Korelatif 2 (Part 2)
dengan keajaiban, kedelapan sahabat telah bertemu, didalam ketidaksengajaan.....
bukan...
tapi di dalam.....
keajaiban.....
semuanya telah bertatapan, tidak dengan aku, Catur dan Aries....
---
April 2022, 10.00
Jeni Charles, melepaskan seluruh ‘pakaian’nya dan
menjadi sederhana.
Sekarang dia kembali seperti dulu. Sederhana.
Menunggu sahabatnya yang sederhana.
Pagi itu Jeni Carles sengaja meluangkan waktunya
untuk seseorang yang sudah lama tak ia jumpai. Sahabat sekamarnya sewaktu di
SMA, Tulus Angkumiharja. dia tahu identitas Tulus berawal dari video yang tak sengaja ia buka.
Ketika itu dia hendak mencari file-file yang diminta kantornya, hingga folder video jadul itu terpampang di jendela listed of search. dia langsung membuka video itu dan Tulus muncul dengan wajah tertawa. dengan bermodalkan situs jejaring facebook, akhirnya id dapat menemukan Tulus. Dan akhirnya, obrolan singkatnya dengan Tulus melalui e-phone membuat dia teringat dengan kesembilan sahabatnya.
Ketika itu dia hendak mencari file-file yang diminta kantornya, hingga folder video jadul itu terpampang di jendela listed of search. dia langsung membuka video itu dan Tulus muncul dengan wajah tertawa. dengan bermodalkan situs jejaring facebook, akhirnya id dapat menemukan Tulus. Dan akhirnya, obrolan singkatnya dengan Tulus melalui e-phone membuat dia teringat dengan kesembilan sahabatnya.
Bukan hanya Tulus yang ingin Jeni temui. Tapi seluruh sahabat-sahabat gilanya juga ia rindukan. Hanya saja, orang yang paling besar kesempatan untuk dia temui saat ini adalah Tulus.
Jeni mengajak Tulus untuk bertemu di kantornya hari
itu. Dia ingin melihat perubahan wajah Tulus dan seluruh kenangan yang
tersimpan di raut muka Tulus. Selagi dia menunggu kedatangan Tulus, ingatannya
menerawang memberi kenangan tentang wajah Tulus. Kata-kata freak dan absurd yang
selalu keluar dari mulut Tulus bertolak belakang dengan kepolosan wajah Tulus.
Orang akan mengira bahwa Tulus adalah pria yang polos. Namun, selama Jeni
menyelami pertemanan mereka, misteri kepolosan wajah Tulus terkuak.
Sahabat-sahabat lainnya juga mengakui itu. Jeni penasaran apakah kepolosan itu
akan tetap bertahan, atau malah kumis dan jenggot akan tumbuh lebat di wajah
Tulus.
15 menit berlalu. Tak ada kebosanan bagi Jeni untuk
menunggu sahabatnya datang. Dia duduk di kursi panjang dekat sumur masjid. Di
sampingnya ada kantong kresek besar berisi sesuatu benda kenangan Jeni dan
Tulus. Tapi bukan benda aslinya.
Sepuluh menit setelah itu seseorang dengan
mengendarai motor besar memasuki gerbang kantor Jeni. Helm putih dengan jaket
kulit berwarna hitam berjalan menuju pos satpam. Pria itu membuka helmnya.
Benar saja, Tulus. Satpam kantor itu menghampiri Tulus dan menanyakan sesuatu.
“Maaf, ini pak Tulus ya?”
“Iya pak. Ini benar kantor pak Jeni Carles?”
“Iya pak. Pak Jeni berpesan bahwa dia telah menunggu
bapak di masjid belakang. Mau saya antar pak?”
“Gak usah. Masjidnya di belakang pak?”
“Iya. Dari sini, belok kiri. Lalu belok kanan, di
ujung itu masjid.”
“Terima kasih pak.”
“Sama-sama pak.”
Tulus berlalu meninggalkan satpam itu. Dia terus
berjalan mengikuti jalan yang satpam itu tunjukkan. Tak sabar menemui Jeni,
langkahnya pun dipercepat. Di tikungan pertama, sosok Jeni belum kelihatan. Dia
terus mencari Jeni. Teras masjid terlihat dari tempat Tuus berdiri. Masjid itu
sepi. Dia terus mendekati masjid. Dan...
“Woy, koh. Sikakkk!!!”
Tulus melihat Jeni duduk di kursi panjang. Kursi itu
memang tak terlihat dari kejauhan. Tulus hanya berdiri mematung. Kepalanya
sedikit menggeleng. Tulus mendekati Jeni.
