung di kursi besi itu. Pandangannya lurus seakan menembus dinding
bangunan. Tatkala jam dinding berdentang kuat menunjukkan pukul 1 siang,
renungannya buyar. Matanya langsung beralih ke LCD. Angka di LCD masih
menunjukkan angka 76. Masih lama. Atok menoleh ke samping kirinya. Degg... Pandangannya berhenti di wajah
seseorang. Berjarak tiga kursi dari tempat duduknya, dilihatnya seorang bapak
yang ia kenal. Beberapa detik pandangannya melekat ke wajah bapak itu.
Ayahnye Catur?
Kursi
di samping bapak itu kosong. Atok beranjak dari kursi itu dan menuju ke kursi
tujuannya. Atok tahu bapak yang dia kenal adalah orangtua Catur, sahabatnya.
Atok berharap beliau masih ingat dengan dirinya.
“Assalamualaikum,
pak,” sapa Atok ramah seraya mengulurkan tangannya. Menciumi punggung tangan orang
yang dia hormati.
“Waalaikumsalam.”
Jawab ayah Catur dengan raut muka seperti menerka-nerka.
“Aku
Atok pak. Kawan Catur pas SMP ngen SMA. Namek kabar pak?”
“O,
Atok, kawan Catur. Maaf bae Tok. Pak la lali. La lame pulek dak jingok
kawan-kawan Catur. Umur la tue pulek. Jadi ingatan kak la bekurang.
Alhamdulillah sehat Tok. Ape begawe di Sekayu nie?” Balas ayah Catur.
“Alhamdulillah.
Aku dang mudik pak. Baru keluo begawe dari Riau. Ikak ke bank kak dang ngurus
surat-surat. Di pindah wang ke Brazil pak. Surang pak ke sikak?” Atok berbicara
apa adanya.
“Ai,
jao nye Tok. Di Brazil situ. Ape dak indu nak balek? Dak surang. Pak ngen Catur
ke sikak. Die dang depan” Balas ayah Catur polos.
Atok
tercekat mendengar jawaban ayah Catur. Sesuatu tengah menumbuk hatinya. Sesuatu
yang beda. Tak disangkanya bahwa akan ada satu lagi kisah hebat muncul. Satu
lagi sahabatnya tengah menunggu Atok. Dia merasa, satu persatu sahabat semakin
mendekati dirinya. Saling mendekat. Dimulai dari Yan dan Pije yang penuh dengan
keajaiban, dipertemukan di depan Masjid Jami. Dan sekarang, sahabat dengan
jarak terdekat dari dirinya adalah Catur. Semua yang diyakininya
berangsur-angsur terbukti.
“Ngen
Catur pak?” Seru Atok terkejut.
“Ao,
die la 3 arai dumah. Mun nak nemunye di luo.” Jawab ayah Catur seakan tahu apa
yang dirasakan Atok.
“Di
luo pak?” Atok menjadi gagap.
“Ao.”
“Aku
nemunye dulu e pak.”
“Lajulah.”
“Mekaseh
pak.”
Lima
detik kemudian Atok telah berpegangan dengan gagang pintu. Dari pintu kaca
terlihat punggung si besar Catur yang tengah duduk bersama beberapa orang di
area parkir bank. Tanpa disuruh, Atok menarik gagang pintu dan sedikit berlari
ke arah Catur. Catur membelakangi posisi Atok.
“Tur!”
Kata
pendek yang dilontarkan Atok tetapi cukup tegas untuk membuat Catur menoleh ke
Atok. Tanpa ada firasat sedikitpun tentang Atok, Catur memutar posisi tubuhnya.
Dan sekarang, kedua sahabat itu telah saling berhadapan. Catur hanya diam
seiring dengan selukis wajah akrab muncul di pantulan bayangan bola matanya.
Dirinya masih menahan sesuatu yang hampir meledak. Tangan yang masih terasa
kaku untuk bergerak dan otot yang membeku karena telah terlanjur menjadi asing
untuk seseorang yang sudah sangat lama tak ia jumpai. Benar saja. Sebersit
kisah Aray yang bertemu dengan Ikal di satu sudut kota akan terjadi.
“Atok?
Haha.. Atok!”