“Ya habi. Congkoh berang. Namek kabar koh,” Tulus
memeluk erat tubuh Jeni. Jeni tertawa dengan panggilan ‘congkoh berang’.
“Baekkk. Namek kabar nga, setan Ngunang? Ujo ku
tadik bakal manggel hek baek-baek. Dak tau e mikak.”
“Setan Ngunang. Bahasa inggris nye, the devil of
Ngunang. Congkoh berang tu bahase inggris e the pig of berang.”
“Kubu aio kau Lus. Cacam kawan ikak. La sampai ke
pulau Rote situ. Namek gawe nga coh. Nuntut jodoh ape?”
“Jodoh kak dak kemane-mane Les. Tinggal ngetok bae,
kadedak ngantri gades-gades. Kagek mun nak kiamat, perbandingan lanang ngen
betine tu 1:50. Jadi tenang bae.”
“De dulu, nga tenang bae tenang bae. Suek lagi
betine ndak, nga suek kome’.”
“Hahahai, suek kome’. Ayo ayo, cerito ke. Kemane bae
nga selame ikak.”
“Tunggu Lus. Soal e kitek kak ngunde motor besok.”
“Beno nia coh. Aku ngunde motor besok.”
“Kagek dulu, ku kak lum dem ngomong. Ambek kantong
asoy belakang nga tu.” Tulus hanya mengikuti perintah Jeni.
“Panamek sekak. Laa... Cempedak..... Nga ngunde
cempedak coh...”
“Ao. Payo makan dulu. Soal e ku kak ngunde motor
besok. Jadi cempedak kak pacak depek tenga.”
“Hahahai. Jangan jangan nga kak maleng cempedak
Rio.”
“Dak ah, bukan cempedak Rio. Cempedak Reno.”
“Hahahai, ya habi. Same bae kubu. Kitek masih tingat
reti e. Ngubak e dulu coh.”
“.........................”
Jeni, Tulus, dan cempedak itu larut dalam suasana
bahagia. Obrolan-obrolan ringan terus berlanjut hingga azan Zhuhur. Mereka tak
menyangka jika biji cempedak berserakan di dekat mereka. mendengar azan Zhuhur,
mereka baru tersadar akan keadaan di sekeliling mereka.
“Oy Lus, kire kire makan ikak. Buang di tungkus e tu
nah ijat e kak.”
“Eee, cak nga dak muang baseng. Bukti e tungkus e
kak masih kosong. Payo pongot.”
“Payo berenggot. Kagek zhuhur kak abes pulek.”
“ai la berubah nia nga ikak. dulu tu mun dak pakso,
dak ke sembahyang. Ikak, dak suruh bae la laju. Subhanallah.”
“Ahh nga ikak. aku kak la berubah. Ape dak tingat
debat Islam Kristen. Benar sekali perkataanmu itu guru, bukan Tuhan....”
“Bukan Tuhan, tapi Gerry. Benar sekali perkataanmu
itu gurruh, bukan gerry.”
“Hahahah. Dem dem dem. Justru debat itu membuat kita
sesat.”
“Jangan ke setu, hek la ceto-ceto beno bae, di matek
nga masih pacak salah. Kate-kate ‘yang Allah sangat dekat dengan kita, bahkan
melebihi urat leher sekalipun’ bae salah di matek nga.”
“Itu tu bukan ku coh. Bukan ku, tapi Ries.”
“Oy ao edak. Ries hek ngomong itu. Itu tu la kafir
naon nia mun la ngomong cak tu.”
“Aku temesan. Reti e ade manusio hek ngomong mitu.
Kalu nak mudi pulek, uji Ries. Ampuni dia ya Allah.”
Jeni terus memungut biji-biji cempedak. Tulus hanya
termenung di atas kursi.
“Aries...” Tulus sedikit berbisik.
“Ngape coh? Nak betemu ngen Ries?”
“Ao. Kapan-kapan kitek ke umah e coh.”
Jeni ikut termenung. Dia sadari bahwa candaan mereka
tentang Aries membawa keinginan untuk bertemu dengan Aries.
“Dem mudahlah. Due kali ngegas sampai ke Rantau
Panjang situ,” Jeni berusaha menyemangati.
“Due kali ngegas ek. Awas bae mun dak sampai due
kali ngegas.”
“La ngape kalu dak sampai due kali ngegas?”
“La gas lagi koh. Oy deh.”
“Payo, sembahyang dulu. Tu sise yang nga, yang ku la
bersih.”
“Ao, ughal nia nga ikak. Ariesss. Wait for us.....”
Terasa manis candaan kedua sahabat lama itu. Kedua
orang yang paling ditakuti oleh sahabat-sahabatnya akan omongan-omongan gila
itu kembali bersama. Mereka berdua siap menggali kembali kisah mereka yang
dulu. mereka siap menghadirkan kembali suasana yang pernah menreka hadirkan.
Filsafat-filsafat aneh yang kadang menyimpang, pandangan-pandangan gila yang
sering menyesatkan, dan opini-opini hancur yang dapat mengubah pikiran siap
mereka hidangkan kembali. Tulus dan Jeni tak mengetahui apa yang akan terjadi,
tapi mereka hanya berharap dapat berkumpul dengan ke sembilan sahabat-sahabat
lamanya.
---
Pertengahan Juni 2022, 16.00
Masjid Jami An Nur, Sekayu
Sore itu terlihat Atok duduk di serambi masjid
terbesar di Sekayu. Masjid Jami An Nur. Masjid Jami, demikian orang-orang
sekitar menyebutnya. Kubah besar menaungi masjid tersebut, ditemani sebuah
menara menjulang dengan pekarangan masjid yang asri dan luas. Kolam ikan tidak
berpindah tempat semenjak Atok meninggalkan Sekayu. Dan sekarang, dia sedang
berada di kota kelahirannya itu. Masih terlihat air wudhu membahasi rambut
depannya. Jeans hitam dan kemeja abu-abu melekat di tubuhnya yang besar. Atok
telah kembali dari laut Natuna sejak awal April. Menghabiskan waktu di Sekayu
sebelum dia terbang ke Brazil. Kala itu dia sendiri. Dia tidak mengetahui entah
dimana sahabat-sahabatnya dulu. Dia pulang dan berharap bisa bertemu mereka
lagi. Setiap sore dia habiskan waktu duduk-duduk di pekarangan depan masjid
Jami,di pinggir jalan Merdeka. Berharap ada sahabatnya yang lewat dan bisa
bercengkrama lagi. Tapi, sejak awal dia melakukan itu, tak ada satupun
sahabatnya yang lewat di jalan itu. Dia tetap setia menunggu hingga azan
maghrib berkumandang. Selalu seperti itu. Nihil. Atok telah berjanji untuk
terus melakukan itu hingga tiba waktunya untuk berangkat ke Brazil.
Atok telah menyelesaikan segala hal yang dibutuhkan
untuk keberangkatannya sejak pertengahan Februari lalu. Akhir Juli dia telah
harus meninggalkan kampung halamannya. Dan kembali berpisah batin dengan
sahabat-sahabatnya.
Seperti biasa, Atok kembali duduk-duduk di
pekarangan depan masjid Jami. Matanya berkeliling menyaksikan bangunan olahraga
tua di depannya. Tepatnya stadion sepakbola. Dilihatnya beberapa anak muda
dengan sepatu bola di tangan mereka masuk ke stadion itu. sore itu jalan
Merdeka terlihat ramai. Sore minggu biasanya dipakai anak muda untuk sekedar
jalan-jalan dan refreshing. Atok
terlihat bosan dengan keadaan itu. Dia kembali memainkan laptop gepeng hitam ditangannya. Sesekali dia
melirik lama ke jalanan. Seolah-olah menunggu kedatangan seseorang. Tapi dia
tidak tahu apakah orang tersebut akan datang.
Di sore yang sama. 16.15
Jalan Merdeka, di atas motor
“Arai kak nga nginap dulu dumah ku. Gisok cak ku
ngantat nga ke Terusan situ. Kitek becerito dengan wang umah ku dulu coh”, kata
Pije sedikit berteriak di atas motornya. Dibelakangnya ada teman
seperjuangannya di Palestina, Yan.
“Ao ao, gisok antat ku nga ek. Jangan nak mudi. Aku
kak indu pulek ngen bak umak ku”, jawab Yan.
Dua sejoli ini telah berada di Sekayu dua hari
sebelum obrolan itu terjadi. Sebelumnya mereka menyelesaikan administrasi
pekerjaan baru di dinas kesehatan Palembang. Pije memaksa Yan untuk menginap di
rumahnya supaya mereka bisa berbagi cerita dengan keluarga Pije. Mereka berdua
berbangga hati dengan apa yang telah mereka capai. Merekapun telah mendapat
pekerjaan tetap di Palembang.
“Nameklah kabar kawan-kawan Je?”, seru Yan.
“Dem entah Yan, dak tau, kalu belum sampai due arai
kitek di sikak”.
“Kalu bae ade hek mudik ke Sekayu Je”.