Sebuah
tawa yang ganjil keluar begitu saja dari mulut Catur. Tidak ada kelucuan
ataupun kekonyolan di dalam pertemuan itu.
Namun tawa itu lebih melambangkan sebuah ketidakpercayaan.Catur hanya
menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum aneh beberapa kali. Juga tangannya
yang belum berhenti mengusapkan ubun-ubunnya. Serta leher yang naik turun
memandangi tubuh Atok.
“Ape
nga dak indu ngen ku, Caturrrr!!!?”
Suaranya
sedikit membentak. Atok melebarkan kedua tangannya. Sama seperti apa yang dia lakukan
ketika bertemu dengan Yan dan Pije. Sesuatu yang ingin meledak dari dalam diri
Catur akhirnya menemukan tempatnya sendiri. Kedua sahabat itu tak tahan untuk
berdiri sendiri di tengah keterkejutan yang luar biasa.
Keduanya
telah duduk. Terlihat beberapa kaleng minuman
berdiri di samping mereka.
“Nga
dak ngudut coh?” Tanya Catur singkat.
“Pertamo
kuliah, aku masih ingat, Egyd ngomong jangan dulu ngudut. Aku nurut bae soalnye
aku tau die lebih paham tentang sebab akibatnye. Jadi dokter di mane die
mikak?”
“Heee...
Dak tau coh. Di Palembang kalu. Aku belum sempat ke umah e. Baru tige arai aku
di sikak. Payo kapan-kapan kitek ke umah e di simpang kowik situ.”
“La
kalu dak lagi situ die coh. Di situ kan pinggri Musi. Dulu be la nak terbes. La
pindah kalu.”
“O.....
Pindah ke mane lah kire-kire?”
“Dak
taulah coh.. Kalu di Palembang.. Kalu pulek. Oy ao. Namek kabar nga mikak
Caturrrr.. Singgo e la sepecak bandet ikak.” Atok bertanya seraya menepuk
pundak Atok, bermaksud mencairkan suasana.
“Haha........
Ikak kak la merasek melebeh bandet tok. Selame tige arai kak, asek e aku baru
ngerase nikmatnye idop.”
“Ngape
mitu?”
“Nga
pecaye dak kalu ku selame empat tahun, begawe mecak ughang-ughang pedalaman tengah
utan Bayung Lencir situ?”
“Ughang-ughang
pedalaman.....? Maksudnye....?”
“Haha.
Ao coh........”
Waktu
itu, saat Catur pertama kali berkenalan dengan hutan rimba. Asing. Ya....
Benar-benar asing. Tak pernah terpikir dan terbayang. Dia tidak tahu apa yang
ada di kegelapan hutan, di bawah daun-daun hijau, dan di antara pohon-pohon
besar. Berpuluh hal yang mengintai. Entah itu bahaya alam, ataupun hal ekstrinsik
lainnya. Dia minus tentang apa yang tersembunyi, dan kehidupan macam apa di
belantara. Sebelumnya, kehidupan hutan yang sulit hanya ia ketahui dari
acara-acara televisi, juga beberapa dari buku. Dia hanya melihat apa yang
nampak. Tidak merasakan apa yang tidak terlihat. Cuma, yang dia tahu, kehidupan
hutan tak akan seperti apa yang pernah ia tonton di televisi. Kenyataan hutan
hanya ditutupi oleh kemudahan-kemudahan para host-nya, yang tertawa jika bertemu hewan buas, atau tersenyum jika
menemukan tanaman beracun. Dia tahu itu hanya kamuflase. Penipuan agar acara
itu menarik. Tapi, yang ia yakini, risiko dari pekerjaannya akan berbanding
terbalik dengan hal yang kasat mata itu.
“Ngape
nga raga pacak ke situ?” Atok kembali bertanya.
Sederhana
saja, tantangan. Sebuah alasan sederhana yang aslinya tidak sesederhana itu.
Bahkan ke-kompleks-an alasan itu membuat diri Catur ingin keluar. Keluar dari
apa yang dia pikirkan, sederhana. Memang
masa muda masa yang berapi-api, kata salah satu pujangga lagu di zaman itu.
Hal tersebut membuat bara api di dalam semangat Catur untuk keluar, keluar dari
sesuatu yang biasa, menuju ke tantangan itu. Tantangan yang dia anggap
sederhana.
“Nga
pacak betahan selame empat tahun, cak mane carek?”
Terlanjur.
Terlampaui jauh telah masuk ke hutan belantara itu. Menyusup ke lebatnya rimba,
yang sangat sulit di tembus cahaya matahari di waktu siang. Juga sinar rembulan
yang susah untuk menapak ke tanahnya. Sudah jauh. Tanggung untuk pulang. Hasilnya, Catur hanya menjalani saja.
Menjalani sepenuh hati? Iya. Dengan interaksi-interaksi bersama alam, menyatu
dengan suara-suara hewan buas, bau-bau cacing tanah, dan seluk beluk hutan
lainnya.
“Hasilnye
Tur....? Gaji nga...?”
Menanyakan
hasil? Secara materi, nihil. Sang professor Jepang bersama Catur dan rekannya
tidak berhasil menemukan materi kimia itu. Zat yang dipercaya menyimpan energi
Einstein. Elemen dengan massa yang kecil, dapat memberikan ratusan megawatt
aliran elektron ke seluruh penjuru pulau, tidak mampu didapat. Bukan tidak
mampu, tapi belum. Elemen masih bersembunyi di balik tanah-tanah pegunungan
Kalimantan. Mungkin jika diteruskan sampai ke perbatasan, hal itu sedikit akan
menemukan pencerahan.
Tentang
gaji, Catur tak pernah mendapat sepeserpun gaji, waktu di Kalimantan. Siapa
yang mau mengantarkan gaji ke pelosok hutan? Ke tengah-tengah rimba raya? Hanya
petugas pos bodoh, bahkan terlampaui bodoh (mungkin idiot) untuk melakukannya. Perusahaan
pusatnya menjamin gaji Catur dan rekan-rekannya sepulang dari bekerja, apapun
hasilnya. Mau tidak dapat, atau mati di tempat, gaji itu akan tetap dibayar.
Bahkan, lembaran perjanjian itu terus mereka bawa hingga ke tanah Borneo, di
tengah-tengah pulau. Besarnya? Cukup menjanjikan. Empat tahun bekerja cukup
bagi Catur untuk menghasilkan setengah miliar. Setengah miliar! Cukup untuk
Catur yang bujangan.
“Cacam.
Perjuangan besok nia nga tu coh.”
Atok
tidak mengetahui bahwa ada hal besar yang harus dibayar Catur. Bukan tentang
uang dan materi. Tapi tentang perasaan. Ya. Bisa ditebak. Rasa rindunya yang
menggurat di leher. Tentang keluarga dan sahabat-sahabatnya. Hampir gila Catur
ingin pulang. Apa hendak dikata. Kontrak masih berjalan. Sekiranya kontrak
habis, takkan ada ojek atau angkutan lain hilir-mudik di hutan-hutan itu. Tak
ada pilihan lain, hanya bisa berdoa. Bermohon ke yang Kuasa, matanya masih bisa
melihat orang-orang yang dicintai. Sampai akhirnya Catur pulang bertemu
keluarganya, Atok, dan Aku. Hei! Catur hampir lupa. Catur masih menyimpan
cerita tentang Ku.
“Hahaha.
Cak tulah Tok. Cak mane nga?”
Belum
sempat Atok bercerita, ayah Catur setengah berteriak memanggilnya. Terlihat
tangan ayah Catur melambai-lambai sambil memegang kertas antrian. Atok tahu
bahwa itu adalah isyarat. Namanya telah dipanggil petugas bank. Atok beranjak
dari sebongkah batako, tempat duduknya.
“Agek
sambung lagi Tur.”
Atok
sedikit berlari ke arah pintu bank. Catur beranjak mengikuti langkah Atok. Jam
tangan Catur menunjukkan pukul 15.00.
---
Juli
2022, Senin Sore 16.00
Senin
sore itu, Yan bersiap-siap berolahraga dengan basket ditangannya dan Pije masih
sibuk dengan sepatu futsal. Kompak, jaket berwarna merah putih dikenakan oleh
Yan dan Pije. Jaket yang menjadi kebanggaan mereka waktu itu kembali melekat di
tubuh mereka.