“Kalu bae”.
Lima detik kemudian
“La Yan, ape ban ikak kempes, raga stang kak
gedek-gedek. Stop dulu ah. Turun turun”, kata Pije terkejut dengan keadaan
motornya.
“Ew Je, jingok ban depan nah. Pecah ban Je”.
“La aku tau pulek pecah ban. Nga ngunde sen dak coh?
Aku dak ngunde sen nak nampal ban”.
“Kubu Je. Untung masih ade sise meli bakso tadik. Di
mane parak sikak ade nampal ban?”
“Tu nah, simpang masjid Jami. Tu, selang kompresor e
tejingok”.
“Ku nggan mapa e Je. Itulah le nga”.
“Ao ao”.
Mereka berdua berjalan melintasi gedung olahraga
itu. Pije masih sibuk dengan motornya. Yan berjalan menyejajarinya. Yan melirik
ke arah masjid Jami.
“Oy Je. Berubah dikit masjid ikak. Cuma nambah ijau
bae”.
Mata Yan terus mengelilingi pagar depan masjid
tersebut. Belum sempat Yan melanjutkan perhatiannya, jantung Yan berdetak
cepat.
“Je, Je. Jela dak tu Atok? Jela dak tu Atok?”, seru
Yan terbata-bata sambil menepuk pundak Pije dengan kuat.
“Saket gile. Mane coh?”
“Tunah kubu, duduk belingko parak batang tu nah.
Megang hape tu nah?”
Mata Yan bertemu dengan mata Pije. Mereka
bertatapan.
“Tunjang ke motor, tunjang ke motor Je”, Yan
menyuruh Pije dengan tidak sabar.
.........
Di waktu yang sama, di dekat pohon.
Atok masih tetap sendiri terduduk di dekat pohon
akasia itu. wajahnya masih tertunduk melamun. Sampai akhirnya, lamunannya buyar
seiring dengan namanya di panggil oleh seseorang.
“Atooookkkk!”, teriak Yan dari jarak 15 meter.
“Woy cohhhh!”, Pije tak kalah seru.
Atok terpana
akan dua makhluk yang memanggilnya itu. Dia langsung beranjak dari tempat
duduknya dan berdiri tegap. Kedua tangannya membentang lebar. Dia tersenyum dan
otaknya langsung teringat bahwa dua orang yang tengah berlari ke hadapannya
adalah dua dari seluruh sahabat yang dia tunggu.
Lima detik kemudian ketiga sahabat itu telah menyatu
dalam satu pelukan.
“Namek kabar kamu coh”, Atok sedikit berteriak di
tengah pelukan dua sahabatnya itu. dia terharu. Air mata itu keluar. Atok belum
ingin melepaskan pelukan itu. sampai akhirnya Pije mengusulkan untuk mengakhiri
pelukan itu.
“Alhamdulillah ya Allah. Ikak iye hek tunggu ku dari
tadik. Akhirnye nimbul pulek kubu-kubu ikak. Hahah. Putih awak nga Yan. La
ngape Pije hek jadi itam kak. Oy la gemok-gemok nian kamu ikak. Cak sapi bali”,
seru Atok.
“Masih nak ngate tulah. Herrr dahh”.
“la lame ape nga di Sekayu Tok?”
“April kalu dak salah. Ngape raga kamu pacak bedue
ikak?”
“Oy coh. Ceritonye panjang. Ngape kami pacak besame
bedue ikak. dari awal ka...”.
“Opp, jadilah coh. Simpan dulu cerito kamu bedue.
Cak mane kalu di ceritoke pas kitek bekumpul bae. Dengan budak-budak laen. Aku
ade cerito seru pulek. Pasti budak laen ade cerito gile-gile pulek”, kata Atok
memotong pembicaran Pije.
“Ape pacak coh bekumpul lagi?”
“Aku dak tau pasti. Tapi feelingku mengatakan, akan ada sesuatu hal amazing yang akan terjadi”, kata Atok meyakinkan Pije dan Yan.
“Nak tauk kamu. Aku kak dari April tu. Tiap petang
duduk di sikak. Nunggu kalu ade mentenga liwat. Lame aku nunggu. Nah bedebul,
arai ikak kamu nimbul. Berarti hek laen nak datang pulek”.
“Firasatku same cak nga coh”.
“Kire-kire dimane kitek nak bekumpul?”, tanya Pije
ragu.
Ketiga orang itu terlihat serius. Seakan menggali
firasat otak tentang pertemuan mereka. Sesaat kemudian, ketiganya terlihat
senang. Mereka seakan saling mengetahui dimana mereka akan berkumpul.