Yan
terlihat memutar bola basket orange bergaris hitam melengkung-lengkung di ujung
jarinya. Serasa bertemu pujaan hati, Yan sesekali tersenyum menatap benda mati
itu. Beberapa kali nampak bola itu dipantulkan di lantai kasar. Sepertinya tak
sabar untuk memantulkan di lapangan basket SMA-nya.Tak ia pungkiri bahwa itulah
kali pertama dia memegang bola sejak bekerja. Sesuatu yang telah menjadi
hobinya dari SMA, basket. Dia berprinsip bahwa sejelek-jeleknya pria, kalau
handal bermain basket akan terlihat keren. Begitu sebaliknya.
Setampan-tampannya pria kalau tidak bisa bermain bola pantul itu, kharismanya
akan hilang. Yan memang menjadi salah satu ikon pemain basket di SMA dulu.
Postur tubuhnya yang kecil tapi gesit dan lincah membuat derajatnya meningkat
di kalangan lawan jenisnya. Teriakan-teriakan ‘Janita.... Janita!!’ selalu
menghiasi jalannya pertandingan tatkala Yan dengan jumpshoot-nya berhasil mendulang three point. Atau ketika seorang musuhnya tak mampu menyaingi lari
Yan ketika dribble dan membiarkan Yan
melakukan lay up indah. Dan juga saat
bola bisa masuk ke keranjang basket dari tangan Yan di situasi sulit dengan
gerakan fakeunderbasket. Itulah Yan
dengan kisah basket-nya di SMA.
Lain
halnya dengan Pije. Berperawakan yang tak jauh dengan Yan, tapi dia diandalkan
menjadi striker futsal oleh
sahabat-sahabatnya. Bersama dengan salah satu sahabat-nya Egyd, Pije adalah
pemain senior di ekstrakurikuler futsal. Sebagai senior, mereka akan langsung
bermain tanpa latihan terlebih dahulu. Pernah kali waktu ketika classmeeting, seorang striker lawan yang
berpostur tinggi besar berhasil dicederai oleh Pije, dengan tandemnya Catur. Hasilnya,
untuk beberapa hari, striker itu terlihat pincang. Melihat kejadian itu, Pije
bisa dijadikan striker yang handal sekaligus bek kuat.
“Kitek
dak ngajak Atok?” Yan membuka obrolan.
“Tadik
la di omong ku. Ujo nye kagek nyusul. Die baru balek dari bank. Ade hal penteng
nia nak die omongke.”
“Hal
penteng? Namek Je?”
“Tadik
dak denjuk tau e. Dak pacak domong liwat telpon ujo nye.”
“Cacam
yek Atok ikak.”
“Nah
kitek nak jogging ape bemotor?” Tanya Pije.
“Jogging
bae lah. La lame dak jogging di Sekayu ikak.”
“Oke.
Minyak motorku abes pulek coh. Jadi dak pacak bemotor. Ke Smanda kan?”
“Ao
coh. Jingok kitek la rapi bejaket Smanda. Kade dak temesan satpam situ mun
nyingok ade siswa setue kitek.”
“Setue
kitek ape coh? Masih pantas di kateke siswa kitek kak. Masih unyu-unyu.”
Terkesiap,
Yan berbalik arah. Yan melihat bayangan tubuhnya di kaca jendela rumah Pije.
Dia terlihat memegang dagu, berpose untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakan
Pije itu tidak keliru.
“Ao
edak. Masih cak lame tu lah. Untung pas di Arab dak suek bom yang ngene ke
mekan. Mun dak tu la ancur. Dak lagi tejingok mude coh.”
“Hahaha.”
Pije hanya tertawa mendengar gurauan Yan. Semenit berlalu, Pije hanya diam dan
terlihat seperti berpikir. Tentang negeri Arab yang Yan katakan, ada sesuatu
hal muncul lagi di otaknya. Kejadian tragis yang dia alami bersama Yan ketika
di suatu sudut kota di Palestina.
“Coh,
nga masih ingat dak pas taun pertamo kitek di Palestina. Waktu malam tu nah. Di
kota Burej?”
Yan
nampak berpikir. Dia kembali menyusuri ingatannya tentang kejadian di Burej.
“Yang
kitek la nak kene roket tu? Yang kalu kitek telambat lime detik bae, kitek
gugur?”