“Dumah Ries”, ketiganya sedikit berteriak bersamaan.
“Hahaha”, tawa renyah mereka keluar.
Inilah yang dibutuhkan Atok, Yan dan Pije. Mereka
memang tak mengetahui kapan hal itu terjadi. Tapi mereka tahu, rasa rindu akan
menyatukan mereka. Garis batin antara mereka sudah terbentuk walau dipisahkan
beribu-ribu kilometer. Ada perasaan gaib yang terhubung satu sama lain diantara
mereka. Dan sekarang, tiga dari sebelas anak ajaib itu telah bertemu. Hanya
butuh sedikit keajaiban untuk mendatangkan waktu kepada delapan yang lainnya.
---
Juli 2022, 08.00
Aula Utama, Hotel Grand Imperium, Yogyakarta
Hotel Grand Imperium, salah satu hotel terbesar di
Indonesia. Aula utama itu berada di lantai 2. Hiruk pikuk seratusan akademisi
dan ahli profesi dari berbagai bidang memenuhi ruang megah itu. Tidak hanya
orang Indonesia yang berada di ruang berwarna keemasan itu, tapi kira-kira,
satu pertiga dari keseluruhan adalah orang luar negeri. Ada yang bermata sipit,
ada berkulit putih, ada bersorban, ada berkulit hitam. Banner besar terpampang di dinding depan aula itu.
3th
International science and technology colloquium. Bringing world to better
civilization.
Tulisan itu menghiasi banner besar dihadapan peserta seminar. Di atas stage, terdapat beberapa kursi dan meja.
Berbagai minuman dan makanan tersaji di meja berselimutkan kain bercorak batik
merah. Seminar internasional itu merupakan kegiatan tahunan yang di gelar oleh
pemerintah Indonesia yang berkerjasama dengan PBB. Empat tahun yang lalu,
kegiatan sama dilakukan di Bali, dan yang pertama diadakan di Jakarta. Indonesia
mendapat apresiasi tinggi dari pimpinan
berbagai negara karena telah berhasil membawa dunia ke perdamaian.
Egyd tak menyangka akan menghadiri kegiatan ilmiah
internasional itu. Dia pikir seminar itu hanya di bidang yang dia kuasai. Namun
ternyata diluar perkiraannya. Dia terlihat sangat rapi hari itu. Jas hitam
dengan kemeja putih, serta dasi yang sewarna dengan jas melingkar rapi di
lehernya. Kacamatanya masih setia mengawal panca inderanya untuk melihat. Dia
duduk di deretan kedua dari depan, enam kursi dari ujung timur. Di sampingnya
duduk seorang bapak yang tak ia kenali. Hendak dia menyapa bapak itu, tapi
bapak berjas abu-abu itu terlihat sibuk dengan sebuah gadget. Dia urungkan niat untuk mengobrol dengan bapak
disampingnya. Dia kembali memusatkan perhatian ke stage. Pembukaan seminar baru akan dilakukan tiga puluh menit lagi.
Masih ada waktu bagi Egyd untuk ke luar ruangan, sekedar merenggangkan otot
sebelum kegiatan dimulai.
Di lain sudut, di ruangan yang sama, terlihat pria
berjas biru tua sedang mengobrol dengan pria disampingnya. Galih dan Raka. Dua
pria itu duduk di deretan belakang.
“Aku pikir seminar ini hanya membahas teknologi kita
Ka. Ternyata pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial juga dibahas di sini”,
Galih berkata sambil matanya melirik ke banner
besar di hadapannya.
“Aku pikir juga begitu Gal. Tapi tenang, kita gak
akan bahas itu. konsentrasi kita hanya ke teknologi”.
“Aku juga tahu itu Ka. Gak mungkinlah kita ikut
membahas tentang kedokteran. Memangnya kita paham tentang itu?”, jelas Galih.
Raka hanya menggeleng.
“Dari Shubuh tadi perutku belum ada yang ngisi Ka. Lapar”.
“Tenang, aku tadi baca rangkaian kegiatan hari ini.
Acara pertamanya kan pembukaan sampai jam setengah sepuluh. Istirahat setengah
jam. Nah, kita makan deh”.
“Ada kantin disini?”
“Ada sih,
tapi kita makan di warteg depan. Makanannya makanan tradisional Gal.
Sekali-kali kan. Dari kemaren-kemaren makan fastfood
terus. Gak ada gizinya”.
“Oke bro”, Galih tersenyum.
Kedua teknologis junior itu hanya duduk sambil
menunggu acara dimulai.