“Ao
coh. Pas waktu tu, aku dak tepeker hek ape-ape lagi. La soalnye roket tu la
ngarah ke kitek nia.
Pokoknye aku harus pacak ngendongke budak tu jao-jao.
Andam nie pesawat tu. Aku pikir etu bukan roket, soalnye tejingok cak bintang.
Tau-tau, ade yang merek, ngenjuk tau mun setu roket.”
Tentang
negeri Arab yang mereka ceritakan, ada sesuatu hal muncul lagi di otak Pije.
Kejadian tragis yang dia alami bersama Yan ketika di suatu sudut kota di
Palestina.
Suatu
malam di sebuah jalan yang membelah kota El Bureij, dekat Gaza, terlihat
kerumunan penduduk lokal dan beberapa pejuang Palestina yang lengkap dengan
senjata di bahu mereka. Pejuang-pejuang itu berusaha melindungi penduduk dari
satu roket Israel yang ditembakkan dan jatuh beberapa meter dari kerumunan itu.
Terdengar jeritan penduduk yang kebanyakan adalah anak-anak dan perempuan. Yan
dan Pije beserta kelompok relawan medis tengah berlarian menuju kerumunan itu.
Bersiaga dan waspada tentang kemungkinan terburuk yang terjadi, adanya korban
jiwa. Relawan medis dengan cepat memindahkan korban serpihan rudal ke dekat
gedung.
Di
tengah upaya relawan berjibaku dengan darah dan luka, frekuensi suara menderu terus membesar
menandakan sebuah pesawat kembali terbang mendekat ke arah gedung. Persamaan efek Doppler yang mengatakan frekuensi
suara terus bertambah seiring jarak sumber suara jelas adanya. Pesawat itu
terus mendekat, walau tak nampak. Sama seperti pesawat pertama, rudal kembali
menghantam sebuah gedung yang tak jauh dari tempat para penduduk berlindung.
Tak ayal jika rudal itu bak sebuah gempa buatan yang menggetarkan tanah-tanah
disekitar gedung itu. Penduduk El Bureij masih tetap tersenyum menghadapi
kejadian-kejadian tragis itu. Tersenyum dalam jeritan. Karena mereka tahu,
rudal-rudal yang beterbangan itu adalah anugrah, anugrah untuk mengantarkan
mereka ke ke-syahid-an.
Lima
menit berselang, dengan semua perasaan yang bercampur aduk, sekumpulan penduduk
itu melihat sebuah titik terang terbang di atas mereka. Titik terang itu
semakin membesar hingga satu pejuang berteriak. Pije tak mengetahui apa yang
pejuang itu teriakan, tapi mereka tahu apa maksud pejuang itu. Titik terang itu
adalah sebuah roket dari pesawat.Titik terang berwarna oranye kemerahan itu
tengah bergerak mengarah ke mereka. Tanpa dikomando, para pejuang dan relawan
medis menggendong penduduk ke tempat yang lebih aman. Mereka tahu bahwa
terlambat dalam waktu lima detik saja, roket ganas itu akan menghantam mereka.
dalam lima detik itu juga, seluruh penduduk di titik itu telah sedikit
berpindah. Relawan medis dan pejuang terengah-engah memanggul penduduk demi
keselamatan.
Dan......
Duarrrr!!! Roket itu menghantam tepat di tempat perlindungan penduduk waktu
itu. Berjuta partikel debu dan zat kimia memencar di sekeliling mereka.Terlambat
sedikit saja, nyawa mereka melayang. Hampir gugur.
Pije
masih teringat jelas tentang perjuangan bersama rekan-rekannya. Sampai pada
akhirnya, garis takdir masih memberikan kesempatan bagi Pije dan Yan untuk
tetap menjalani hidup. Memberikan waktu yang lebih untuk terus memperbaiki
diri.
“Dem
tapi Alhamdulillah. Kitek masih pacak balek. Masih pacak betemu keluarga.”
“Ao
coh. Dem payo berangkat. La jam empat ikak.”
Mereka
tak sadar bahwa ibu Pije telah bersama mereka sambil mendengarkan kisah Yan dan
Pije.
“Laa..
Ade umak..” Kata Pije.
“Umak
kak la nengo cerito kamu dari tadik. Kamu bae dak tau.”