Di lain barisan.
Baris kedua dari depan, kursi paling barat.
Sama dengan Egyd, pria itu memakai jas hitam dengan
kemeja putih. Dasi biru tua dengan motif garis hitam tipis menggantung di lehernya.
Sama seperti dulu, dia masih sedikit hitam, hanya saja terlihat lebih bersih.
Tidak berkumis dan tidak berjenggot. Rambutnya yang digunting gaya tentara
membuatnya terlihat antara muda dan tua. Di namecard-nya
tertera Reno Yudistira. Ya, Reno.
Reno mencoba merapatkan jasnya, menghalangi dingin
dari puluhan air conditioner ruangan
itu. Obat yang telah dia minum tidak terlalu berpengaruh pada keadaan tubuhnya.
Dia sedang tidak enak badan. Dia hanya mencoba bersabar menunggu keluar dari
ruangan yang tidak biasa bagi kondisi tubuhnya sekarang itu. Reno berusaha
mengabaikan keadaan tubuhnya. Serileks mungkin, Reno menyapa seorang perempuan
berjilbab yang ada di sampingnya. Dan akhirnya, Reno menikmati obrolan itu.
------------
Egyd, Galih, dan Reno. Ketiga sahabat lama ini tak
menyadari bahwa mereka sekarang berada di satu tempat yang sama. Menakjubkan,
keajaiban yang pernah dipercaya oleh Galih, terjadi di ruangan itu. Mereka tak
mengetahui tentang ketidaksengajaan ini. Kebetulan yang benar-benar kebetulan
akan mempertemukan sepuluh tahun perpisahan itu. Kerinduan yang dirasakan Egyd,
kegelisahan untuk bertemu dari hati Galih, dan keinginan kuat untuk saling
melihat yang muncul di benak Reno, seakan dijawab oleh ruangan itu. Hanya
tinggal menunggu waktu, tawa khas mereka akan menggema.
-------------
“Wuah, akhirnya. Cepat Ka, tunjukin dimana warteg,
perutku udah keroncongan dari tadi”, Galih tak sabar.
“Ya sabar to le. Yo tak anterin”, jawab Raka dengan
logat Jawa yang dibuat-buat.
“Aku bisa sabar, perut nih gak bisa, asu!”
“Hahaha”.
Lima menit kemudian, dua orang itu telah duduk di
sebuah warteg. Ibu warteg tersenyum ramah ke arah Galih dan Raka.
“Mau makan apa Gal?”
“Samain aja dengan kamu Ka. Kalau lapar, aku lahap
semua deh”.
“Kamu kayak gak makan seminggu Gal”.
“Protes terus”.
“Iya iya. Nasi rendang dua buk, makan sini. Minumnya
teh panas buk?”
“Tunggu ya mas”, jawab ibu warteg.
---------
Reno masih merasakan kedinginan itu, meski sekarang
dia berada di area parkir. Dia sedang mencari tempat yang menyediakan minuman
panas. Dilihatnya tukang parkir di bawah pohon. Bersegera dia menuju tukang
parkir itu.
“Pak, maaf, numpang tanya. Rumah makan di area sini
di mana pak?”
“Kalau rumah makan besar, ada mas. Tapi jauh.
Mungkin dua kilo dari sini. Kalu warteg ada. Mas keluar dari gerbang itu. Nah kira-kira
100 meter dari situ, ada warteg”.
“Di sana ya Pak. Terima kasih Pak.”
Reno berjalan menyusuri trotoar ke arah warteg itu.
beberapa tukang ojek terlihat bingung melihat Reno lengkap dengan jas rapi,
berjalan di trotoar itu. Mereka pikir, orang-orang berjas hanya ingin naik
mobil ber-AC. Ternyata ada juga yang berpanas-panas ria di pinggir jalan. Reno
berjalan cepat dan semakin mendekati warteg itu. Dia tidak mengetahui bahwa
Galih sedang melahap nasi rendang di warteg yang sedang ia tuju.
“Masih ada aja korupsi di zaman modern kayak gini”,
kata Raka seraya melirik tivi LCD di sudut warteg.
“Sok peduli sama bangsa Ka”, jawab Galih dengan
mulut yang masih penuh dengan nasi.
“Iyalah, aku kan anak negeri ini. Jadi aku cinta
bangsa Indonesia”.
“Sejak kapan kamu jadi nasionalis, sejak kamu
me.....?”
“Buk, kopi satu ya buk”, kata Reno
“Oh, tunggu aja ya mas”.
Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Galih
terperangah dengan orang yang sedang memesan kopi di samping depannya itu.
Galih hanya menganga mendengar suara pria itu. Suara Reno. Galih langsung
berdiri diam-diam dan yakin bahwa orang yang sedang berdiri itu adalah sahabat
lamanya, Reno. Raka terlihat aneh menyaksikan Galih.
“Oh, iya buk.”
Reno berbalik dan mendapati Galih telah berdiri di
hadapannya. Mereka berdua bertatapan tak
percaya. Lama. Lima detik kemudian, air muka mereka berubah.
“Aku Galih coh, aku Galih.....!”
“Oy Galihhhh. Lih...Lih... Namek kabar nga coh”,
Reno terbata-bata berbicara didalam pelukan Galih.
Galih diam saja dan terus mengeratkan pelukannya.
Pelukan akan kerinduan yang telah di rasakan selama ini. Pelukan itu
berlangsung hingga ibu warteg datang memberikan kopi ke Reno.
“Dem payo duduk dulu sikak”, Reno mengajak Galih
yang tengah termenung ‘shock’ dengan apa yang terjadi di hadapannya. Raka yang
dari tadi memperhatikan Galih dan Reno hanya melanjutkan makannya. Dia hanya
tersenyum dengan sesuatu yang telah dia katakan ke Galih tentang
sahabat-sahabatnya, yaitu keajaiban.
“Namek kabar nga kak iye, Lih?”, Reno kembali
mengulang pertanyaannya.
“Baek coh. Ngape raga kitek pacak betemu coh?”
“Singkat cerito, aku miluk seminar di hotel situ.
Jingok pakaian ku kak. Aku dang demam, dem ku ke sikak nak nuntut kopi. Tau-tau
betemu nga kak. Kubu nia nga ikak Lih.”
“Ya Allah. Coh. Dak nyangko nia ku betemu dengen nga
ikak. Aku miluk seminar tu pulek.”
“Nah jadi?”
“Jadinye kitek miluk seminar tu coh”.
“Eh congkoh, aku tau pulek. Nga ikak di mane aaa,
begawe di mane coh?”, tanya Reno.
“Aku di Dirgantara Indonesia coh. Bandung. Nga ikak,
mane tatan nga?”
“Aku di Jakarta coh.”
“Dosen?”
“Ao coh.”
“Ya habi coh. La lame nia dak betemu dengen nga
ikak. Sepuluh taon coh, sepuluh taon.”
“Bukan dengen ku bae, dengen budak-budak laen pulek
coh.”
“Payo coh kitek dem kegiatan ikak, nuntut
budak-budak tu”.
“Rio coh. Tahun getangkak aku masih ngontak die.
Ujonye die masih di Jogja.”
“O, pacak nga nyubo ngontak e lagi?”
“Agek ku nyubo e”.
Obrolan terus berlanjut hingga mereka kembali ke
hotel. Dua sahabat lama telah saling menatap. Dan malam itu, mereka kembali
bersama. Di lain tempat, Egyd masih sendiri. Keajaiban belum datang padanya,
dan keajaiban itu akan datang, entah kapan.
Terlihat Galih dan Reno sedang berada di dekat pos
satpam. Sesekali terdengar tawa renyah keluar dari mulut mereka. Di kamar 36B,
di lantai lima hotel itu, Egyd terbaring lemas. Bingung dengan apa yang harus
dia lakukan. Dia beranjak dari kasur itu dan berjalan menuju jendela. Jendela
itu menghadap langsung ke jalan. Dilihatnya beribu lampu kuning dan putih
menghiasi kegelapan malam. Namun itu tak bisa menghibur kebosanan Egyd.
Pandangannya mengedar ke berbagai sudut dan dia tertuju ke dua orang di dekat
pos satpam. Dia tidak mengetahui jika dua orang itu adalah sahabatnya, Reno dan
Galih. Dia pikir mereka hanyalah satpam hotel. Dia melihat keceriaan hadir di
dua orang yang dipikirnya satpam. Dia langsung beranjak ke pintu dan ingin
bergabung dengan dua orang satpam di lantai dasar itu. Egyd ingin ikut
mengobrol dengan mereka, mengharapkan keceriaan mereka dapat dibagi.
Egyd tinggal beberapa langkah dari kedua orang itu.
Reno dan Galih duduk membelakangi Egyd. Egyd tak mengetahui kedua orang tersebut.
Tubuh Galih yang besar dan rambut Reno yang plontos membuat Egyd tidak
mengenali mereka dari belakang. Egyd telah berada tepat di belakang Reno dan
Galih. Egyd curiga karena obrolan yang dia dengar memakai bahasa Sekayu.