“Ao
bik. Alhamdulillah nia. Awak kak masih utuh, dak suek hek ilang.” Balas Yan.
“Mak,
mun ade Atok, ku ngen Yan ke Smanda yek. Ujo nye die nak ke sikak.”
“Ao..
Ati-ati bae. Jangan balek malam igek.”
Yan
dan Pije bertatapan dengan wajah seakan menahan tawa.
“Acam.
Smanda sikaklah mak. Dak i jauh. Peraseanku pas ku sma, umak kak dak olah
ngomong cak tu.”
“Hahaha.”
Yan
dan Pije berlalu. Dua orang sahabat ini tak pernah menyangka akan menghadapi
hidup seperti itu.
---
Lima
belas menit berselang dari keberangkatan Yan dan Pije ke Smanda, Atok tiba di
serambi rumah Pije. Dilihatnya hanya ada ibu Pije yang tengah melipat
pakaian-pakaian. Tak ambil waktu Atok langsung menghampiri ibu Yan.
“Assalamualaikum,
bi, ade Pije dak?”
“Waalaikumsalam.
Doni ngen Ian ke sma tadik Tok. Kire-kire seperapat jam tadik.”
“Bedue
bae bi? Mekase bi. Pegi dulu. Assalamualaikum.”
Atok
sungkan untuk berbasa-basi. Ada yang lebih penting dari itu. Catur. Secepatnya
motor di starter. Brrrrrmmmmm. Gas ditarik pol.
Tujuh menit berlalu.Atok telah berada di depan gerbang Smanda, sekolahnya dulu.
Sekolahnya bersama sahabat-sahabatnya dulu. Tepat di bundaran sekolah, Atok
berhenti. Dilihatnya Yan tengah memantulkan bola basket. Pije tengah berlari
bersama anak-anak sma, ikut bermain futsal. Atok tersenyum melihat keduanya.
Persis seperti dua belas tahun yang lalu. Sama dengan suasana penuh semangat
dan kekonyolan khas anak sekolahan. Sejenak ia berpikir. Hendak ia melapor ke
dua sahabatnya itu tentang pertemuannya dengan Catur kala di bank. Tapi, niat
itu dia urungkan.
“Lebih baik aku ajak Catur ke Smanda. Skenarionya
akan lebih dramatis,” Atok menggumam.
Atok
kembali mengebut dengan motornya.
Melintasi jalan setapak. Jalan yang dulu pernah ia lewati, bersama dengan
sahabat-sahabatnya. Atok teringat kala itu. Waktu masih bergelut dengan
keremajaannya.
Bagi
Atok, Jum’at malam adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama
sahabat-sahabat. Mungkin juga dirasakan sahabatnya yang lain. Dan kos-ku lah
yang menjadi persinggahannya. Atok adalah pemain voli di sma, namun lebih
banyak menghabiskan waktu olahraga dengan basket. Aku yang mengajaknya. Aku
masih teringat kala three point Atok
berhasil membangitkan semangat kelas kami kala classmeeting. Dan akhirnya, kami menang.
Bersama
Aku, Yan, Catur, Galih, dan Reno, Atok (sahabat-sahabat lain? Ah. Ada cerita
tersendiri) menghabiskan malam Sabtu dengan bermain musik di salah satu studio
di jalan Merdeka. Lagu apapun kami mainkan. Tak tahu apakah merdu, atau
sumbang, atau fals. Yang penting kami menikmatinya. Atok jadi pemain apa?
Bassist. Lagu yang paling dikuasai? Selamat Tinggal-nya Five Minutes.
Berhari-hari Atok mempelajari lagu itu. Gitar di kos-ku, habis dilahapnya.
Ditekan-tekan senar gitar paling atas. Dem-dum-dem-dem-dum.
Suara bass terus-menerus terdengar. Entah itu di kos, di tangga bajep, di
apalah. Pekerja tambang ini memang bassist hebat.
Atok
hanya tersenyum mengingat sekelebat kenangan di memorinya. Atok bertaruh,
situasi itu tak akan pernah bisa terulang kembali. Sampai ada kun fayakun dari Yang Maha Kuasa,
situasi itu baru akan terulang. Atok berani bertaruh. Satu juta? Dua juta?
Hanya saja dia tak berani bertaruh apakah Ronaldo lebih baik dari Messi.