“Assalamualaikum, boleh gabung pak?”, Egyd berkata
polos seraya melangkah ke samping depan Reno dan Galih.
“Waalaikumsalam. Sila.....”, Reno dan Galih tertegun
dengan kedatangan Egyd.
“RRRReeeno? Gaaaalih?”, Egyd terpana dengan dua
orang ajaib di depannya.
“Egyd....? Egydddd!”, Reno berteriak seraya berdiri
dan memeluk Egyd.
“Oy, kubu. Egyd. Masya Allah Gyd.....,” Galih juga
beranjak dan memeluk Egyd.
Egyd masih tak berdaya. Tangannya lemah tak mampu
membalas pelukan sahabat-sahabat lamanya itu. Orang yang dipikirnya satpam
adalah dua anak ajaib yang dia rindukan. Tangannya perlahan-lahan terangkat dan
kemudian telah mencengkram punggung Galih dan Reno. Disesaki napas yang tidak
karuan, dia mencoba berkata.
“Asek ku la lame nia dak betemu dengan kamu ikak.
Kamu kemane bae coh.....” kata Egyd lirih.
Sepuluh detik kemudian mereka telah berjejer duduk.
Hanya saja Galih duduk di aspal dekat pot bunga, menghadap Reno dan Egyd.
Keajaiban telah datang ke Egyd.
“Aku nak nanye, ngape raga pacak betemu sikak? Kamu
miluk seminar ikak?” Egyd membuka obrolan.
“Pertanyaan sama dengan Galih ketika kami bertemu di
warteg depan. Ao coh, aku ngen Galih miluk seminar. Dak igek denjuk tau pasti
nga miluk pulek.”
“Aa. Ikak kak kebetulan pacak betemu di sikak.”
“Bukan kebetulan coh. Ikak memang la digariske bahwa
kitek harus betemu di sikak. Bukan kebetulan, tapi memang takdir.”
“Beno pulek. Bukan kebetulan, tapi lebih tepatnye,
keajaiban.”
“Keajaiban tentang janji-janji kitek dulu. Masih ingat
dak?”
“Pas perpisahan?”
“Yoi, mun la sukses, kitek bekumpul lagi.”
“Ngunde anak bini.”
“Ku dak ngomong cak tu.”
“Yang ngomong cak tu, sape lagi kalu bukan...”
“Aries!!” Mereka sedikit berteriak serentak.
“Hahai, masih tingat retinye kitek. Bapa Aries.”
“Sip, bapa Aries. Nak betaruh dak?”
“Ape?”
“Suatu saat kamu atau kitek betemu dengen Ries,
pasti die la bini. Anak e due.”
“Mun jo ku, sikok.”
“Empat coh. Pasti empat.”
“Hahaha”.
“Dimane die mikak e. Ape name dusun die tu?”
“Rantau panjang.”
“Nah ao. Rantau Panjang. Dusun untuk orang-orang
yang telah merantau sepanjang hidupnya, dan kembali ke Rantau Panjang. Aku
berimajinasi bahwa kita ada di sana, dengan yang lainnya,” Galih berfilsafat.
“Ao coh, mungkin kebetulan, yang laen ade di situ
pulek.”
“Bukan kebetulan, tapi keajaiban.”
“Jela. Masih ade sikok urang coh di sikak.”
“Siape?”
“Rio.”
“Rio masih di Jogja?”
“Taon getang kak, ujo nye masih di sikak.”
“Dem tu?”
“Dak tau lagi. Kemungkinan besok masih disikak.
Soalnye die dosen di sikak. Jadi, mungkin belum pindah kemane-mane.”
“Nomor hapenye ade. Tapi dak aktif-aktif.”
“................”
Obrolan itu terus berlanjut hingga larut malam.
Mereka seakan ingin menghabiskan seluruh waktu malam itu untuk menuntaskan rasa
rindu merela. Tawa renyah selalu menghiasi mulut dan raut muka mereka. yang
masih menjadi misteri mereka adalah kedelapan sahabat lainnya. Mereka bingung
bagaimana menghubungi ke delapan itu. Namun, yang mereka percayai adalah
keajaiban. Mereka hanya mengikuti waktu hingga mereka dapat berkumpul lagi. Tujuan mereka selanjutnya adalah Rantau Panjang. Rumah Aries. Bapa Ries......
bagaimana dengan aku, Catur, dan Aries?
to be continued to Korelatif 2 Part 3...
tentang pertemuan
hahah, rajin2 ke mesjid dmanepun kitek brada coh.. Insya allah :)
BalasHapus