Atok
menatap lurus ke sebuah rumah di depannya. Rumah yang sangat familiar di
matanya. Dikenangannya. Rumah mini dengan pohon jambu yang tengah memerah.
Penuh dengan buahnya yang ranum. “Ah, aku
tidak lapar.” Atok melawan pikirannya. Tak peduli dengan buah-buah itu,
Atok bersegera menggerakkan pagar besi berat itu.
“Assalamualaikum.”
Atok sedikit berteriak. Satu kali. Dua kali. Didengarnya samar-samar jawaban dari
dalam rumah.
“Waalaikumsalam.
Masuk coh.” Catur membuka pintu.
Atok
menarik napas panjang. Berusaha rileks agar semua sandiwaranya tidak terkuak.
Ya sandiwara. Namun Atok tak cukup handal untuk bersandiwara.
“Nak
minum ape coh?” Catur bertanya tentang itu. Seolah-olah Atok adalah orang lain.
“Dem
ay. Ku kak tetap Atok. Tetap yang dulu. Dulu-dulu aku mintek baru dienjuk. Nah
mikak cak tu lah pulek. Dak berubah. Hahaha.”
“Ao
ao. Tok, payo ke sekolah bae. Kalu-kalu ade budak maen futsal. Untung-untung
dajak e. La lame nia kaki kak dak nendang bola.” Catur beringsut mengajak Atok.
Atok terkesiap. Serasa sandiwaranya menemui jalan yang lancar. Tidak berbatu.
Niatnya ingin mengajak Catur ke sekolah, justru Catur yang menawarinya lebih
dulu. Atok membayangkan apa yang akan terjadi. Ketika Catur berpelukan dengan
Yan dan Pije. Ketika tawa mereka akan kembali menyatu. Semua telah terbayangkan
oleh atok. Atok Hanya tersenyum. Ini dia,
coh.
“Payo
coh.” Atok menjawab singkat. Jawaban singkat itu telah diambil oleh senyumannya
yang lebar. Catur tak merasa ada yang ganjil. Mungkin itu memang bukan hal yang
ganjil. Tapi itu adalah hal yang hebat. Hebat.
---
Di
Smanda
Pije
terengah-engah menghampiri Yan yang sedang duduk di dekat ring basket. Tanpa
ada perintah, Pije menyambar botol berisi air minum yang tergeletak di
bongkahan batu pemberat ring. Cukup lama Pije bermain. Setengah jam tanpa
henti. Berlari-lari. Mengulang apa yang pernah ia lakukan dua belas tahun
sebelum hari itu. Mungkin kondisi tubuhnya saat ini adalah salah satu efek dari
pekerjaannya berlari-lari sewaktu di negeri Arab. Fisiknya menjadi kuat.
“Kemanelah
Atok ikak. Ujonye nak miluk.”
“Entah
coh. Kalu ke Brazil situ.” Jawab Yan sekenanya.
“Ao.
Kalu la sesat di sungai Amazon. Tangop ikan juare.”
“Hahaha.
Ape ade ikan juare. Ikan betok ao.”
Yan
dan Pije sibuk bersenda gurau. Kadangkala tawa renyah nan besar keluar dari
mulut mereka. Mereka tak menyadari bahwa Atok lewat di jalan sekolah. Bersama
dengan Catur yang diboncengnya. Catur juga tak menyadari bahwa ada dua anak
manusia, sahabat-sahabatnya dulu, tengah berada di area lapangan sekolah.
Mereka sama-sama tak menyadari. Hanya Atok yang tersenyum-senyum melihat
kejadian itu.
Atok
memutuskan untuk memarkirkan motor di dekat perpustakaan sekolah. Tempat itu ia
pilih untuk memuluskan niatnya. Dia akan berpura-pura ke toilet dan membiarkan
Catur melenggang sendiri ke arah ring basket.
“Dari
tadi nga ikak, senge-senge. Ngape coh?” Catur mulai curiga dengan gelagat Atok.
“Suek
ah.” Atok setengah tertawa menjawabnya.
Keduanya
berjalan menyusuri koridor depan perpustakaan. Hanya dibatasi dinding dengan
tangga bajep. Markas besar ddmboyz. Basecamp
mereka. Hanya memberi tahu, semua anak akan menyingkir jika gerombolan ddmboyz
berdatangan di tangga bajep. Dengan penuh rasa hormat, anak-anak akan berpindah
tempat dan mempersilahkan ddmboyz untuk menempati basecamp-nya. Persis seperti pangeran yang baru pulang dari perang.
“Coh,
ku ke wc dulu. dari tadik nak *****.” Seru Atok sambil berlari. Kebelet dan lari yang dibuat-buat.
Hampir saja Atok tertawa. Untung dia masih bisa menahannya.Catur hanya
menggeleng.
Catur
sekarang membelakangi toilet. Didepannya terlihat sekolahnya. Sekolah yang
megah. Belasan anak-anak sekolah bermain futsal. Catur memutuskan untuk
berjalan mendekati lapangan. Mata Catur berkeliling memandangi sekolahnya itu.
Dan. Degg...... Pandangannya berhenti. Tersangkut di suatu fokus. Lama ia
mencernanya. Nanar, tapi bukan sakit. Ada satu titik yang membuatnya berdiri
ringkih. Lemas. Catur terpana dengan dua orang yang tengah duduk
membelakanginya. Dua orang yang sama sekali tak asing. Meski hanya punggung
yang terlihat, Catur tahu betul siapa kedua orang itu. Lamat-lamat dia
memperhatikan. Yan? Pije? Catur masih
terpana.
---
Di
sudut lain Di titik yang Catur maksud. Di fokus yang Catur perhatikan.
“Kalu
la mati Atok tu. Hahah.” Yan mengumpat Atok yang tak kunjung datang. Nada
suaranya yang dibuat-buat, mirip nada bicara Aries, membuat Pije terpingkal.
“Sikok-sikok
e alasan ngape kitek nunggu Atok tu, die pasti ngunde motor. Aku segan balek
bejalan. Hahah. Jadi ojek benok Atok.”
Ditengah
gurauan yang mengocok perut, bola futsal menggelinding di samping Pije. Cepat
Pije beranjak menghadangnya. Namun bola itu lebih cepat berlari. Pije berbalik
badan dan siap berlari menjemput bola. Tak kala dia bangkit, dia mematung.
Nampak di seberangnya seseorang yang tengah membatu. Berdiri bak pohon yang
diam. Pije tertular pengaruh itu, membatu juga. Mulutnya menggumam sesuatu.
“Cohhh..”
Kata itu keluar. Sedikit berbisik. Yan sama sekali tak menghiraukannya.
“Yan..
Yan... Catur, Yan.” Pelan-pelan Pije berbicara. Meski itu tidak ada gunanya.
Tetap saja ia berbisik. Sekarang Pije dan Catur bertatapan tak bereaksi.
Mematung. Bola yang menggelinding tadi hanya diambil oleh anak-anak.
“Mane
ah Catur?” Yan yang merasa dibohongi Pije memutar lehernya. Yan terperangah.
Berbeda dengan Pije, Yan langsung menghambur berlari. Meraih Catur. Tak pelak
Pije tersadar. Dan Ikut berlari. Atok hanya mengintip dari balik pohon mangga.
Tersenyum.
“Caturrrr!!!”
Catur
kembali tersadar. Dia tidak ringkih lagi. Kuat kakinya menopang. Senyumnya
membentang. Juga tangannya lebar membuka. Namanya dipanggil oleh suara yang tak
lazim. Yang tak asing. Dan tentu yang ia rindukan.
Sekarang
Yan dan Pije tepat berada di depannya. Jaraknya yang dekat, cukup bagi
tangannya yag lebar untuk memeluk kedua sahabat lama. Tak butuh lima detik,
ketiganya telah menyatu di satu pelukan. Atok tertawa. Rencananya berhasil
dengan mulus. Tawanya yang besar, membuat ketiganya tersentak. Atok berlari
berhamburan. Mendekati ketiga temannya, Atok langsung mendekap disatu pelukan.
Mereka tersenyum. Mereka tertawa. Mereka bahagia. Dan mereka bersama.
to be continued.......
to be continued.......
berlanjut dak coh hekak...
BalasHapusmencak dramatisir nia coh. Aman masuk tv, ikak bukan film tp sinetron
BalasHapusdramatisir ck mane coh
BalasHapus